FOKUS BURUH – Kompas, 27 April 2012

Posted on April 27, 2012

0


ISU PABRIK SEBAGAI ISU PUBLIK

Oleh Ninuk M Pambudy 

”Seratus ribu buruh akan aksi damai dari Bundaran Hotel Indonesia menuju Istana Merdeka Jakarta saat May Day. Isu kami persoalan bersama seluruh masyarakat: jaminan sosial ditambah pendidikan murah dan tolak kenaikan harga BBM. Kami hanya menyuarakan apa yang jadi hak kami yang belum dipenuhi pemerintah. Kalau pemerintah belum mendengar, kami akan turun ke jalan.”

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Said Iqbal (43) mengucapkan hal itu di depan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar, Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz, Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo, Senin (23/4) sore.

Iqbal dan ratusan wakil buruh diundang Menakertrans dalam penandatanganan kesepakatan penyediaan rumah murah bagi buruh. Acara itu juga dihadiri Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea, Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Rekson Silaban, dan Direktur Utama Jamsostek Hotbonar Sinaga.

Menurut Iqbal, buruh sudah memenuhi kewajibannya: bekerja dan membayar pajak. ”APBN yang Rp 1.400 triliun, 79 persen dari pajak dan 21 persennya pajak penghasilan, berarti dari upah buruh. Begitu terima upah sudah dipotong pajak. Itu yang harus dikembalikan menjadi subsidi rumah dan transportasi. Di APBN sama sekali tidak ada subsidi untuk buruh,” kata lulusan S-2 Fakultas Ekonomi UI itu.

Isu pabrik, isu publik

Tidak mudah mengorganisasi 100.000 orang untuk satu aksi bersama. Iqbal yang bertubuh kecil, tetapi selalu bersemangat mengatakan, 70.000 buruh berasal dari KSPI, sisanya dari KSPSI dan KSBSI. Aksi ini mereka organisasikan jauh hari. ”Saya tak ingin aksi jadi kacau, lalu isu kami hilang ditelan berita aksi buruh rusuh,” kata Iqbal saat diskusi gerakan buruh di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Selasa (24/4).

Mereka membentuk pasukan pengaman sendiri untuk mengamankan anggota dan mengatur gerak aksi buruh. Panglima Garda Metal Baris Silitonga dari FSPMI bertugas memastikan peserta aksi May Day terkendali geraknya. Garda Metal juga menjadi alat kampanye agar buruh menjadi anggota serikat buruh/serikat pekerja (SB/SP) dan menjadi alat propaganda perjuangan buruh.

Iqbal menambahkan, dia beberapa kali dipanggil Badan Intelijen Negara. ”Saya jelaskan, jangan sampai salah memetakan. Kalau kami dihalangi, tidak ada saluran suara buruh,” katanya.

Aksi May Day menjadi ujian bangkitnya kembali gerakan buruh. Apabila semasa Orde Baru hanya ada satu serikat buruh, SPSI, setelah reformasi tahun 1998 SB/SP tumbuh subur. Menurut Kemenakertrans, saat ini ada 6 konfederasi buruh, 91 federasi SB/SP serta di tingkat nasional ada 170 SB/SP dan di tingkat perusahaan 11.852 SP/SB. Adapun jumlah pekerja 3,4 juta orang.

Jumlah anggota itu berbeda dari klaim konfederasi. KSPSI pimpinan Andi Gani Nena Wea dalam situsnya mengklaim beranggotakan 5 juta orang. Sementara SPSI kini menjadi tiga organisasi.

Ketua Umum SPSI ”Kalibata” (berkantor di daerah Kalibata, Jakarta Selatan) Syukur Sarto tidak terlalu optimistis dengan rencana aksi damai May Day.

Alasannya, kunci kesejahteraan buruh dan keuntungan pengusaha ada pada pemerintah. Banyak faktor lain yang menentukan di luar urusan bipartit.

Sementara, KSPI versi kongres di Batu, Jawa Timur, pimpinan Yorrys Raweyai, terbentuk 1 Februari lalu dan akan dikukuhkan 1 Mei nanti, sambil merayakan Hari Buruh. Yorrys menyatakan akan merevisi UU Ketenagakerjaan demi kesejahteraan buruh.

KSPI anggotanya lebih jelas, terdiri atas 9 federasi dengan sekitar 570.000 anggota. Salah satunya, FSPMI, yang punya 131.337 anggota yang tercatat nama dan alamatnya. Iuran terkumpul Rp 560 juta per bulan yang dikumpulkan di tingkat pabrik.

Terfragmentasinya serikat buruh memecah suara mereka. Menakertrans Muhaimin Iskandar juga menyayangkan terfragmentasinya organisasi buruh.

Oleh karena itu, aksi 1 Mei membawa isu buruh yang berkembang di pabrik-pabrik ke ruang publik sebagai isu penyatu.

Tuntutan buruh adalah memastikan jaminan sosial berjalan sesuai dengan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Juga subsidi rumah murah dan transportasi serta pendidikan murah.

Aksi juga menolak upah murah. Caranya, merevisi Keputusan Menakertrans No 17/2005 tentang Kebutuhan Hidup Layak (KHL), yang memuat hanya 46 komponen sehingga tak sesuai dengan keadaan. FSPMI membuat survei KHL sendiri dengan memasukkan 86 komponen. Hasilnya, komponen sewa tempat tinggal dan transportasi menyedot 45 persen upah buruh.

Oleh karena itu, ada aksi menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) karena akan langsung menaikkan biaya sewa rumah dan transportasi.

Aksi juga menuntut dihapusnya sistem kerja waktu tertentu (outsource) dan praktik pelarangan berserikat oleh pengusaha.

Pengajar di Unika Atma Jaya Jakarta dan kandidat doktor hukum perburuhan dari Universitas Leiden, Surya Chandra, mengatakan, kesadaran membawa isu pabrik menjadi isu publik merupakan hasil pergulatan aktivis buruh sendiri.

Isu yang mereka perjuangkan awalnya untuk kepentingan sendiri, tetapi kemudian disadari isu tersebut juga jadi kepentingan masyarakat luas. ”Itu hasil temuan mereka sendiri melalui diskusi-diskusi buruh,” kata Surya.

Isu bersama itu lalu menjadi pengikat gerakan.

Sejarah

Sejak pemerintah meratifikasi Konvensi Nomor 87 Organisasi Buruh Internasional (ILO) tentang kebebasan berserikat pada 1998, organisasi buruh tumbuh subur. Rekson Silaban dalam diskusi buruh di LIPI, Selasa lalu, mengingatkan, salah satu ukuran keberhasilan perjuangan buruh adalah perjanjian kerja bersama (PKB) antara buruh dan pemberi kerja. Jumlah PKB sejak ratifikasi Konvensi ILO tetap 11.000-an, sementara jumlah peraturan perusahaan yang dibuat pengusaha 44.000.

Selain itu, meski upah secara nasional meningkat 8-10 persen per tahun, bila memperhitungkan inflasi dalam 10 tahun terakhir, menurut Bank Dunia, justru turun 2 persen.

Kamis kemarin terjadi dialog nasional di antara tiga konfederasi buruh. Presiden KSPSI ”Pasar Minggu” (karena berkantor di Jalan Raya Pasar Minggu) Andi Gani Nena Wea menyebut dialog nasional tersebut adalah dialog pertama di antara SP/SB.

”Buruh butuh payung kuat dan besar untuk memayungi gerakan bersama. Kami menyiapkan Manifesto Buruh yang menjadi cetak biru perjuangan buruh ke depan,” kata Andi.

Puncak ujian adalah pembacaan Manifesto Buruh di Gelora Bung Karno pada 1 Mei dan peresmian Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI).

Menurut Iqbal, MPBI adalah payung konfederasi dan federasi buruh dan pekerja se-Indonesia. MPBI tidak memiliki jabatan struktural, dipimpin presidium dari Presiden KSPI, KSPSI, KSBSI. Badan pekerja terdiri atas sekretaris jenderal konfederasi dan federasi. MPBI mengorganisasi gerakan, isu, dan strategi di pusat dan daerah. Penyatuan tanpa persatuan ini, menurut Surya Chandra, penting dan bertemu dalam isu bersama.

Sejarah baru gerakan buruh mulai ditulis. Apa hasilnya, tergantung apakah buruh mampu membangun sistem kepemimpinan dan organisasi yang transparan dan demokratis serta tak lumpuh oleh godaan partai politik atau tekanan pengusaha. (Orin Basuki/Suhartono)

 

PERGESERAN PARADIGMA

Dari Orientasi Pasar ke Orientasi Sosial

 

Gerakan buruh di Indonesia bukan hal baru. Sejak zaman Hindia Belanda, pekerja kereta api beberapa kali mogok kerja. Tuntutan mereka antara lain perbaikan lingkungan kerja dan tempat tinggal pekerja.

Setelah Indonesia merdeka, sebagian besar perhatian tentang gerakan buruh, seperti disebut peneliti buruh, Ratna Saptari, dalam Working Paper 2000.5 The Role of The Labour Unions in the Process of Democratisation in Asia: The Oslo Asia Workshop at SUM, ditujukan pada era Orde Baru. Padahal, organisasi buruh yang lahir semasa Orde Lama berperan penting di Indonesia.

Terutama pada masa demokrasi parlementer tahun 1950-an, gerakan buruh begitu kuat sehingga mendapat tempat di parlemen dan ikut mewarnai pengambilan keputusan. Salah satunya, saat tahun 1957 diusulkan larangan mogok kerja, organisasi buruh berhasil membatalkan usulan itu meskipun peran militer cukup kuat.

Keadaan berubah pada era Orde Baru. Organisasi buruh ”disederhanakan”. Berbagai organisasi buruh, kecuali yang berafiliasi dengan PKI menjadi terlarang, digabungkan. Ujung penggabungan melahirkan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang lebih menjadi corong pemerintah. Lalu Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) lahir tahun 1992 melalui tokoh gerakan madani, antara lain, Abdurrahman Wahid dan dipimpin Muchtar Pakpahan, untuk mengimbangi SPSI.

Ketika Orde Baru surut saat reformasi 1998, Presiden BJ Habibie tahun 1998 meratifikasi Konvensi Nomor 87 Organisasi Buruh Internasional tentang kebebasan berserikat. Setelah itu, 10 pekerja pun dapat mendirikan serikat buruh. Di dalam satu pabrik juga boleh berdiri lebih dari satu serikat buruh/serikat pekerja. Akibatnya, suara buruh terpecah.

Dua tahun terakhir, gerakan buruh yang lebih terorganisasi mulai bangkit. Pengajar di Universitas Atma Jaya dan kandidat doktor bidang hukum perburuhan, Surya Chandra, melihat gerakan buruh yang diawali keberhasilan-keberhasilan kecil memberi rasa percaya diri, antara lain terbangunnya Koalisi Aksi Jaminan Sosial. Meskipun cair, melalui aksi terorganisasi berhasil mengawal diundangkannya UU Badan Pengelola Jaminan Sosial akhir 2011. Aksi yang terorganisasi juga berhasil menolak kenaikan harga BBM Maret lalu.

Aksi spontan penutupan Jalan Tol Cikarang, Januari 2012, karena keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung soal upah memberi pelajaran aksi mogok dapat memaksa keadaan berubah. Karena itu, aksi damai May Day pada 1 Mei kembali digunakan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, Konfederasi SPSI, dan Konfederasi SBSI untuk mendesak pemerintah memperhatikan kesejahteraan buruh.

Terjadi pergeseran paradigma gerakan, dari orientasi pasar, yaitu mendapat keuntungan ekonomi untuk anggota, menjadi orientasi sosial untuk mengimbangi pasar. ”Isu yang dibawa bukan hanya untuk kepentingan buruh, melainkan juga masyarakat luas,” kata Surya.

Sama seperti isu feminisme ”apa yang bersifat pribadi/domestik adalah bersifat politis/publik”, isu yang dibawa aksi buruh pada 1 Mei berasal dari pengalaman para buruh di lingkup pabrik.

Perubahan gerakan buruh juga menarik diamati dari para aktivisnya. Dita Indah Sari pernah sangat militan semasa Orde Baru melalui Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia mengadvokasi pergantian pemerintahan untuk memperjuangkan buruh, kini menjadi Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Menurut Dita kepada Kompas Senin lalu, Pemilu 2009 menjadi titik balik. ”Harus ada yang menjadi jembatan antara buruh dan pemerintah. Saya diminta masuk ke pemerintahan. Mengapa tidak dicoba? Apakah akan larut, sangat tergantung pada pribadi orangnya,” kata Dita. (NMP/HAR/OIN)

 

KESEJAHTERAAN : Tidak Miskin, Tetapi Jauh Dari Sejahtera

 

Kompas/Orin Basuki
Jalan kecil di deretan rumah petak atau biasa disebut indekos di Pasir Gombong, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Senin (23/4), terlihat masih ada genangan air sisa hujan sehari sebelumnya.

Kehidupan ekonomi kaum buruh Indonesia memprihatinkan. Padahal, buruh bukan hanya faktor utama produksi, melainkan juga salah satu pilar demokrasi yang dapat diharapkan komitmennya membangun masyarakat madani.

Dalam diskusi di Kompas, Jakarta, Sabtu (21/4), Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai, penerimaan terhadap partai politik menurun akibat kasus korupsi. Media massa sebagai pilar keempat demokrasi dikhawatirkan menurun daya kontrolnya karena bermetamorfosis menjadi industri.

Buruh di Indonesia adalah pelaku utama industri yang berkontribusi 27 persen terhadap produk domestik bruto rata-rata dalam enam tahun terakhir. Jumlah pekerja saat ini 110 juta jiwa. Sekitar 33 juta orang di antaranya bekerja di sektor formal, tetapi baru 3,4 persen yang aktif di serikat pekerja. Itu jauh dari ideal 20-25 persen, seperti di Eropa yang mampu memengaruhi kebijakan pemerintah.

Tingkat kesejahteraan yang rendah membuat buruh terpecah dalam lima konfederasi serikat pekerja. Mereka terus meneriakkan isu rendahnya upah karena upah minimum kabupaten (UMK) tidak menyejahterakan.

UMK sekadar cukup, tetapi dengan banyak pengorbanan. Upah buruh di Bekasi, misalnya, Rp 1,849 juta per bulan, banyak yang mendapat lebih kecil. Upah itu cukup untuk makan seadanya, menyewa satu kamar ukuran 3 x 4 meter, termasuk kamar mandi dan dapur, untuk 3-4 orang, dan transportasi. Tak cukup untuk meningkatkan pendidikan dan tidak bisa mencicil rumah.

Idealnya, buruh bekerja delapan jam untuk mendapatkan upah layak, tetapi di Indonesia dengan lembur pun belum tentu memperoleh upah layak. ”Sering kali lembur dua atau tiga jam, tetapi tetap dihitung satu jam,” tutur Rahmat (34) saat ditemui di Cikarang, Bekasi, Senin (23/4).

Status hubungan industrial pun memperparah keadaan karena 47 persen dari jumlah pekerja formal terikat kontrak sebagai pekerja waktu tertentu (outsource) dengan masa kontrak dua tahun. Selepas masa kontrak, buruh otomatis menganggur. Tidak semua pekerja bergabung dalam serikat pekerja/serikat buruh. Kalaupun ada serikat pekerja/serikat buruh, tidak semua memiliki perjanjian kerja bersama dengan pabrik.

Meski buruh menyumbang sekitar Rp 300 triliun per tahun atau 27 persen dari total penerimaan negara melalui pajak penghasilan, tidak satu pos anggaran pun dialokasikan untuk buruh.

Kehidupan bisa dianggap layak jika lima jaminan sosial, yakni jaminan kesehatan, hari tua, keselamatan kerja, pensiun, dan kematian, terpenuhi. Selain itu, ada jaminan perumahan, transportasi, dan jaminan pendidikan untuk anak-anak buruh.

Said menuntut subsidi rumah buruh Rp 20 juta untuk rumah sederhana seharga Rp 60 juta (rencananya ada 200.000 unit). ”Kami juga ingin pemerintah menyediakan bus karyawan dari pemukiman ke pabrik dengan tarif subsidi, seperti di India. Biaya rumah dan transportasi memakan 30 persen penghasilan buruh,” tuturnya.

Revisi KHL

Kunci meningkatkan kesejahteraan buruh adalah revisi Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2005 yang mengatur 46 komponen kebutuhan hidup layak (KHL).

Beberapa komponen KHL, seperti ikan tiga potong sebulan dan konsumsi 0,75 kilogram daging sapi sebulan, dianggap jauh dari sejahtera. Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) usul perubahan komponen KHL menjadi 86 macam. ”Ukuran KHL 2005 tidak layak. Buruh tidak masuk kategori miskin, tetapi sangat tidak sejahtera,” kata Panglima Garda Metal Baris Silitonga yang ditugasi FSPMI melakukan survei KHL tahun lalu.

Pemerintah melakukan sendiri survei KHL baru karena pengusaha tak setuju usulan buruh. Survei akan tuntas Juli 2012 dan digunakan sebagai dasar penentuan upah mulai 2013. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengatakan, pemerintah memperhatikan suara buruh dengan memberi dukungan APBN melalui rencana menaikkan pendapatan tidak kena pajak (PTKP) khusus untuk buruh. Presiden pun sudah setuju. Saat ini PTKP nasional Rp 15,8 juta per tahun. ”Pengusaha masih keliru memaknai UMK. UMK hanya layak bagi pekerja lajang dan bekerja di bawah setahun karena namanya minimum,” ujarnya.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi, buruh seharusnya tidak hanya memperjuangkan nasibnya sendiri, tetapi juga nasib perusahaan. ”Bila buruh sejahtera, perusahaan terus berkembang. Syukur kalau terus untung sehingga berdampak ke buruh,” ujar Sofjan saat dihubungi Kompas, Rabu (25/4).

Aktivis buruh perempuan zaman Orde Baru yang kini menjadi Staf Khusus Menakertrans, Dita Indah Sari, dalam perbincangan dengan Kompas, Senin (23/4), menyarankan, buruh dan pengusaha sebaiknya mulai mendorong perbaikan lebih fundamental. Isunya terkait perbaikan infrastruktur, pungli, premanisme, pasokan listrik, kenaikan harga bahan bakar minyak, hingga tingginya bunga bank.

”Ini penting agar industri dalam negeri tidak digilas globalisasi yang memungkinkan masuknya produk asing lebih banyak ,” ujarnya. (OIN/HAR/NMP)

 

ALIH DAYA – Segera Revisi UU Ketenagakerjaan

 

Sebagai anak, Andi Gani Nena Wea bangga pada ayahnya, Jacob Nuwa Wea, yang saat menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi melahirkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Undang-undang ini dinilai paling komprehensif sejak Indonesia merdeka. Tak hanya menyatukan aturan tenaga kerja yang tersebar sejak masa penjajahan Belanda hingga Orde Baru, UU itu juga mengakomodasi kepentingan buruh dan pengusaha.

Namun, sebagai Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Andi tak dapat membiarkan UU ini terus berlaku. ”UU ini ada plus-minusnya sehingga harus direvisi,” ujarnya kepada Kompas, Jumat (20/4).

Plus-minus UU tersebut antara lain soal sistem kerja waktu tertentu (outsource), selain upah dan jaminan sosial. ”Sistem itu bertujuan meningkatkan lapangan kerja. Praktiknya, tak sejalan UU. Banyak pengusaha nakal, pengawasan juga kurang, sehingga praktiknya melenceng,” ujarnya.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal menguatkan pandangan Andi. Menurut dia, sistem kerja waktu tertentu dengan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain atau alih daya membuat buruh tak terlibat langsung dalam proses produksi.

”Posisi lemah, buruh yang tak punya jaminan kerja, pesangon, dan asuransi kesehatan, mudah dipecat, serta upahnya lebih kecil dari buruh tetap. Ini menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan buruh. Padahal, UU Ketenagakerjaan mengatur hak-hak pekerja dengan ketat,” kata Said, Rabu (25/4).

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia Mudofir lebih lugas lagi. ”Sistem

kerja waktu tertentu menempatkan buruh sebagai komoditas dan alat produksi semata. Mereka dipekerjakan jika dibutuhkan, dikenakan PHK jika tak dibutuhkan,” ujarnya.

Sistem kerja waktu tertentu mengatur jenis pekerjaan yang dibolehkan hanyalah kegiatan penunjang atau di luar usaha pokok perusahaan, seperti tenaga keamanan, kurir, jasa kebersihan, dan sopir. Aturan itu dilanggar oleh hampir semua perusahaan tanpa ada sanksi.

”Semua jenis pekerjaan menggunakan jasa outsourcing,” keluh Mudofir.

Posisi tawar lemah

Pada Hari Buruh 1 Mei mendatang, ribuan buruh di Jakarta dan kota-kota lain kembali akan menuntut pencabutan sistem kerja waktu tertentu.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi menanggapi biasa saja rencana aksi buruh itu.

”Sepanjang UU Nomor 13/2003 belum diubah, sistem itu tetap berlaku. Tak ada alasan ditolak. Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menegaskan sistem tersebut,” ujarnya.

MK menyidangkan uji materi atas gugatan Didik Suprijadi yang mewakili Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia, Jawa Timur. Menurut Didik, sistem kontrak dan kerja waktu tertentu itu bertentangan dengan UUD 1945. Praktik buruh kontrak dan kerja waktu tertentu tersebut bisa mengarah pada perbudakan modern.

Keputusan MK

menerima sebagian gugatan Didik. Menurut MK, hubungan kerja buruh dan perusahaan penyedia jasa kerja waktu tertentu harus tetap menjamin hak-hak buruh. Agar buruh tak dieksploitasi, MK menetapkan buruh tak mendasarkan perjanjian kerja dengan waktu tertentu, melainkan dengan waktu tak tertentu sepanjang obyek pekerjaan masih ada. Tujuannya, buruh tak dapat seenaknya dipecat. MK juga mengalihkan perlindungan buruh dari perusahaan pengerah kerja kepada perusahaan pemberi kerja. MK tak sependapat UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945.

Menurut Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, penyelewengan sistem kerja waktu tertentu merupakan buntut

rendahnya posisi tawar buruh dan sempitnya lapangan kerja. ”Daripada menganggur, buruh, termasuk sarjana, terpaksa menerima pekerjaan apa pun. Solusinya, harus menambah lapangan kerja baru,” ujar Muhaimin.

Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Nawawi, dalam diskusi perburuhan di LIPI, Selasa (24/4), mengatakan, kajian LIPI memperlihatkan UU Ketenagakerjaan harus segera direvisi, termasuk pasal-pasal yang diperbaiki MK. ”UU Nomor 13/2003 berparadigma konflik, dan sejak diundangkan terus menuai kontroversi,” kata Nawawi.

Usulan pemerintah mengubah UU Ketenagakerjaan dua kali ditolak DPR RI dengan alasan tidak memihak kepada buruh. Pemerintah harus merevisi UU tersebut karena tak sesuai zaman dan menjadi prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2009-2014. Agar hubungan industrial berjalan baik, perubahan harus dilakukan terbuka, mengedepankan dialog dan jujur. (Har/OIN/NMP)

 

KEBEBASAN BERSERIKAT :

Melawan Modus Baru Pelarangan Berserikat

Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Nomor 98 Organisasi Buruh Internasional tentang Kebebasan Berserikat sejak 12 tahun lalu. Meski begitu, banyak kasus buruh dan pekerja bertentangan dengan hak dasar yang diatur Undang-Undang Dasar 1945 ataupun Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh.

Kompas mencatat, kasus pemberangusan kebebasan berserikat (union busting) hingga kini terus terjadi dengan banyak modus. Modus-modus itu mulai dari memutasi, menuduh pencemaran nama baik, hingga memecat pengurus dan anggota serikat pekerja atau serikat buruh (SP/SB). Padahal, kasus hukum melawan pemberangusan pernah ada tahun 2009.

General Manager PT King Jim Indonesia di Pasuruan, Jawa Timur, Fathoni Prawata, tiga tahun lalu divonis penjara 1 tahun 6 bulan oleh Pengadilan Negeri Bangil, Pasuruan, karena terbukti bersalah menghalangi kegiatan SP/SB di perusahaannya. Vonis PN Bangil itu lalu diperkuat Pengadilan Tinggi Surabaya dan Mahkamah Agung.

Meski ada yurisprudensi, kasus pemberangusan terus terjadi. Selain pemutusan hubungan kerja (PHK) 118 anggota SP/SB Londre, PT Perusahaan Listrik Negara, PT Angkasa Pura I, Serikat Karyawan (SK) Indosiar, juga yang terbaru adalah PHK 13 jurnalis pengurus SK di harian Indonesia Finance Today. Kasusnya baru-baru ini dilaporkan ke Polda Metro Jaya.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar kepada Kompas, Senin (23/4) di Jakarta, membenarkan banyak modus baru pengusaha memberangus SP/SB.

”Pengusaha banyak beralasan SP/SB dan SK susah diajak bicara, membuat macet negosiasi, dan lain-lain sehingga tak diperlukan. Padahal, itu tak boleh,” kata Muhaimin.

Untuk mencegah pemberangusan, pengawasan tenaga kerja, dan penyelesaian tripartit antara buruh, pengusaha, dan pemerintah bisa dioptimalkan. ”Buruh ingin kasus union busting dibawa ke pidana. Jadi, bukan perselisihan perburuhan atau perdata,” lanjut Muhaimin yang meminta Polri dan Kejaksaan menjerat kasus union busting dengan pasal pidana. Supaya mudah dipahami Polri dan jaksa, istilah pun diganti menjadi pelarangan kebebasan berserikat.

Hegemoni kekuasaan

Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi, union busting harus didefinisi ulang, tak bisa dikategorikan tindakan pidana. Karena ada perselisihan antara pengusaha dan buruh, harus masuk hukum perdata.

”Serahkan kebebasan berserikat ke buruh dan pengusaha. Banyak yang tak mau membuat SP/SB karena merasa tak berguna,” ujar Sofjan, Rabu (25/4).

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal mengatakan, kebebasan berserikat menjadi salah satu dari tiga tuntutan buruh pada Hari Buruh 1 Mei. ”Kami menolak pemberangusan SP/SB dan menuntut kebebasan berserikat. Ini penting bagi buruh menghadapi hegemoni pengusaha dan aparat,” ujar Said.

Pendapat senada diungkapkan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Andi Gani Nena Wea.

”Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan belum memberi sanksi pidana untuk pelarangan SP/SB,” katanya.

SPSI versi kepemimpinan Yorrys Raweyai dan SPSI versi Syukur Sarto juga menolak pemberangusan. Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia Mudofir mendukung perlunya aturan hukum bagi pelanggar kebebasan berserikat.

”Masih ada pengusaha anti organisasi buruh, padahal penegakan hukum di sini lemah. Bagaimana duduk berunding dan bernegosiasi jika hak dasar berserikat dan berpendapat tak dibolehkan?” katanya.

Tentu, bagaimana bicara kesejahteraan jika menegakkan yang fundamental pun susah bagi buruh.(har/oin)

 

KEHIDUPAN BURUH : Tenggelam Dalam Habitus Darurat

Kompas/Wisnu Widiantoro

Sejumlah buruh berjalan menuju rumah mereka setelah bekerja di salah satu pabrik di Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur, beberapa waktu lalu.

Jalan hidup para buruh mandek di lingkaran kemiskinan. Kota adalah satu-satunya harapan. Namun, kenyataan yang ditemui semakin jauh dari harapan.

Widodo (38), salah satu contohnya. Jebolan kelas II SMA jurusan IPA tahun 2000 dari Kalianda, Lampung, itu berpisah dari istri dan dua anaknya karena harus bekerja di Tangerang, Banten, sejak tahun 2006.

Sulung lima bersaudara itu berasal dari keluarga petani penggarap sepetak sawah. Hasilnya dibagi tiga antara penggarap, pemilik uang yang memodali pemilik sawah, dan pemilik sawah. Penghasilannya Rp 70.000 per tiga bulan. Untuk bertahan hidup, ayahnya menggarap sawah tetangga sehingga tiap bulan bisa mendapat sekitar Rp 70.000.

Kondisi orangtua Mei Rusdiyanti (30) sedikit berbeda. Warung makan ibunya masih bisa membiayai Mei sampai lulus SMA Comal, Pemalang, Jawa Tengah, tahun 2000. Namun, warung itu makin kalah bersaing, sementara ayahnya hanya petani penggarap. Mei, anak kedua dari empat bersaudara, harus bekerja untuk membantu membiayai sekolah adik-adiknya.

Subsisten

Widodo kini bekerja sebagai buruh tetap di perusahaan logam yang memproduksi panel-panel dan konstruksi. ”Di empat perusahaan yang sebelumnya sistemnya kontrak,” kata Widodo di depan kontrakannya yang berukuran 2,5 x 2,5 meter persegi di Cikoneng Hilir, Tangerang.

Dalam hal ini, ia lebih beruntung dari Sukirno yang kontrak tahunannya sudah diperpanjang tiga kali. Upah Sukirno Rp 1,7 juta, lebih tinggi dari upah minimum kabupaten (UMK) yang Rp 1.529.150. Ia juga masih mendapat tambahan uang makan dan transportasi sebulan Rp 400.000 jika penuh bekerja 10 jam selama sebulan.

Meski jabatannya asisten pengawas pabrik, gaji pokok Widodo Rp 1.100.000. Insentif Rp 250.000 per bulan dan uang makan Rp 35.000 seminggu. Widodo mengirimkan Rp 600.000 ke kampung setiap bulan.

Selain membayar kontrakan Rp 160.000 sebulan dan uang kebersihan Rp 15.000, Widodo memakai sisa uang untuk makan, beli kopi, gula, sampo, sabun, pasta gigi, dan ongkos transportasi. Lauk makan ia batasi tahu dan tempe, ikan asin, atau paling mahal, telur. Pakaian anak-anaknya hanya dibeli setahun sekali dengan uang THR Rp 250.000.

Hal yang sama juga terjadi pada Mei. Apalagi suaminya, Wahyu, baru bulan ini bekerja, setelah tiga tahun menganggur karena PHK. Penghasilan Mei sesuai dengan UMK Tangerang, uang makan Rp 850 per hari dan tambahan Rp 60.000 dari lembur.

Ia membayar sewa rumah Rp 250.000 per bulan serta iuran serikat pekerja Rp 15.000 dan Jamsostek Rp 30.000. Untuk makan dan susu untuk anak Rp 500.000 per bulan. Keluarga itu hanya membeli baju dan sepatu setahun sekali ketika mendapat THR satu kali gaji. Biaya lain adalah untuk pulsa yang melonjak kalau ada aksi buruh karena Mei adalah pimpinan Unit Kerja Serikat Pekerja Metal Indonesia.

Tabungan nol

Dengan biaya hidup—hanya untuk konsumsi dasar—kian meningkat dan upah yang kenaikannya hanya mengikuti logika penyesuaian inflasi, andai bisa lepas dari utang pun sudah beruntung.

”Kalau ada sisa uang, saya simpan untuk hidup bulan berikutnya. Kadang kurang karena anak mendadak sakit. Simpannya bukan di bank, tetapi di kantong saja, biar bisa langsung dipakai kalau dibutuhkan,” ujar Widodo.

Menabung uang jauh dari jangkauan. Widodo tak bisa memikirkan biaya sekolah anak-anaknya saat ini. ”Boro-boro nabung, untuk hidup saja tombok,” sergah Mei. Ia mengaku sekali-sekali harus berutang untuk menutup kebutuhan rumah tangga.

Gambaran kehidupan buruh bervariasi, tetapi tak banyak bergeser dari gambaran itu, bahkan lebih parah. Survei Institut Kajian Krisis dan Studi Pembangunan Alternatif (Inkrispena) memberi gambaran, setiap rumah tangga buruh mempunyai utang Rp 1 juta sampai Rp 4 juta per bulan. Utang itu digunakan untuk barang konsumsi, termasuk otomotif, pangan, energi, kesehatan, pendidikan, biaya relasi sosial (hajatan dan lain-lain), transportasi, dan komunikasi.

Menurut peneliti Inkrispena, Ruth Indiah Rahayu, yang biasa dipanggil Yuyud, penghitungan komponen upah selama ini hanya didasarkan pada pengeluaran untuk pangan. Pengeluaran untuk energi, transportasi, dan sewa rumah, yang alokasinya besar, sama sekali tak dihitung.

”Perjuangan buruh dalam konteks dengan relasi produksi, umumnya, hanya tuntutan normatif, seperti upah,” ujar Yuyud, yang juga aktif pada Perhimpunan Rakyat Pekerja. ”Pengetahuan kritis dalam menghitung upah belum berkembang. Ukuran kebutuhan hidup minimum masih berbasis pangan.”

”Terpenjara”

Cara hidup buruh, menurut Dr Herry Priyono dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, melahirkan probabilitas yang tinggi bagi anak-anaknya untuk terus berada di lingkup kehidupan sebagai buruh.

”Buruh perkebunan sampai ke anak-cucu ya jadi buruh perkebunan,” ujar Yuyud, yang sedang meneliti buruh perkebunan di Bandung. Gambaran itu juga terlihat dari anak-anak buruh tani miskin yang bekerja untuk keberlangsungan proses produksi kapitalis di kota.

Herry menyebut dua lapis penyebabnya. Pertama, lapis finansial, bagaimana upah dihitung dalam sistem kapitalisme. Upah adalah biaya yang dikeluarkan perusahaan sebagai penghasilan buruh. Besaran upah merupakan indikator rendahnya hasil posisi tawar buruh dan hasil dari fleksibilitas kerja.

”Pada tahun 1990-1995, buruh lulusan STM bisa jadi manajer. Sekarang tak mungkin terjadi,” ujar Herry yang pernah bergabung dengan Institut Sosial Jakarta, ”Dulu ada yang bekerja sampai pensiun, kesetiaan dihargai. Sekarang, tidak lagi.”

Dengan kondisi sekarang, keluarga buruh tak bisa merencanakan sesuatu yang sedikit lebih jauh dari kehidupan di depan mata. Gambaran cita-cita sekolah anak adalah fantastis karena upah langsung habis untuk kebutuhan sehari-hari, bahkan tombok.

Lapis kedua adalah lapis kultural yang merupakan implikasi lapis finansial. ”Seluruh pola habitus, termasuk cara makan, gizi, yang dibaca, cara berpikir, cara memandang dan cara mencari solusi, sangat darurat,” lanjut Herry.

Ia melanjutkan, ”Habitus darurat menyebabkan cara merasa dan berpikir serba darurat. Kondisi lapis finansial dan kultural ini seperti memenjarakan buruh dalam situasi itu. Kenyataan sosial seperti itu terus diproduksi.”

Menurut Yuyud, meski masih wacana terbatas di kalangan Inkrispena, gagasan perlindungan sosial transformatif (PST) perlu dipikirkan. PST berbeda dari jaminan sosial oleh perusahaan asuransi. Perlindungan sosial jauh lebih luas dari pengaman sosial. Konsep PST harus dirumuskan berdasarkan kebutuhan yang disuarakan penerima.

”PST merupakan tanggung jawab pemerintah berdasarkan asumsi pencegahan dari krisis. PST mencakup pembangunan daya tahan secara politik, termasuk melepaskan ketergantungan dari utang,” ujar Yuyud.(Maria Hartiningsih/Suhartono)

MODUS PEMOGOKAN Katarsis Bagi Buruh Cina

 

Tak pernah terbayangkan, pemerintah komunis China memberi angin kepada buruhnya yang berunjuk rasa. Demonstrasi besar-besaran pertengahan 2010 di Provinsi Guangdong pun berakhir dengan dipenuhinya tuntutan kenaikan upah sampai 33 persen. Sebuah kemenangan bagi perjuangan pekerja pabrik.

Peristiwa itu menarik karena serikat buruh di negeri itu selama ini hanya satu. Itu pun tak lebih dari kepanjangan tangan pemerintah. Pengurusnya tidak memperjuangkan kebutuhan buruh, tetapi menjaga kepentingan pemerintah.

Tak heran jika aksi unjuk rasa kali itu memang tidak digerakkan serikat buruh, tetapi oleh individu-individu buruh. Bermula dari bergeraknya buruh pabrik Foxconn—sebuah investasi asal Taiwan yang memproduksi beberapa merek komputer papan atas dunia—perjuangan buruh merambat ke sektor otomotif. Bentuknya pemogokan.

Modus pemogokan dianggap paling tepat mengingat besarnya ketergantungan industri mobil di China terhadap pasokan berbagai pabrik suku cadang. Sebuah pabrik pembuat mobil menyandarkan produksinya pada sekitar 200 sampai 300 pemasok.

CHAM Guangdong adalah pemasok utama transmisi mobil bagi dua pabrik mobil Honda—Guangqi Honda Automobile dan Dongfeng Honda Automobile. Selama 9,5 hari, sejak 17 Mei 2010, buruh di CHAM Guangdong menolak bekerja. Akibatnya, pabrik mobil Honda berhenti berproduksi. Kerugian mencapai 230 juta yuan dan 100 juta yuan pada kedua pabrik itu. Dampak rambatannya, sekitar 100.000 pekerja industri otomotif di China ikut merasakan akibatnya.

Pertanyaannya, apakah aksi tersebut menunjukkan penguatan mekanisme perjuangan aspirasi pekerja? Laporan Lin Yanling dan Ju Wenhi berjudul ”Collective Actions Push Trade Union Reform in China” dalam buku Trade Unions and The Global Crisis terbitan Organisasi Buruh Internasional (ILO) tahun 2011 membenarkan dugaan itu. Ini ditunjukkan dengan efektifnya para pegiat aksi buruh ini mendiseminasi informasi lewat internet. Tetapi, yang lebih penting, buruh berani menyatakan “tidak” pada serikat pekerja yang gagal membawakan kepentingan mereka, sekalipun itu bentukan partai.

Perubahan di China itu juga tak terlepas dari terobosan besar dalam produk hukum yang melindungi hak dan kepentingan buruh tahun 2008, yaitu Undang-Undang Kontrak Buruh, UU Promosi Pekerjaan, serta UU Mediasi dan Arbitrasi Sengketa Buruh. Yang menjadi masalah, saat angin ke arah perlindungan pekerja menguat, pada saat yang sama krisis ekonomi menerpa dunia. Permintaan hasil produk China dari luar negeri berkurang. Posisi tawar buruh pun menurun.

Pemerintah China dihadapkan pada pilihan sulit. Membela buruh atau pemilik modal.

Pengamat perburuhan Surya Chandra menilai, untuk menjaga posisinya di mata buruh, Pemerintah China melonggarkan cengkeramannya. ”Sebagian dibiarkan, tidak direpresi, terutama yang di perusahaan Jepang. Ini untuk katarsis. Tetapi, tidak ada cerita kalau itu terjadi di pabrik milik negara,” ujarnya. (fit)

FOKUS : Belajar Berorganisasi di “Sekolah Buruh”

 

Di tengah jembatan yang menghubungkan Kawasan Industri Jakarta Timur dan Kawasan Industri M2100 di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, tenda biru terbentang dari sisi ke sisi. Itulah ”sekolah buruh” FSPMI.

Disebut sekolah buruh karena tenda dan jembatan itu jadi tempat berkumpul para buruh belajar hubungan industrial. Sebut saja, cara menegosiasi hak-hak mereka dengan manajer, membuat perjanjian kerja bersama, serta pergerakan buruh dan mengorganisasi diri.

Meski serba terbuka, tenda itu bersih. Di bagian belakang ada mushala dan toilet darurat. Aliran listrik berasal dari kabel yang ditarik dari rumah salah satu pekerja. Di satu sisi ada papan tulis yang berisi jadwal buruh yang akan mengonsultasikan masalah mereka.

Pada pukul 10.30 sekitar 20 laki-laki muda usia tak lebih dari 25 tahun bergabung. Mereka pekerja waktu tertentu (outsource) dari kawasan Delta Silikon di Kawasan Industri Jakarta Timur. Karena tenda penuh, mereka turun ke kolong jembatan ditemani tutor. Tampak mereka awam soal gerakan buruh dan cara negosiasi.

Salah satunya Anto (27) asal Cirebon, lulusan SMK bagian listrik. Sudah tiga tahun dia jadi pekerja waktu tertentu walau pekerjaan mengecat sepeda motor adalah usaha pokok perusahaan. Anto tak tahu itu artinya perusahaan melanggar Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena tidak menjadikan dia pekerja tetap.

Anto tak punya pilihan. Ia pernah melamar langsung ke perusahaan tanpa melalui yayasan outsource, tetapi ”orang dalam” minta Rp 1,5 juta. ”Tidak ada kontrak kerja,” katanya.

Apabila bekerja penuh 26 hari, dia mendapat Rp 1.849.000. Namun, ia sering lembur karena punya istri dan satu anak di kampung. ”Tidak sanggup kalau istri dan anak ikut saya di sini,” kata Anto.

Anto melembur sampai 14 jam setiap hari untuk mendapat Rp 2,5 juta per bulan. Uang itu habis untuk sewa kamar Rp 350.000 yang dipakai berdua dengan adiknya. Untuk transportasi, dia mencicil motor Rp 625.000 per bulan. Perusahaan tak menyediakan angkutan dan naik angkutan umum ongkosnya lebih besar.

Setiap bulan ia kena potongan Rp 25.000 oleh yayasan. Jika lembur, potongan ikut membesar sampai Rp 100.000. Ia diikutkan Jamsostek, tetapi biaya kesehatan dipatok Rp 300.000 per tahun.

Endro (34) menerima upah minimum kabupaten Rp 1.849.000, sama seperti buruh baru meski sudah bekerja 11 tahun. Ijazah sarjana dari universitas swasta di Jakarta Timur tak berarti. ”Saya ikut demo mahasiswa tahun 1998,” katanya. ”Di tempat kerja saya baru terbentuk serikat buruh. Belum punya kesadaran gerakan buruh. Masih takut berserikat, takut PHK.”

Belajar berorganisasi

Jumlah angkatan kerja hingga Agustus 2011 sebanyak 117,4 juta orang, 37,77 juta orang bekerja di sektor formal. Jumlah penganggur 7,7 juta orang dan pencari kerja terus bertambah setiap tahun—tahun 2012 diperkirakan bertambah 2,02 juta orang—membuat pasar tenaga kerja sangat elastis. Posisi buruh lemah.

Upah minimum, menurut Menakertrans Muhaimin Iskandar, seharusnya dimaknai sebagai upah bagi buruh lajang dan bekerja kurang dari satu tahun.

Praktiknya ketentuan upah minimum membuat perusahaan enggan memberi upah layak sesuai keuntungan perusahaan. Nilai lebih dari kerja buruh tak sampai kepada mereka. Karena itu, FSPMI membuat sekolah buruh. ”Kami terus membangun kesadaran kelas,” kata Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Said Iqbal yang juga Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

Salah satu cara membangun kesadaran kelas adalah dengan melatih buruh mengorganisasi diri. KSPI mengambil model gerakan buruh yang menjadi antitesis model gerakan buruh yang condong dekat kepada penguasa dan model gerakan buruh yang ingin menggantikan pemerintahan untuk memperbaiki kesejahteraan buruh.

”Gerakan kami tumbuh dari bawah, dipimpin buruh dan karena itu membawa isu buruh,” kata Iqbal.

Manifesto buruh

Tanpa ada jaminan sosial bagi seluruh rakyat, sistem kerja waktu tertentu membuat eksploitasi pekerja tak terhindarkan. Ires (25) sudah dua bulan tak bekerja sejak kontrak kerjanya selama sembilan bulan di perusahaan pembuat boneka di Cikarang habis. Bersama teman sekamarnya, Reni (25), ia berkeliling dari satu pabrik ke pabrik lain mencari kerja.

”Kalau lewat yayasan, syaratnya umur enggak lebih dari 23 tahun. Untuk perempuan, tinggi minimum 155 cm,” kata Ires seraya mengusap air mata serta memegang map surat lamaran dan ijazah SMA dari Tasikmalaya.

Pada Hari Buruh 1 Mei mendatang, 70.000 anggota KSPI akan melakukan aksi damai bersama 30.000 anggota Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia dari Bundaran HI ke Istana Merdeka.

Mereka juga akan menyampaikan manifesto buruh yang isinya menolak upah murah, memberikan subsidi khusus untuk buruh, menghentikan upah buruh murah sebagai penarik investasi asing, menolak pemberangusan serikat pekerja, memberikan jaminan sosial, dan menghentikan hubungan kerja yang eksploitatif, seperti kontrak kerja waktu tertentu.

Ini pertama kali gerakan buruh bersatu tanpa penyatuan sejak era Orde Baru. Mandiri, tetapi sadar politik. Tampaknya sejarah baru gerakan buruh sedang ditulis. Waktu akan membuktikan warna yang dihasilkan.(Ninuk M Pambudy/Orin Basuki)

Posted in: BURUH