25.10.2013_KOMPAS_LAPSUS ”Tantangan Indonesia serta Prospek Politik dan Ekonomi 2014”

Posted on November 26, 2013

0


Jumat, 25 Oktober 2013,

Mengintip ”Menu” Presiden Mendatang

”Destruksi Kreatif” demi Masa Depan

Oleh: NINOK LEKSONO Pengantar Redaksi

Harian Kompas menerbitkan edisi khusus bertema ”Tantangan Indonesia serta Prospek Politik dan Ekonomi 2014”. Laporan itu bisa dibaca di halaman 33 hingga halaman 80. Penulisan laporan dilakukan dengan pengumpulan informasi di lapangan, wawancara dengan sejumlah narasumber, kajian dari Litbang Kompas, berbagai referensi lain, termasuk curah pendapat dengan sejumlah ahli, dan diskusi panel ekonomi.

Curah pendapat dihadiri Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup 1983-1993 Emil Salim; ekonom dari Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri; Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Pratikno; Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syamsuddin Haris; dan Pemimpin Redaksi Prisma Daniel Dhakidae.

Sementara itu panelis Diskusi Panel Ekonomi Kompas adalah pengajar Universitas Brawijaya, Malang, Ahmad Erani Yustika; ekonom Bank Danamon, Anton Gunawan; Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Anton Supit; Deputi VI Bidang Pengembangan Usaha dan Restrukturisasi Usaha Kementerian Koperasi dan UKM Choirul Djamhari; pengajar Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas; pengajar UI, Faisal Basri; perencana senior Bappenas, Hanan Nugroho; dan pengajar ekonomi UGM, Yogyakarta, Sri Adiningsih. Sebagai moderator adalah pengajar ekonomi manajemen UI, Rhenald Kasali.

 

—————————————————————————


”Masa depan itu tak tertulis, tetapi bagaimana kita membayangkannya bisa memengaruhi sikap dan perilaku kita saat ini, sebagaimana sejarah perorangan dan kolektif bisa menentukan siapa kita dan bagaimana kita bertindak….”

(Richard Watson, dalam Pengantar ”The Future-50 Ideas You Really Need to Know”, Quercus, 2012)

SATU dari 50 ide dalam buku ini adalah ”Demokrasi Digital”, yang menyebut tentang ”pemerintahan rakyat oleh rakyat”. Digitalisasi meniscayakan pemerintah perlu mendengarkan warga lebih saksama lagi di masa depan karena akan ada lebih banyak lagi pemilih yang bisa menyampaikan aspirasi politik tanpa harus menjadi anggota partai.

Futuris Alvin Toffler menambahkan, ”Teknologi politik zaman industri bukan lagi teknologi yang pas untuk peradaban baru yang kini sedang terbentuk di sekeliling kita. Politik kita sudah ketinggalan zaman….”

Boleh jadi itu ide untuk masa depan yang masih jauh. Namun, masa depan itu niscaya datang. Apa yang jadi penggeraknya? Mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore, dalam karyanya The Future (Random House, 2013), menyebut ada enam penggerak perubahan global paling penting. Keenamnya tidak saja konvergen—memusat—tetapi juga berinteraksi satu sama lain.

Tentu saja kita berkepentingan merebut kembali kendali nasib kita dan membentuk masa depan. Menurut Al Gore, yang dituntut adalah kemampuan menghadapi, antara lain, ekonomi global yang makin saling terhubung dan munculnya jejaring komunikasi elektronik berlingkup dunia yang menghubungkan pemikiran dan perasaan miliaran orang (seperti halnya Facebook).

Respons belum memadai

Terhadap pelbagai prospek perubahan yang ada sejauh ini, pemerintahan demi pemerintahan boleh jadi telah memperlihatkan upaya untuk merespons.

Terakhir, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, meluncurkan Komite Inovasi Nasional, selain Komite Ekonomi Nasional, serta Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Namun, banyak inisiatif baik yang dalam perjalanannya tak mewujud nyata.

Penyebabnya adalah tersedotnya sumber daya waktu, tenaga, dan pikiran pemerintah untuk urusan (survival) politik, satu distraksi yang harus ditebus mahal dengan pupusnya peluang membuat langkah-langkah besar.

Dengan energi yang banyak tersedot untuk masalah politik ini, kinerja ekonomi tak bisa lebih optimal daripada apa yang bisa dicapai sekarang. Selain kesenjangan—seperti diperlihatkan indeks gini—yang membesar, ternyata fundamental ekonomi Indonesia tidak sekokoh seperti yang banyak diklaim. Karena amat bergantung pada impor untuk hampir sebagian besar kebutuhan, defisit perdagangan pun tak terelakkan.

Di tengah masa yang penuh guncangan ini, fokus bangsa Indonesia setahun ke depan tak ayal lagi adalah pemilu legislatif dan pemilihan presiden. Dari luar, terkesan kita telah cukup dewasa untuk mempraktikkan demokrasi.

Namun, di kalangan concerned citizen (warga peduli) masih sering muncul argumen, yang kita jalankan sejauh ini baru sampai pada demokrasi formal prosedural. Demokrasi yang maslahat, di mana hasil pemilu legislatif ataupun pemilu presiden mampu membawa bangsa pada lompatan kuantum kemajuan, ibaratnya masih menunggu Godot.

Bayangan kemenangan golongan putih (golput), bayangan masih akan terus berlanjutnya sistem politik transaksional, dan hukum yang masih belum memuaskan penegakannya memang masih jadi alasan bagi tumbuhnya pesimisme.

Jika di hari kemarin kita sering mendengar wacana amputasi bagi elemen yang tidak berfungsi baik, kini kita diingatkan kembali pada konsep creative destruction. Sebagaimana dicetuskan ekonom Joseph Schumpeter dalam karyanya, Capitalism, Socialism and Democracy (1942), destruksi kreatif meminta dilakukannya ”perubahan industri dengan terus-menerus merevolusi struktur ekonomi dari dalam, menghancurkan yang lama, dan secara tanpa henti mencipta yang baru”. Ada alasannya kalau penghancuran kreatif ini kita lakukan tidak saja untuk ekonomi, tetapi juga untuk bidang politik dan hukum.

Mimpi dan PR-nya

Prediksi McKinsey (2012, lihat Grafik) bahwa Indonesia akan menjadi ekonomi nomor tujuh di dunia dalam kurun 1,5 dekade ke depan tentu saja membesarkan hati elite. Sama seperti ketika media Barat menyebut Indonesia punya golden chance untuk menjadi negara maju.

Namun, satu hal yang harus kita sadari ketika kita mendengar kata ”prediksi” atau ”peluang” adalah bahwa di dalamnya ada persyaratan. Alih-alih menjadi ekonomi nomor 7, gonjang-ganjing yang ada sekarang ini, di tambah dengan faktor-faktor penggerak—atau bisa juga disebut ”pengguncang”—seperti disebut dalam The Future-nya Al Gore, mengandung potensi memelorotkan peringkat Indonesia.

Tentunya kita juga awas terhadap faktor-faktor yang membuat satu negara lalu disebut sebagai negara gagal. Pemikiran yang dikandung dalam buku Why Nations Fail karya Daron Acemoglu dan James A Robinson (Crown Business, 2012) bisa menjadi satu acuan untuk menjauhkan kita dari faktor-faktor yang menjadikan RI sebuah negara gagal.

Satu hal yang juga tak disangsikan lagi adalah bahwa menjadi ”ekonomi nomor 7” adalah mimpi yang harus diwujudkan dengan kerja keras dan mentalitas baru. Kembali pada buku Why Nations Fail, ternyata lembaga politik dan ekonomi buatan manusialah yang jadi penentu penting bagi kesuksesan—atau sebaliknya kegagalan—ekonomi satu negara.

Meminjam semangat High Level Panel yang menyiapkan agenda pembangunan pasca-Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) (2015), karakteristik pembangunan yang dianjurkan adalah ”berkelanjutan, berkeadilan, dan ramah lingkungan”. Sejauh kita gagal membongkar kebiasaan lama melalui creative destruction, agenda pasca-2015 pun akan sulit kita capai, sebagaimana kita masih banyak kedodoran dalam upaya mencapai MDG.

Nyata sekali bahwa pekerjaan rumah bangsa Indonesia, bukan hanya bagi presiden yang terpilih dalam Pemilu Presiden 2014, amatlah banyak. Ini bukan musim semi yang indah, tetapi tetap harus kita sambut.

**

Jumat, 25 Oktober 2013

Demokrasi Era Digital

Mengejar Generasi Pedas, Lekas, dan Bergegas

Oleh: AMIR SODIKIN dan WISNU NUGROHO 

DEMOKRASI kita tak lagi sama. Sejak era digital, ruang publik maya yang asyik terbuka di samping ruang publik nyata yang formal. Ruang publik maya itu telah membiasakan kita lebih terbuka, toleran, dinamis, dan fleksibel.

Perubahan kebiasaan yang membawa warna baru dalam demokrasi ini terlihat jelas di antara mereka yang biasa disebut digital natives, multitaskers, atau generasi Z. Dalam konteks pemilihan umum, mereka adalah para pemilih pemula yang jumlahnya sekitar 19,7 juta orang (Sensus Penduduk 2010). Usia mereka 17-21 tahun.

Sebagai penguasa telatah dunia maya, mereka mengisi ruang publik di media sosial dengan berbagai komentar pedas, lekas, dan bergegas. Apa yang ”mencuri perhatian” akan jadi pusat perhatian segera. Khas, tanpa beban dan ringan.

Generasi Z ini lahir ketika dunia sudah makin lengkap dengan berbagai perkembangan teknologi digital (1995-2005). Saat belajar membaca dan menulis serta beranjak remaja, di sekitar mereka ada Mp3 player, game konsol, game online, hingga yang paling membuat mereka tersita waktunya, media sosial. Mereka adalah anak kandung media sosial.

Dalam keluarga, generasi mereka dibesarkan orangtua dengan penuh perhatian dan kehati-hatian. Ketika masih bayi, mobil yang digunakan ditulisi stiker ”Baby on Board”. Apa pun yang diinginkan anak yang tumbuh jadi generasi Z ini berusaha dipenuhi orangtua mereka.

Tanpa beban psikologis

Sebagai anak kandung media sosial, mereka siap merespons apa saja yang sedang terjadi. Segala hal yang mencuri perhatian, menghadirkan kegembiraan, kekaguman, dan kejutan mereka akrabi dengan riang. Tidak terkecuali isu politik yang dimainkan generasi sebelum mereka. Mereka tidak memiliki beban psikologis untuk berbicara politik. Lahir setelah era Orde Baru tumbang mungkin membawa pengaruh.

Sebagai generasi yang lahir di era baru, setahun ke depan selama Pemilihan Umum 2014, sebagian dari mereka akan menjadi ”juri”. Hiruk-pikuk politik generasi Y dan generasi X akan jadi bahan pelibatan dan perbincangan.

Di mata generasi Z, generasi X yang lahir pada 1966-1976 adalah kumpulan orang konservatif yang dilahirkan oleh keadaan yang memaksa. Generasi X dikategorikan generasi yang partisipasi politiknya paling minim. Di Indonesia, generasi ini adalah anak kandung Orde Baru.

William J Schroer dalam gambarannya tentang generasi X di Socialmarketing.org menyebut generasi X secara global sebagai lost generation. Di Indonesia, generasi inilah yang akan memperebutkan tampuk kepemimpinan Indonesia dalam Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014. Di hadapan mereka adalah generasi Z yang akan memilih untuk pertama kali dan generasi Y (lahir 1977-1994) yang tumbuh di era MTV dan peralihan menuju era digital.

Di balik label sebagai sekadar ”generasi hore” di bidang politik, generasi Z kini menjadi raja di jagat maya. Mereka bisa dengan pedas mem-bully politikus yang dianggap tak becus memimpin. Sebaliknya, mereka bisa dengan lekas memuja politikus yang mereka sukai tanpa pretensi politik. Mereka bisa bergegas berpindah dari satu isu ke isu lain dengan riangnya.

Generasi ini sangat dinamis. Karena dinamisnya, sifat instan, seketika, cair, labil, tak terduga, berpindah-pindah, dan bertahan seketika melekat pada mereka. Pemikir sosial dan kebudayaan Yasraf Amir Piliang mengatakan, perlu strategi ”mencuri perhatian” atau ”seduksi” tanpa jeda berupa aneka bentuk penampakan luar dan permainan tanda untuk memikat generasi ini.

 Fenomena dukungan kepada Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) tahun 2013 adalah contoh kecenderungan itu. Di berbagai media sosial, banyak hasil kreativitas mereka. Membuat lagu parodi untuk Jokowi hingga kegiatan flashmob dilakukan dan diedarkan di media sosial. Semua dilakukan tanpa beban, lekas, dan riang. Tahun politik mendatang aktivitas-aktivitas spontan macam ini akan kerap kita jumpai.

Spontan bereaksi

Sifat lekas atau spontan bereaksi menanggapi situasi menjadi ciri generasi Z. Kita tengok apa yang terjadi di Yogyakarta. Di media sosial, saat ini sedang digarap kampanye ”Jogja Ora Didol” (Jogja Tidak Dijual). Kampanye ini makin menguat ketika Muhammad Arif Buwono (17), representasi generasi Z, ditangkap aparat pemerintah saat menebalkan mural bertuliskan Jogja Ora Didol di Pojok Beteng Wetan, Yogyakarta.

 Arif tergugah menebalkan tulisan itu setelah di sebuah warnet ia mendengar kabar tulisan Jogja Ora Didol yang dibuat seniman sebelumnya dihapus petugas. Tanpa berpikir panjang, ia bersama teman-temannya ke lokasi untuk menebalkan tulisan. Aparat lalu membawa Arif ke Balaikota.

 Harian Tribun Jogja mengabarkan, ketika Arif ditanya siapa yang menyuruh membuat tulisan itu, ia mengakui tindakannya spontan. ”Saya hanya menebalkan tulisan tersebut karena sepakat dengan kalimat Jogja Ora Didol,” kata Arif.

 Arif diadili di Pengadilan Negeri Yogyakarta, Kamis (10/10), dan dijatuhi hukuman tujuh hari kurungan dengan masa percobaan 14 hari dan membayar biaya perkara Rp 1.000. Pengadilan ini jadi awal kegiatan seni Festival Mencari Hariyadi. Karena kasus ini, slogan Jogja Ora Didol makin populer di kalangan anak-anak muda dan di media sosial.

 Mereka yang tak terhubung dengan misi Festival Mencari Hariyadi di Yogyakarta akhirnya tersadarkan, terhubung satu sama lain, dan turut mendukung Jogja Ora Didol. Dalam satu hari, percakapan di media sosial bisa mencapai 8.000 lebih menurut Topsy.com.

  Hariyadi adalah Wali Kota Yogyakarta yang menjadi sasaran protes setelah dalam pemilu sebelumnya mereka dukung juga. Tak ada beban untuk berganti sikap atau dukungan. Cara-cara khas generasi Z digunakan untuk merespons isu. Sebaliknya, pemerintah menanggapinya dengan cara-cara khas generasi X yang konservatif.

 Setahun ke depan, dengan makin populernya media sosial yang memberikan warna bagi demokrasi, politisi dan partai politik yang ”terperangkap” dalam generasi X tak lagi cukup menggunakan cara lama yang jadi ciri generasi mereka. Jurang komunikasi dan kondisi paradoks dalam demokrasi saat ini harus diatasi. Jika tidak, situasi yang kerap terlihat seperti ”enggak nyambung” antargenerasi akan kerap terjadi.

Generasi Z boleh saja dibilang generasi instan atau generasi ”About Me”. Namun, kerja dan kecepatan mereka tak terkejar mereka yang konservatif serta sedang sibuk
mengincar jabatan dan posisi. Mereka saling terhubung, kreatif, merdeka, dan akan jadi penguasa pada saatnya.

**

Jumat, 25 Oktober 2013

ruang publik

Media, Kuasa, dan ”Res Publica”

Oleh: YANUAR NUGROHO 

MESKI mungkin terkesan jelas, kaitan media dan kuasa sebenarnya tidak mudah diurai dengan memadai, apalagi untuk tahu dampaknya pada hidup bersama kita. Yang kita tahu, makin banyak yang khawatir media dimanipulasi politisi demi meraih kuasa. Dengan Pemilu 2014 di depan mata, apa persisnya peran media?

Sejak Reformasi 1998, lanskap media konvensional di Indonesia berubah drastis. Dari hanya 279 perusahaan media cetak dan 5 stasiun televisi swasta pada 1998, angka ini menjadi hampir tiga kali lipatnya kurang dari satu dekade berikutnya. Sementara itu, di republik ini kini ada lebih dari 80 juta pengguna internet, lebih dari 29 juta pengguna Twitter, lebih dari 64 juta pengguna Facebook, dan tercatat ada lebih dari 7 juta blog. Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (2012) menyatakan, kini internet menjadi sumber berita kedua terbesar setelah TV.

Data di atas menunjuk satu fakta, media makin besar perannya dalam kompetisi merebut kuasa. Sudah menggejala, layar kaca kini makin menjadi alat penangguk suara. Wajah peserta pemilu dan pesan mereka mulai mendominasi. Media online seperti Twitter, blog, dan Facebook pun bernasib sama. Kampanye politik mulai memenuhi ruang siber dalam bentuk status di blog, social network, ataupun kicauan para politisi dan pendukungnya.

Bagaimana kita memahami situasi ini?

Kira-kira ada dua cara pandang melihat gejala ini. Yang pertama, meratap dan menggugat netralitas media dalam politik. Sementara netralitas media berbasis internet masih diperdebatkan, sedangkan netralitas media konvensional makin diragukan. Sejumlah 455 perusahaan media di Indonesia dimiliki tak lebih dari selusin pengusaha; sebagian di antaranya adalah politisi yang akan ikut rebutan suara (Nugroho et al, 2011). Maka, mengandaikan netralitas semua media konvensional mungkin tak hanya naif, tetapi juga berbahaya.

Tragedi kita

Memang fitrah media, meneruskan gagasan Habermas (1984, 1989), adalah penyedia ruang publik sebagai fondasi bangunan demokrasi dan keadaban masyarakat. Ketika sifat publik media itu hilang karena turun derajatnya menjadi sekadar alat kuasa, ia kehilangan alasan-adanya. Dalam masyarakat beradab, hal ini adalah tragedi.

Cara pandang kedua melihat semua gejala ini sebagai penanda munculnya era baru dalam politik. Media tak hanya alat pewarta demokrasi. Ia adalah ruang yang harus direbut untuk menanamkan pengaruh dan kuasa itu sendiri (Castells, 2010). Karenanya, netralitas media itu ilusi belaka (Bagdikian, 2004). Cara pandang ini mungkin kedengaran pragmatis, tetapi sejatinya ia menunjuk pada satu gagasan: kekinian dan relevansi politik adalah kekinian dan relevansi media. Gampangnya, praktik merebut, dan tentu saja mempertahankan, kuasa makin ditentukan corak penguasaan terhadap media.

Dalam kedua cara pandang ini, bagaimana kita bisa meneropong peran media pada Pemilu 2014?

Media konvensional, khususnya TV, tampaknya masih akan menjadi alat utama memengaruhi publik dalam perebutan suara. Dengan penetrasi mencapai 98 persen (BPS, 2013), TV akan menjadi kanal paling penting dalam kampanye untuk merebut suara 173 juta pemilih pada Pemilu 2014 (KPU, 2013). Parpol dengan kedekatan pada stasiun TV tertentu sudah pasti akan memanfaatkannya untuk kepentingan meraup suara. Justru aneh kalau tidak mencurigainya.

Sementara itu, media berbasis internet besar kemungkinan digunakan menggaet suara kaum muda yang akrab teknologi. Parpol dan politisi yang fasih menguasai media sosial berpeluang besar menjaring suara 30 juta pemilih berusia 17-23 tahun di mana 22 juta di antaranya adalah pemilih pemula (ibid). Persoalannya, kebanyakan dari pengguna internet dan media sosial ini terkonsentrasi hanya di kota dan di daerah maju di Jawa-Bali-Sumatera. Parpol yang berstrategi menggunakan media baru ini harus memperhitungkan digital divide ini.

Upaya menggaet suara lewat media, dalam sejarah politik Indonesia, mungkin tak akan pernah lebih penting daripada yang akan terjadi pada Pemilu 2014 ini. Satu sebabnya, partisipasi masyarakat dalam pemilu selama ini terus turun, dari 92,7 persen (1999) menjadi 84,07 persen (2004), dan 71 persen (2009). Tentu banyak faktor yang memengaruhi. Yang paling utama barangkali karena masyarakat tak percaya pemilu bisa memperbaiki taraf hidup mereka. Namun, faktor lain yang juga penting adalah karena gagalnya parpol dan politisi mengomunikasikan diri pada para calon pemilihnya secara efektif lewat media—terlepas dari kualitas individu sang politisi yang tengah memburu kuasa.

Bagaimana menanggapi

Perkaranya, sejauh apa ruang publik dalam media kita ikut (di)remuk karena perebutan kuasa ini? Ketika layar TV, halaman koran, dan majalah kita dipenuhi kampanye terselubung ataupun terbuka, ketika ruang online kita dicecar pesan politik parpol dan politisi, bagaimana kita harus menanggapinya?

Pertama, masyarakat sipil dan pemerintah perlu membangun literasi publik terhadap media secara umum dan komunikasi politik secara khusus. Publik perlu tahu corak komunikasi politik parpol dan politisi, terutama kanal dan strategi komunikasi mereka. Ini tantangan besar karena mayoritas publik sebagai konsumen media sebenarnya tidak melek media, apalagi melek komunikasi politik.

Kedua, mendesak pemerintah memberi kepastian hukum diterapkannya kebijakan terkait komunikasi politik, khususnya yang mengatur kampanye di ruang publik dan penggunaan media. Manipulasi lewat media akan terus terjadi selama masih ada yang memburu kuasa. Selain itu, media pun tak akan lepas dari risiko bias, utamanya pada apa yang mendongkrak rating mereka. Itu pentingnya kebijakan untuk menjaga dan melindungi fitrah media sebagai salah satu pilar res publica—publik yang beradab dan demokratis.

Helen Keller, penulis dan aktivis ternama, berujar, ”It is a terrible thing to see and have no vision.” Ia buta-tuli, tetapi mampu menerawang persoalan politik kita hari-hari ini. Sungguh menyedihkan menyaksikan di media kita, parpol dan politisi yang tahu ada tantangan di depan mata tetapi tak punya visi menghadapinya. Kita punya peluang mengubah hal itu.

Penulis adalah peneliti di Universitas Manchester, Inggris, dan Asisten Ahli Kepala UKP4. Tulisan ini merupakan pandangan dan refleksi pribadi penulis sebagai peneliti.

**

Jumat, 25 Oktober 2013

peraturan pemerintah

Penyelamatan Mahkamah Konstitusi

Oleh: SUSANA RITA 

PERATURAN Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 atau yang dikenal dengan Perppu Penyelamatan Mahkamah Konstitusi ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagian kalangan menyambut baik, tetapi kelompok yang lain merasa kewenangannya diusik. Akankah perppu ini bakal ”selamat” ketika dibedah oleh DPR dan MK, dan bagaimana dampaknya bagi penyelamatan MK?

Ide penerbitan perppu muncul dalam pertemuan antar-pimpinan lembaga negara minus MK, Sabtu (5/10), di Istana Negara. Pimpinan MK tak diundang. Beberapa jam setelah Presiden Yudhoyono mengumumkan lima langkah penyelamatan MK, hakim konstitusi menggelar rapat dadakan selama tujuh jam.

Tak ada komentar tentang rencana penerbitan perppu. MK hanya mengingatkan putusan Nomor 138/PUU- VII/2009 yang secara gamblang memberikan tafsir resmi atas ”hal ihwal kegentingan memaksa” yang dimaksud Pasal 22 UUD 1945. Soal pengawasan, MK pun menyegarkan kembali ingatan publik akan putusan tahun 2006 yang menyatakan, hakim MK bukan obyek pengawasan Komisi Yudisial. Seperti menjawab pertanyaan masyarakat tentang siapa yang berhak, MK menawarkan pembentukan Dewan Etik.

Selang 12 hari setelah pertemuan pimpinan LN atau 15 hari setelah Akil ditangkap, perppu terbit. Perppu mengatur tiga hal, pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) sebagai badan pengawas eksternal dan bersifat permanen, pembentukan Panel Ahli untuk menguji kelayakan calon yang dikirimkan oleh DPR, MA, dan presiden dengan komposisi 3:1 (tiga calon untuk satu jabatan hakim konstitusi), dan penambahan syarat harus sudah ”pensiun” dari partai setidaknya selama tujuh tahun untuk bisa menjadi hakim konstitusi.

Banyak pihak mengakui, substansi yang diatur perppu sebenarnya bagus. Substansinya merefleksikan pembenahan MK secara sistematis, mulai dari pengisian hakim konstitusi yang menjadi tanggung jawab tiga institusi (DPR, MA, dan pemerintah) hingga sistem pengawasan yang melekat dan menjaga para hakimnya tetap dalam jalur.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Saldi Isra mengungkapkan, perppu tersebut merupakan salah satu upaya menjauhkan MK dari hiruk-pikuk politik dan partai politik. Untuk lembaga negara yang secara konstitusional diposisikan sebagai lembaga independen dan mandiri, semua pihak harus memiliki komitmen untuk tidak lagi diisi orang partai. Alasannya sederhana, lembaga itu akan bersentuhan langsung dengan kepentingan partai. Sebut saja, MK dengan kewenangannya menyelesaikan perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) ataupun sengketa pilkada.

Hanya saja, pengaturan mengenai hal itu tak tepat jika dibungkus dengan perppu. Klausul ”kegentingan memaksa”-nya sulit dipenuhi. Semua masih berjalan normal. MK bersidang, memeriksa, bahkan memutus perkara. Apabila pemerintah menggunakan alasan bahwa perppu untuk menyelamatkan citra MK yang sebentar lagi menyidangkan perkara sengketa pemilu, menurut Saldi, alasan itu pun tak tepat. Kondisi genting dan mendesak harus faktual. Bukan potensial.

Menurut dia, substansi dalam perppu lebih pas jika dimasukkan ke dalam revisi UU. Dan, apabila pemerintah dan DPR ingin memasukkan hakim MK sebagai obyek pengawasan KY, amandemen konstitusi menjadi pilihan. Memang benar bahwa proses tersebut membutuhkan waktu. Namun, bagi ahli tata negara lainnya, Irmanputra Sidin, waktu bukan persoalan. Pasalnya, kebutuhan mendesak MK adalah pengawasan dan hal itu bisa dilakukan melalui mekanisme Dewan Etik bentukan MK. Selain itu, penangkapan Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sebenarnya juga merupakan bentuk pengawasan yang lain.

Selain pakar tata negara, penolakan juga diungkapkan politisi di Senayan. Beberapa politisi bahkan menyatakan, perppu tersebut inkonstitusional. Melihat kondisi di atas, sulit untuk membayangkan Perppu No 1/2013 akan diterima di Senayan. Perppu bisa jadi ditolak, DPR kemudian memilih revisi UU. Namun, tetap ada peluang perppu disetujui. Saat ini, MK pun diminta untuk menguji konstitusionalitas perppu.

Penyelamatan MK

Pasca-penangkapan Akil, MK terpuruk. Hanya melalui putusan yang bagus, MK perlahan mampu meraih hati masyarakat kembali. Perkara pilkada yang masih tersisa seharusnya menjadi ajang pembuktian diri. Saat ini, upaya pemulihan MK masih relatif belum berat dilakukan karena hanya Akil yang diduga terlibat permainan perkara. Namun, jika terdapat hakim lainnya yang diduga terlibat, pembenahan MK menjadi sangat berat.

Untuk membangun kembali MK, lembaga ini tak bisa berjalan sendiri. Semua pihak termasuk DPR, MA, dan pemerintah harus menyadari, untuk membantu memulihkan kepercayaan publik kepada MK haruslah diawali siapa yang akan ditunjuk sebagai hakim konstitusi. Bagaimana latar belakang serta kapasitas dan kredibilitas keilmuannya.

Dalam penilaian Saldi, sosok pengganti Akil memegang peran kunci mengembalikan kepercayaan masyarakat. Kali ini, DPR selaku lembaga yang mengusulkan Akil pada 2008 dan 2013 (perpanjangan masa jabatan) harus mulai berpikir tidak lagi mengajukan bekas politisi.

Soal mekanisme seleksi, hal tersebut tergantung pada status perppu dan kapan Majelis Kehormatan MK menyelesaikan tugasnya. Akil telah diberhentikan sementara dari jabatannya. MK sudah membentuk Majelis Kehormatan MK untuk memastikan pelanggaran etik Akil. Apabila terbukti, Majelis Kehormatan akan merekomendasikan pemberhentian dengan tidak hormat Akil dari jabatannya kepada pimpinan MK untuk diteruskan ke Presiden. Apabila hal ini sudah dilakukan, proses penggantian Akil bisa dimulai.

Terkait pengawasan, baik Dewan Etik ataukah Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi bisa melakukannya. Tak hanya terhadap hakim konstitusi, tetapi pengawasan perlu dilakukan terhadap subsistem MK yang terlibat di dalam penanganan perkara, seperti panitera dan panitera pengganti. Ini penting terutama ketika musim sengketa pemilu sudah tiba. MK akan menerima ratusan kasus yang harus diselesaikan dalam jangka waktu 30 hari. Pada 2004, MK dibanjiri sekitar 273 kasus PHPU. Adapun pada 2009, MK harus menyelesaikan 650 kasus.

Ahli tata negara Refly Harun yang pernah menjadi staf ahli di MK pada Pemilu 2004 menyatakan, posisi panitera dan panitera pengganti demikian strategis. Merekalah yang mengikuti kasus dari hari ke hari. Terkadang hakim mengandalkan panitera pengganti karena tak sempat lagi mengecek satu per satu kasus yang ditangani.

Pemulihan MK sebaiknya bisa dilakukan dengan cepat. Dalam waktu 7,5 bulan mendatang, MK harus menangani sengketa PHPU Legislatif dan Presiden 2014. Masyarakat perlu MK yang tangguh, kembali tegak, dan kredibel untuk dipercaya menjadi wasit dalam sengketa pemilu legislatif dan pemilu presiden.

**

Jumat, 25 Oktober 2013

Kepemimpinan

Dunia Usaha Membaca Guncangan Politik

Oleh: STAFANUS OSA 

 ”TAK ada makan siang gratis” di tengah perebutan kekuasaan. Pamrih selalu mewarnai sendi-sendi perpolitikan, terutama saat calon-calon presiden mulai meminta-minta dukungan. Aroma perebutan kekuasaan semakin menguat saat sikap pragmatis telah melupakan idealisme kebangsaan. Di depan mata, ketidakpastian menjadi bayang-bayang mengerikan manakala pendulum politik kita makin tak tentu arah.

Kengerian itulah yang tak bisa dilepaskan ketika praktisi dunia usaha harus membaca secara cermat kondisi politik ke depan. Mereka bertanya: partai politik mana yang akan mendominasi kebijakan bangsa Indonesia ke depan? Dalam jangka pendek, siapa presiden kita tahun 2014-2019 yang bakal menentukan arah kebijakan baru?

Itulah Pemilu 2014 yang disebut sebagai pemilihan umum yang paling krusial. Krusial, terutama bagi eksistensi usahanya. Krusial bagi pengembangan usahanya di tengah tekanan-tekanan politik. Pola membagi risiko atau management risk menjadi semakin mahal, mengingat partai politik yang bakal menang pemilu makin banyak. Potongan kuenya semakin banyak dan bervariasi.

Fakta menunjukkan sebanyak 12 partai politik saling bersaing memperebutkan kursi. Puncaknya, parpol saling menyuguhkan pilihan calon presiden mendatang. Sebagian kutub ekstrem, seperti buruh, menyebutkan, perubahan dari permasalahan bangsa dan kebobrokan politik hanya dapat diperoleh melalui revolusi.

Kutub ekstrem lainnya masih memberikan ruang bagi demokrasi. Sayangnya, dalam masa transisi menuju demokrasi yang sehat, pelaksanaan hukum saling bertentangan dan birokrasi masih berjalan sewenang-wenang di berbagai daerah. Tidak ada kepastian hukum. Tanpa pemimpin yang kuat, penegakan hukum sulit diharapkan. Sekali lagi, pendulumnya selalu menguntungkan ekstrem kiri atau kanan.

Dalam 10 tahun terakhir, ironisnya tentara mulai masuk ke sikap-sikap pragmatisme. Diperparah lagi, generasi muda yang mencapai 50 jutaan orang kini ikut-ikutan memilih sikap pragmatisme. Tidak lagi mencari ideologi dan lebih memilih tolok ukur mengeruk keuntungan materi. Partai pun akhirnya lebih memilih cara-cara menarik suara rakyat dengan mengabaikan kredibilitas, tetapi sekadar mengejar popularitas semu.

”Kita butuh pemimpin yang kuat menjadi pemersatu, memiliki komitmen kuat dalam semangat nasionalisme dan kebangsaan, sekaligus mampu membangkitkan kepercayaan untuk sama-sama membangun bangsa. Rekam jejak menjadi penentu, bukan lagi semata-mata popularitas. Suka atau tidak, masyarakat kita kini berada dalam kondisi mistrust, disobedience, dan dikhawatirkan melahirkan sikap anarkistis,” kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi.

Ketua Apindo Anton J Supit mengingatkan kembali esensi reformasi sebagai perubahan menuju perbaikan. Bukan sekadar perubahan rezim, dari Orde Baru menjadi Orde Reformasi. Atau, dari era kurang demokratis menjadi demokratis. Itu saja tidaklah cukup. Apalagi, demokrasi yang ditandai oleh pemilu sebagai pesta kebebasan rakyat kental ditandai dengan uang sehingga mereka yang menjadi politisi ataupun pemimpin daerah tidak jelas asal-usulnya.

”Hanya karena pakai uang, anak atau saudara pejabat dapat menjadi anggota DPR atau eksekutif. Mereka lupa ada ungkapan noblesse oblige, di balik suatu jabatan atau tanggung jawab, ada kehormatan yang harus dijaga,” ujar Anton.

Saat ini, menurut Anton, masalah kehormatan sudah tidak digubris. Malahan mereka tidak tahu harus menjaga kehormatan. Padahal, dalam era globalisasi saat ini, mereka yang bersaing bukan hanya pelaku usaha, melainkan juga persaingan birokrasi/politisi kita dengan birokrasi/politisi negara lain.

”Bagaimana mau bersaing kalau sebagian besar pejabat publik bermental korup dan tidak memiliki integritas? Bahkan, pejabat yang harus menjaga sendi-sendi hukum pun terkontaminasi oleh ketamakan, ketidakpuasan atas segala yang diberikan? Akibatnya, sengketa politik pun bisa dipermainkan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau kelompok,” papar Anton.

Kartel politik mengerikan

Ketua Harian Dewan Hortikultura Nasional Benny Kusbini memandang Partai Demokrat, Golkar, PKB, PAN, PKS, dan PPP bersama-sama bersekutu di lembaga DPR ataupun pemerintah dalam rangka mempertahankan kekuasaan dan memaksakan kehendak agar semua pihak setuju atas berbagai kebijakan. Itu sudah bentuk kartel politik yang mengerikan di negeri ini.

”Sesungguhnya, apa yang dirindukan rakyat atas pemimpin masa depan? Tidak terlalu muluk, pemimpin haruslah bersih, jujur, tegas, dan punya semangat visioner untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Hilangkan korupsi dari tingkat pusat hingga daerah,” papar Benny.

Setiap menjelang pemilu, para calon pemimpin menunjukkan sikap kerakyatan. Blusukan ke sana kemari atas nama mencari aspirasi rakyat, mendengar keluhan dan harapan perbaikan rakyat. Praktis saja, kata Benny, rakyat merindukan pemimpin yang mau mendorong perbaikan infrastruktur (jalan, jembatan, pelabuhan, sarana irigasi, pembangkit listrik, dan bandar udara atau sarana transportasi publik lainnya). Namun, sekarang rakyat justru dibikin tercengang dengan besaran ongkos politik yang sangat mahal.

Ketua Komite Tetap Ketahanan Pangan Kadin Franciscus Welirang menyebut, persoalan logistik semestinya menjadi prioritas pemimpin masa depan di negeri ini. Bukan sekadar berebut kekuasaan politik. Bagi pengusaha,
siapa pun penguasa pilihan rakyat, dunia usaha biasanya akan secara fleksibel mengikuti arah kebijakan penguasa. Tak masalah partai penguasa berganti dalam lima tahunan.

Wajah perpolitikan yang semakin panas mau tidak mau harus dihadapi. Lepas dari pemimpin yang peragu? Ataukah bangsa Indonesia akan meraih pemimpin yang selalu kompromis? Atau malah pemimpin yang sekadar memiliki popularitas tinggi akibat pencitraan media? Rakyat yang semakin cerdas adalah satu-satunya tumpuan.

**

Jumat, 25 Oktober 2013

radikalisme

Residivisme Terorisme Jadi Ancaman Serius

Oleh: FERRY SANTOSO

DALAM ”Kamus Besar Bahasa Indonesia”, terorisme didefinisikan sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan, terutama tujuan politik. Akar terorisme di Indonesia memang memiliki sejarah panjang. Namun, setidaknya dalam 12 tahun terakhir, terorisme di Indonesia semakin mengkhawatirkan.

Aksi terorisme dilakukan oleh kelompok kecil, bahkan pelaku individual. Berbagai aksi pun bervariasi, dari penggunaan bahan peledak, pembunuhan dengan target tertentu (assassination), terutama aparat kepolisian, sampai perampokan, seperti toko emas dan bank, untuk mencari pendanaan.

Dari data Polri, jumlah pelaku kasus terorisme yang sudah tertangkap sejak 2000-2013 mencapai 904 orang. Dari 904 orang yang ditangkap itu, sebanyak 100 orang masih dalam proses hukum, mulai dari proses penyidikan, persidangan, sampai vonis. Jumlah orang yang masih dalam lembaga pemasyarakatan 254 orang. Jumlah terpidana yang sudah bebas sebanyak 447 orang.

Terpidana yang sudah bebas tetap berpotensi menjadi residivis kejahatan yang sama. Terpidana perkara
terorisme yang melarikan diri, seperti Fadli Sadama dari LP Tanjung Gusta, Medan, dan Basri dari LP Ampana, Sulawesi Tengah, juga dapat menjadi ancaman yang nyata.

Jumlah tersangka teroris yang tewas sebanyak 103 orang. Sejak 2004 sampai September 2013, polisi yang tertembak oleh pelaku kejahatan terorisme sebanyak 90 orang, terdiri dari 31 polisi tewas dan 59 polisi luka-luka.

Tahun 2014, aksi terorisme yang mungkin akan menelan korban tentu masih dapat terjadi. Bagaimanapun, terorisme tetap menjadi ancaman serius di Indonesia sebagai negara demokratis. Mengapa? Selama tujuan politik belum tercapai, berbagai upaya, khususnya aksi kekerasan, tetap akan dilakukan oleh pelaku kejahatan terorisme.

”Sebesar apa ancaman ke depan akan dipengaruhi juga oleh situasi politik di dalam negeri. Artinya, sejauh mana perkembangan situasi politik mengakomodasi tujuan politik mereka. Apabila perkembangan politik kita tetap konsisten dengan demokrasi, sebagaimana telah menjadi komitmen bangsa ini, dapat dipastikan mereka tetap melakukan aksi,” kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai.

Pelaku kejahatan terorisme dengan ideologi radikal memang menganggap demokrasi sebagai produk Barat yang dinilai akan menghancurkan sistem politik ideologi radikal dari jaringan kelompok terorisme. Sayangnya, perjuangan ideologi radikal tidak dilakukan dengan proses politik dengan cara-cara demokratis, tetapi dengan kekerasan.

Dari berbagai kasus yang terjadi, dapat dilihat aksi kekerasan dilakukan secara sporadis. Sejak Juli 2013, empat polisi ditembak oleh orang yang diduga berasal dari kelompok terorisme di Jakarta dan Tangerang. Keempat polisi itu adalah Aipda Patah Saktiyono, Aiptu Dwiyatno, Aiptu Kus Hendratna, dan Bripka Ahmad Maulana. Aipda Patah dirawat akibat luka-luka. Adapun tiga lainnya tewas. Terakhir, penembakan terhadap Bripka Sukardi di depan Gedung KPK. Namun, diduga penembakan Bripka Sukardi bukan dilakukan jaringan kelompok teror.

Dalam terorisme, yang mengkhawatirkan sebenarnya tidak hanya setiap aksi yang dilakukan. Penyebaran kebencian dan permusuhan terhadap negara juga merupakan hal yang berbahaya dan mengkhawatirkan. Propaganda kekerasan dan politik diedarkan melalui sarana informasi dan teknologi, internet.

Sayangnya, pencegahan peredaran informasi yang sesat seperti itu di dunia maya seakan-akan luput dari perhatian pemerintah. Dalam sidang perkara terorisme dengan terdakwa Barkah Nawa Saputra di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Barhah mengungkapkan, ia mengenal cara pembuatan bom dari majalah jaringan kelompok Al Qaeda, yaitu Inspire. Ironisnya, di Indonesia, majalah Inspire ini dapat diakses di Indonesia melalui internet.

Dalam salah satu terbitan majalah Inspire edisi ke-9, tahun 2012, disebutkan tujuan perlawanan dan terorisme individual adalah menimbulkan sebanyak mungkin kerugian material dan imateriil yang menjadi kepentingan AS dan sekutunya.

Tujuan perlawanan dan terorisme individual juga membuat AS dan sekutunya merasakan bahwa perlawanan telah menjadi fenomena yang meluas karena permusuhan AS dan sekutunya yang ditunjukkan di Asia Tengah, Selatan, Asia Tenggara seperti Filipina dan Indonesia sampai semenanjung Atlantik dan negara-negara Afrika yang mayoritas berpenduduk Muslim.

Pada majalah Inspire itu juga diulas berbagai cara pembuatan bom dan bahan peledak. Berbagai cerita sukses aksi terorisme dan semangat kemartiran juga dikemas dalam bahasa Inggris sebagai majalah online yang dapat diakses. Selain majalah itu, situs-situs yang propaganda terorisme dan aksinya juga meluas di dunia maya.

Fenomena global di dunia Arab, seperti di Mesir dan Suriah, termasuk di Filipina, juga dapat diamati di situs-situs tertentu di internet dan dapat memengaruhi gerakan radikal dan terorisme di Indonesia di tahun 2014 dan di masa mendatang.

Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail mengungkapkan, ada tiga kondisi yang dapat menjadi ancaman terorisme tahun 2014. Pertama, media internet yang mempropagandakan dan memuat berbagai cara peledakan bom. Kelompok jaringan teror memanfaatkan sarana IT untuk mengumpulkan dana. ”Mereka berkenalan di Facebook atau mencari berbagai informasi di internet. Setelah itu, mereka kopi darat,” katanya.

Penggunaan IT dan internet, lanjut Noor Huda, juga terlihat saat orang yang disebut-sebut sebagai Santoso tampil di Youtube. ”Itu, kan, perlu kerja tim,” katanya. Siapa yang mengambil gambar di pegunungan, membawa rekaman ke kota, dan memasukkan ke dalam Youtube.

Kedua, gejala residivisme, yaitu narapidana yang bebas dari penjara. Residivis tentu tetap akan melakukan aksi kejahatan sebelum tertangkap kembali. Beberapa narapidana terorisme juga bisa melarikan diri, seperti Fadli Sadama dan Basri.

Ketiga, lanjut Noor Huda, orang- orang yang ikut terlibat jihad atau membantu jihad di negara-negara di Timur Tengah, seperti Suriah dan Yaman, dan pulang ke Indonesia. Orang-orang tersebut dapat memiliki peran khusus di Indonesia.

Oleh karena itu, pencegahan dan pemberantasan terorisme ke depan memang tidak cukup mengandalkan kekuatan polisi atau Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri. Pencegahan dan pemberantasan terorisme benar-benar membutuhkan kebijakan dan keputusan politik yang lebih kuat.

Pencegahan terhadap peredaran ideologi radikal di situs itu, misalnya, terkait dengan payung hukum. Strategi pencegahan dan pemberantasan terorisme perlu diperkuat dengan kerangka hukum yang lebih tegas dan pasti.

”Substansi utama adalah agar upaya proaktif mencegah aksi terorisme mempunyai dasar hukum yang jelas. Bagaimanapun, pelaku teror di lapangan tergolong orang yang tersesat karena disesatkan dengan mindset yang radikal,” kata Ansyaad.

Yang paling jahat adalah orang yang menyesatkan. Oleh karena itu, kalau ingin menangani dari hulu, kegiatan-kegiatan yang menyebarkan kebencian dan permusuhan kepada negara itu harus dapat ditindak sejak awal.

”Apakah tindakan penyebaran permusuhan dan kebencian terhadap negara masih dianggap sebagai kebebasan mengungkapkan pendapat atau sudah masuk ke wilayah kejahatan yang membahayakan bangsa dan negara. Menurut saya, di bangsa yang plural, seperti Indonesia, kegiatan tersebut merupakan bahaya yang sangat besar risikonya untuk dibiarkan,” tegas Ansyaad.

Jika terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan, penyebaran permusuhan dan kebencian akan mewabah di berbagai kalangan atau kelompok masyarakat, seperti kelompok intoleran. Akibatnya, aksi kekerasan dan pelanggaran terhadap kebinekaan sebagai takdir bangsa Indonesia, akan terbuka. Itu berarti ancaman terhadap kebinekaan dan NKRI pun semakin terbuka lebar.

**

Jumat, 25 Oktober 2013

Pemilu 2014

Merawat Benih Pendorong Perubahan

Oleh: AMIR SODIKIN dan NINA SUSILO 

ANAK-anak muda pemegang teknologi dan ”gadget” kini terasing dari kancah politik Indonesia. Mereka seolah tak menjadi bagian dari pembicaraan yang dilakukan politisi. Pada saat yang sama, mereka menganggap politik kotor dan busuk. Maka, tak mengherankan jika mereka memilih sinis dan apatis.

Maka, dua generasi yang berbeda dalam perbedaan ideologi dan cara pandang hidup itu kini sedang berseteru di Indonesia. Kubu generasi tua bersenjatakan politik untuk mengontrol Indonesia. Kubu generasi muda berusaha merebutnya dengan teknologi internet yang mereka kuasai.

Dari pemilu ke pemilu, jumlah golongan putih (golput) yang didominasi anak muda terus meningkat. Sebagian mereka memilih jalan golput sebagai perlawanan terakhir yang bisa mereka lakukan. Ketika tembok hegemoni rezim kekuasaan tak lagi bisa diketuk, mereka memilih tak mau datang ke tempat pemungutan suara.

Dalam konteks partisipasi politik warga, memilih golput dengan alasan politis merupakan bentuk partisipasi pula yang disalurkan dengan cara sinis.

Menurut Direktur Riset Charta Politica Yunarto Wijaya, secara kuantitatif, jumlah golput akan terus meningkat. Namun, yang akan meningkat adalah golput karena alasan apatis, bukan golput karena apolitis, bukan pula golput karena administratif.

Pemicunya adalah meningkatnya ketidakpuasan terhadap penyelenggara negara. Kebijakan negara juga tak menyentuh problem riil masyarakat. ”Yang terbesar nanti adalah golput apatis, ketika mereka acuh, tidak peduli, yang disebabkan sistem politik dan sistem pemilu yang tidak ideal,” kata Yunarto.

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Ramlan Surbakti mengatakan, sikap apatis warga lebih berbahaya ketimbang golput jenis lain. Sebab, pemilih golput karena politik masih akan berubah sikap ketika ada tawaran yang menjanjikan harapan. ”Sebaliknya, pemilih apatis tak memedulikan apa pun yang dilakukan partai,” ucap Ramlan. Tahun 2014, partisipasi warga diprediksikan akan makin turun jika tak ada perubahan besar di negeri ini.

Secara statistik, partisipasi warga dalam memilih turun jika dilihat dari Pemilu 1999 (golput 10,21 persen), 2004 (golput 23,34 persen), dan 2009 (golput 39,10 persen). Kecenderungan ini, ditambah perilaku para politisi korup, menimbulkan kekhawatiran partisipasi Pemilu 2014 makin rendah.

Meski demikian, baik Yunarto maupun Ramlan mengingatkan, partisipasi dalam memilih tak sepenuhnya bisa dijadikan acuan kualitas demokrasi. Masih ada kualitas pilihan warga yang menjadi indikator lain.

Pada zaman Orde Baru, partisipasi pemilih tinggi, tetapi disebabkan intimidasi dan mobilisasi sehingga kualitas demokrasi rendah. Sebaliknya, jika partisipasi pemilih hanya 70 persen, tetapi sepenuhnya ditentukan dengan kesadaran, demokrasi lebih berkualitas. Tentu saja idealnya partisipasi tinggi dan penentuan pilihan berdasarkan pertimbangan matang warga.

Pemilih muda

Salah satu usaha meningkatkan partisipasi politik adalah dengan mendekati kaum muda yang kini lekat dengan dunia siber. Mereka memimpikan adanya demokrasi elektronik (e-demokrasi) yang didasarkan pada partisipasi warga dan dibangun di atas keterbukaan informasi era siber.

Yunarto mengatakan, anak-anak muda ini masih bisa diberi pemahaman mengenai politik yang baru. Pola pikir mereka lebih terbuka. Mereka juga kalangan yang memegang informasi dari berbagai sumber sehingga mereka imun terhadap pengaruh yang tak sesuai keinginan mereka.

”Secara kualitas jumlah mereka juga besar, umur 17 hingga 31 tahun, artinya pemilih yang telah memilih sekali atau tiga kali, itu 38 persen dari keseluruhan pemilih. Itu angka yang luar biasa,” kata Yunarto.

Di Amerika Serikat telah terbukti bagaimana pemilih muda bisa menentukan arah perubahan dan itu dilakukan Barack Obama ketika memenangi pemilu. Waktu itu, sosok Obama dan revolusi dunia media sosial telah menggerakkan partisipasi pemilih muda pada rentang 18-24 tahun.

”Itu terbukti efektif dilakukan di Amerika Serikat dan bisa dilakukan di Indonesia,” ujar Yunarto. Karakter pemilih muda adalah mereka sangat kritis, sedang dalam pencarian jati diri, terbuka dan spontan, serta lebih mudah untuk diberi nilai-nilai baru soal politik.

Mendekati mereka harus dengan metode pendekatan komunikatif, menggunakan gaya bahasa mereka, dan harus diajak komunikasi dua arah. ”Penetrasi terhadap anak-anak muda ini juga harus melibatkan komunitas mereka bernaung, tidak bisa secara individu,” lanjutnya.

Aktivis yang juga Direktur Public Virtue Institute, Usman Hamid, meyakini, media sosial adalah kekuatan baru untuk gerakan perubahan sosial. Media baru ini telah menggantikan ruang publik yang selama ini dikungkung kekuasaan. Anak-anak muda yang menjadi netizen potensial bisa mengubah keadaan lebih baik.

Media sosial kini bisa menjadi harapan untuk mentransformasikan ide-ide gerakan dari dunia nyata. ”Kita telah punya pengalaman bagus. Pengalaman ketika mendukung KPK di media sosial akhirnya bisa jadi kekuatan riil waktu itu,” kata Usman.

Diakui, memang ada problem serius antara politik dunia riil dan media sosial. Anak-anak muda yang tersingkirkan dari panggung politik telah memiliki persepsi, politik riil itu busuk dan didominasi oligarki pemodal. Dampaknya, mereka seolah lari dari panggung politik riil.

Namun, banyak contoh pengorganisasian gerakan yang berhasil karena bermula dari media sosial. Bahkan, keberhasilan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama memenangi Pilkada DKI Jakarta mulai memacu harapan netizen untuk menggapai hal yang lebih besar lagi.

AE Priyono, peneliti dari Public Virtue Institute, menyatakan, dari kisah sukses Jokowi-Basuki yang berhasil menggalang dukungan dari media sosial, kini lahir imajinasi politik, yaitu mimpi mewujudkan jalan menuju perubahan Indonesia baru.

”Inilah imajinasi yang sedang dirawat para aktivis siber dan aktivis media sosial agar terwujud pada 2014 nanti,” ujarnya.

**

Jumat, 25 Oktober 2013

keberagaman

Konflik Sosial Masih Dilihat ”Sebelah Mata”

Oleh: FERRY SANTOSO

AKHIR 2011, aksi kekerasan dan konflik sosial terjadi di Sampang, Jawa Timur. Warga dari kelompok Syiah pun harus mengungsi. Hingga menjelang akhir 2013, warga yang mengungsi belum dapat kembali ke kampung halaman.

Kekerasan dan konflik sosial yang berlatar belakang agama dan kepercayaan dari tahun ke tahun makin memprihatinkan. Dari data Setara Institute, pada Januari-Juni 2013 tercatat 112 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang mengandung 160 bentuk tindakan yang menyebar di 16 provinsi. Separuhnya terjadi di Jawa Barat (61 peristiwa), Jawa Timur (18 peristiwa), dan DKI Jakarta (10 peristiwa), selebihnya tersebar. Dari 160 bentuk tindakan, 70 tindakan melibatkan para penyelenggara negara sebagai aktor.

Dari 70 tindakan negara itu, 58 tindakan merupakan tindakan aktif, seperti penyegelan tempat ibadah, diskriminasi, atau pernyataan pejabat publik yang provokatif. Adapun 12 tindakan merupakan tindakan pasif, yaitu tindakan pembiaran.

Terlepas dari warga Syiah, Sunni, Ahmadiyah, atau Kristiani, seluruh warga adalah warga negara Republik Indonesia. Negara wajib melindungi warga negara dan menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan sesuai dengan Konstitusi.

Sayangnya, aparat keamanan sering terkesan tidak tegas atau ragu-ragu dalam menghadapi kasus konflik sosial dengan berbagai latar belakang, termasuk agama dan keyakinan.

Konflik sosial ibarat masih dilihat sebelah mata. Padahal, tugas pokok aparat keamanan adalah menjaga dan menjamin rasa aman keamanan setiap warga dari tindakan intimidatif, diskriminatif, bahkan kekerasan.

Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Polri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti mengungkapkan, aparat kepolisian sejak masuk menjadi anggota Polri harus menyadari risiko tugas yang akan dihadapi. Salah satu risiko yang dihadapi adalah konflik sosial yang terjadi.

Kekerasan dan konflik sosial memang tidak hanya berlatar belakang agama/kepercayaan yang termasuk kategori SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Polri mencatat empat latar belakang atau sumber konflik, yaitu sumber politik, ekonomi, sosial, dan budaya, SARA, batas wilayah, dan sumber daya alam.

Dari catatan Polri, tahun 2012, potensi konflik di seluruh Indonesia mencapai 2.783 titik. Potensi konflik sosial yang bersumber pada bidang poleksosbud mencapai 1.500 titik, yang bersumber pada SARA 394 titik, bersumber pada batas wilayah 301 titik, dan bersumber pada SDA sebanyak 588 titik.

Mengapa konflik sosial itu semakin mewarnai kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara?

Jawaban yang paling mendasar adalah semakin rendah dan tipisnya perhatian pemerintah, termasuk politikus, baik di tingkat daerah maupun pusat, terhadap berbagai persoalan di daerah dapat menjadi potensi konflik. Pejabat di daerah, termasuk di pusat, juga masih melihat ”sebelah mata” akar persoalan konflik dan penanganan konflik.

Pejabat pemerintah atau politikus cenderung memikirkan bagaimana mendapatkan, mempertahankan kekuasaan, dan mengembalikan biaya politik yang tinggi untuk menjadi pejabat, termasuk di daerah. Konflik sosial dianggap sebagai ”kebakaran” yang harus dipadamkan oleh polisi saja.

Pemerintah memang sudah membuat Instruksi Presiden (Inpres) No 2/2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri. DPR dan pemerintah juga sudah menggelontorkan UU No 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Kedua produk peraturan perundang-undangan itu memberikan kewenangan dan kapasitas kepala daerah untuk menangani dan menyelesaikan konflik sosial.

Akan tetapi, persoalannya, pemerintah daerah, baik di tingkat kabupaten, kota, dan provinsi, belum memiliki kapasitas dan kepemimpinan yang kuat untuk menangani dan menyelesaikan konflik sosial. Bahkan, tidak jarang kepala daerah juga menjadi bagian dari pembuat persoalan sehingga memunculkan potensi konflik.

Koordinator Program Pascasarjana Psikologi Perdamaian Universitas Indonesia Ichsan Malik menilai, pemimpin daerah memang belum memiliki kapasitas dan kepemimpinan menangani dan menyelesaikan konflik. ”Koordinasi antarsektor dan instansi tidak berjalan. Jangankan antarinstansi, antarbupati dan wakil pun koordinasinya bisa tidak jalan. Antarbupati dengan gubernur. Apalagi, kalau berbeda partainya,” kata Ichsan.

Selain itu, pimpinan daerah, termasuk politikus, memang cenderung memikirkan kepentingan diri, golongan, atau kelompok. Biaya politik tinggi yang dikeluarkan untuk menjadi pejabat publik sering kali membuat mereka kurang perhatian terhadap masalah sosial, tetapi lebih memperhatikan bagaimana mengembalikan biaya politik yang sudah dikeluarkan.

Tahun 2014 merupakan tahun politik. Suhu politik akan memanas. Kerentanan konflik pun semakin terbuka. Berbagai isu yang dikembangkan, dari ekonomi, SARA, atau dugaan kecurangan dalam pemilu, dapat menjadi pemicu konflik terbuka.

Ichsan mengakui, tahun politik 2014 memang rentan konflik sosial. Apalagi, kepentingan politik dikaitkan dengan isu suku dan agama. ”Politik harus ada tunggangannya untuk sampai terjadi konflik terbuka. Korupsi tidak bisa menjadi tunggangan. Tunggangan yang efektif, agama dan etnik,” katanya. Isu suku dan agama dapat dimunculkan dalam kampanye ”hitam” (black campaign).

Badrodin mengungkapkan, menjelang pemilu, situasi politik akan memanas. Masyarakat lebih gampang terpicu oleh hal-hal yang kecil sehingga gesekan yang kecil bisa membesar. ”Konflik sosial bisa akan meningkat,” katanya. Selain itu, kondisi ekonomi dan tuntutan ekonomi yang semakin tinggi juga memengaruhi kondisi di masyarakat.

Situasi politik memanas itu dapat terjadi, menurut Badrodin, antara lain dengan adanya kompetisi antarcalon legislatif (caleg). Kedua, persaingan antarparpol dan isu-isu yang dikembangkan, mulai dari penyelenggaraan, pengawasan, persaingan antartim sukses, dan isu-isu yang dikembangkan bisa memancing gesekan antarkelompok.

”Partai mempunyai massa dan konstituen. Sepanjang pimpinan partai politik bisa mengendalikan, tidak ada masalah. Kalau tidak, enggak usah jauh-jauh, sekarang mana ada pilkada yang tidak panas,” kata Badrodin. Meskipun demikian, Polri sudah berupaya untuk mempersiapkan pengamanan pemilu.

Wakil Kapolri Komisaris Jenderal Oegroseno pernah mengungkapkan saat apel Kepala Satuan Wilayah, Polri mengharapkan peralatan pengendalian massa tidak digunakan dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dalam pengamanan Pemilu 2014.

Hal itu dapat terjadi jika aspek pencegahan terhadap aksi-aksi yang mengarah pada aksi kekerasan serta anarki dapat dideteksi, dicegah, dan dikendalikan.

Konflik sosial juga tidak akan terjadi jika semua pemangku kepentingan, baik pemerintah daerah, tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat umum, memiliki niat baik untuk menyelesaikan persoalan yang ada untuk kepentingan bersama.

**

Jumat, 25 Oktober 2013

netralitas

Sebuah Pertanyaan untuk TNI

Oleh: EDNA C PATTISINA 

AKAN netralkah TNI pada Pemilu 2014? Pertanyaan ini paling sering diajukan kepada Panglima TNI Jenderal Moeldoko. Pemilu 2014 akan menjadi ujian penting dalam profesionalitas TNI. Yang dipertaruhkan adalah kepercayaan rakyat terhadap tentaranya.

Masalahnya, persepsi rakyat mudah dipengaruhi rumor, seperti adanya informasi kerja tertutup TNI pada Pemilu 2009 di beberapa provinsi untuk menyukseskan calon presiden tertentu. Selain itu, masih ada trauma peran TNI sebagai alat kekuasaan selama Soeharto terus melanggengkan diri sebagai presiden. Bedanya, peta pertarungan politik 2014 kembali ke titik nol dengan tidak adanya petahana dalam bursa capres.

Hingga kini, posisi TNI secara politis masih terpinggirkan. Hal ini terlihat dari belum diizinkannya anggota TNI memilih. DPR juga masih menuding RUU Keamanan Nasional yang diajukan 2013 adalah cara legal TNI kembali masuk politik menjelang Pemilu 2014.

Kembali pada pertanyaan ”Akan netralkah TNI pada Pemilu 2014?”, Moeldoko, baik dalam uji kelayakan di DPR maupun kepada pers, menegaskan, TNI akan netral. Anggota TNI yang terlibat secara fisik atau meminjamkan fasilitas kepada partai politik akan dicopot.

Kepala Staf TNI AD Jenderal Budiman juga mengatakan hal yang sama. Secara nonformal, perwira kerap menyatakan tidak ingin campur tangan pada politik. ”Kami ingin menjadi tentara profesional untuk pertahanan. Pertanyaan soal netralitas itu so yesterday deh,” kata mereka.

Trauma TNI

Dosen Universitas Pertahanan, Salim Said, mengatakan, ada trauma di dalam TNI, khususnya TNI AD, akan keterlibatan mereka di politik pada masa Orde Baru. TNI AD yang membawa Soeharto memegang tampuk pemerintahan selama 32 tahun justru akhirnya dikhianati dan disandera Soeharto. ”Semua dibelokkan Soeharto untuk berpusat pada dirinya, termasuk dwifungsi ABRI itu sendiri,” kata Salim.

Mekanisme kontrol dari TNI, menurut Salim, sempat terjadi beberapa kali. Adanya perbedaan faksi di dalam tubuh TNI antara yang ingin mengkritik Soeharto dan ikut serta dalam rezimnya, menimbulkan keretakan dalam tubuh TNI. Alih-alih menjalankan peran mulianya sebagai tentara rakyat, ABRI menjadi tentara politik. ”Misalnya NKK/BKK (normalisasi kehidupan kampus) itu sempat ditentang, Benny Moerdani juga pernah protes soal anak-anak, tetapi semua yang mengkritisi akhirnya tersingkir,” kata Salim.

Diakui, ada keresahan militer pada politisi sipil yang kacau-balau di samping ingin mencicipi kembali anggur kekuasaan yang nikmat. Namun, reformasi militer juga bukannya sudah mapan. Pada tahun 2011, media sempat ramai dengan dua calon bupati masing-masing di Tapanuli Tengah dan Nunukan yang masih menjadi TNI aktif. Selain itu, watak lama TNI masih terlihat di UU Peradilan Militer yang belum direvisi, dan banyak pelanggar HAM masa lalu dari TNI belum diadili.

Hadirnya capres dari kalangan purnawirawan militer membuat peta pertarungan yang dinamis. Saat ini, ada dua nama yang menonjol jaringan dan logistiknya, yaitu Prabowo Subianto dan Pramono Edhie Wibowo. Keduanya dari Kopassus. Edhie (Akmil 80) pernah menjadi anak buah Prabowo (Akmil 73) yang tentunya menyisakan banyak cerita.

Walaupun Salim Said menggarisbawahi tidak lagi ada ikatan emosional antara tentara aktif dan pensiunan tentara, realitas tidak sehitam-putih itu. Hingga kini, masing-masing purnawirawan itu punya simpatisan dan penentang di kalangan prajurit aktif. Yang menarik, hampir seluruh militer aktif menyatakan masih mencari sosok alternatif.

Pertanyaan ”Akan netralkah TNI pada Pemilu 2014?” sebenarnya bisa dijawab dengan mudah kalau TNI bisa membuktikan konsistensinya sebagai tentara profesional yang mumpuni. Ancaman di masa depan begitu kompleks sehingga yang dibutuhkan tidak hanya tentara yang hebat, tetapi juga persatuan dengan rakyat. Persatuan ini penting untuk membentuk sistem keamanan nasional yang memosisikan Indonesia secara terhormat di tingkat regional ataupun global.

Mantan Sekretaris Menko Polhukam Hotmangaraja Panjaitan mengatakan, tidak hanya jenis ancaman, tetapi juga modusnya berkembang. Ia mencontohkan, ancaman cybercrime telah jadi cyberwarfare atau peperangan cyber yang tidak lagi menyerang entitas ekonomi, tetapi negara. ”Dulu namanya Badan Keamanan Rakyat karena masalahnya keamanan, habis itu Kopkamtib untuk hadapi komunisme, sekarang harus ada evolusi lagi,” kata Hotma.

Untuk menghadapi aktor ancaman yang canggih, negara harus lebih canggih. Pengembangan sistem keamanan nasional kerap menghadapi kendala, seperti yang terjadi dengan nasib RUU Keamanan Nasional. Pertama, masyarakat sudah merasa nyaman dengan sistem keamanan yang ada sekarang. Kedua, ada ketakutan kemungkinan penyelewengan kekuasaan yang terpusat pada satu orang atau satu institusi seperti intelijen atau TNI. ”Bikin sistem keamanan yang bagus, dengan demikian kita bisa cegah otoritarian itu,” ujar Hotma.

Dalam kepentingan itu, pembangunan sektor keamanan dilanjutkan dengan reformasi sistem keamanan nasional. Reformasi sistem keamanan sudah masuk ke dalam era kolaborasi, bukan sekadar koordinasi.

”Dalam hal ini, TNI hanya salah satu elemen,” kata Hotma. Konsep dan kesadaran akan keamanan nasional idealnya adalah hasil ”keroyokan” konsep dari berbagai lini yang mewakili berbagai elemen masyarakat. Bentuk aktual dari sistem pertahanan semesta ini membutuhkan saling percaya dan persatuan TNI dan rakyat.

Siklus alamiah lima tahunan demokrasi akan memuncak beberapa bulan lagi. Janji TNI kepada bangsa dan negara sejatinya melewati waktu dan rezim. Slogan HUT TNI tahun ini yang berbunyi ”Profesional, Militan, Solid, dan Bersama Rakyat TNI Kuat” menunjukkan itikad baik TNI. Namun, biar waktu yang menjawab ”Akan netralkah TNI pada Pemilu 2014?”.

**

Jumat, 25 Oktober 2013

Sistem Pemerintahan

Presidensialisme Masih Tetap Setengah Hati…

Oleh: TRI AGUNG KRISTANTO 

DALAM sebuah perbincangan dengan ”Kompas”, Kamis (17/10), di Jakarta, mantan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat BRAy Moeryati Soedibyo mempertanyakan keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat dalam penentuan Kepala Polri. ”Penentuan Kepala Polri adalah hak prerogatif Presiden,” katanya.

Moeryati, yang juga pengusaha jamu dan kosmetik di negeri ini, tak mempersoalkan sosok Komisaris Jenderal Sutarman yang menjadi calon tunggal Kepala Polri untuk menggantikan Jenderal (Pol) Timur Pradopo yang segera purnatugas. Namun, ia kembali mempertanyakan ”campur tangan” parlemen yang terlalu jauh dalam kewenangan eksekutif yang dijalankan presiden. Jabatan Kepala Polri yang tidak lebih tinggi dibandingkan dengan jabatan seorang menteri semestinya menjadi kewenangan presiden secara mutlak.

Sikap parlemen yang mencampuri pemilihan Kepala Polri, juga Panglima TNI, secara legalistik tidak ada yang salah. Wakil rakyat itu memiliki dasar hukum, yaitu sesuai Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), pengangkatan dan pemberhentian Kepala Polri dilakukan Presiden atas persetujuan DPR. Pasal 13 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menyebutkan, Presiden memberhentikan dan mengangkat Panglima TNI setelah mendapatkan persetujuan dari DPR.

Padahal, UUD 1945 termasuk perubahannya tidak mengatur pengangkatan dan pemberhentian Kepala Polri dan Panglima TNI. Bahkan, jika direnungkan, kebijakan pemberhentian dan pengangkatan Kepala Polri dan Panglima TNI itu harus sepertujuan DPR, bukan hanya menggerogoti makna presidensialisme yang digunakan dalam sistem pemerintahan di negeri ini, melainkan tidak sejalan dengan konstitusi. Pasal 10 UUD 1945 menyatakan, Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.

Pasal 4 Ayat (1) menyatakan, Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan sesuai dengan UUD. Presiden juga bertanggung jawab atas keamanan, ketertiban, dan pertahanan negara, yang dijalankan TNI dan Polri. Jabatan Panglima TNI dan Kepala Polri selama ini tidak lebih tinggi dibandingkan menteri atau pemimpin lembaga negara lainnya. Dalam Pasal 17 UUD 1945 ditegaskan, pengangkatan atau pemberhentian seorang menteri merupakan hak penuh presiden.

Kerancuan pelaksanaan sistem presidensial dalam pemerintahan di negeri ini, jika mengacu pada UUD 1945 setelah perubahan pertama hingga keempat, kian nyata dengan memperhatikan Pasal 13. Konstitusi hasil perubahan itu menyatakan, presiden berhak mengangkat duta dan konsul. Untuk mengangkat duta, presiden diminta memperhatikan pertimbangan dari parlemen. Bahkan, untuk menerima penempatan duta dari negara lain, presiden juga harus memperhatikan pertimbangan Dewan.

Selama ini untuk menetapkan seseorang menjadi duta, presiden selalu meminta pertimbangan DPR. Nama calon kepala perwakilan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di luar negeri ini diserahkan kepada parlemen, dan digelar fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan). Presiden terkesan menerima saja pertimbangan, bahkan penolakan yang diajukan parlemen.

Sebaliknya, ketika menerima penempatan duta dari negara sahabat, presiden tak pernah meminta pertimbangan dari DPR. Parlemen pun selama ini terkesan tak memedulikan hak yang diberikan konstitusi itu meskipun tidak berjalan semestinya. Kondisi ini berlangsung hingga saat ini, dan mungkin juga di masa mendatang, karena DPR dan presiden seperti tidak memedulikan ketentuan dalam Pasal 13 Ayat (3) UUD 1945, yang perubahan pada bagian ini disetujui pada tahun 2001.

Padahal, jelas jika mengacu pada Pasal 20A UUD 1945, hasil perubahan tahun 2002, fungsi DPR menyangkut tiga hal, yaitu bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan. Parlemen memiliki pula hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. Setiap anggota Dewan mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.

Pertanyaannya, memberikan pertimbangan saat presiden akan menetapkan Kepala Polri, Panglima TNI, duta, dan menerima duta dari negara sahabat itu termasuk fungsi DPR yang mana? Kerancuan presidensialisme ini tampaknya masih akan berlanjut sebab sampai hari ini tak muncul usulan untuk mengubah konstitusi atau merevisinya. Usulan yang sering kali didengungkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lebih mengacu pada perubahan konstitusi untuk memperkuat keberadaan DPD dan bukan untuk mengkaji kembali konstitusi hasil perubahan.

Multipartai, presiden terjepit

Pelaksanaan presidensialisme yang kokoh, bahkan terasa kebablasan, karena presiden menjadi pusat segala kekuasaan, seperti yang diperlihatkan Orde Baru, kini makin tergerus. Sikap pembuat UU (Dasar) pun tidak jelas sebab tetap mempertahankan sistem presidensial, tetapi sekaligus melemahkannya. Presiden yang semestinya lebih kuat kedudukannya, sebab dipilih langsung oleh rakyat dan bukan lagi mandataris MPR, kian terbelenggu dalam sistem multipartai yang disepakati pengelola negara ini.

Hanta Yuda AR dalam bukunya Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi (Gramedia Pustaka Utama, 2007), menyebutkan, kondisi sistem pemerintahan di Indonesia saat ini adalah presidensialisme reduktif (setengah hati). Prinsip sistem presidensial direduksi dalam konstitusi. Presidensialisme reduktif juga disebutnya sebagai soft presidentialism atau weak president.

Struktur politik kepartaian tidak kondusif bagi sistem presidensial multipartai ekstrem dan terfragmentasi. Dalam sembilan tahun terakhir, presidensialisme yang setengah hati itu kian menunjukkan wajahnya yang lemah sebab presiden lebih sering memosisikan dirinya atau diposisikan terjepit dalam pertarungan partai politik di parlemen ataupun di masyarakat.

Misalnya, dalam menyusun kabinet pun Susilo Bambang Yudhoyono yang dipilih mayoritas rakyat negeri ini terlihat tidak mandiri. Parpol menjepitnya dalam pusaran kepentingannya masing-masing, baik pada periode pertama maupun kedua. Padahal, parpol yang berkoalisi mendukung pemerintahannya tidak selalu solid.

Kebijakan yang diambil Presiden, seperti menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, bukan hanya dikritisi sejumlah partai pendukungnya, tetapi juga secara terbuka ditolak di DPR. Kegaduhan antarpartai pendukung pemerintah sering kali terjadi dan membingungkan rakyat. Presiden seperti tak mampu berbuat apa-apa, termasuk menghukum partai anggota koalisi yang tegas melawan kebijakan yang dibuatnya.

Dalam presidensialisme setengah hati, presiden memang lemah bukan hanya di parlemen, melainkan juga di tingkat pertarungan wacana di masyarakat. Kondisi itulah yang setidak-tidaknya tergambar dalam sembilan tahun terakhir.

Padahal, panggung politik masih bisa direbut. Sekalipun sudah memerintah dalam sistem presidensial yang setengah hati, KH Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri yang berbagi masa pemerintahan tidaklah mencerminkan lemahnya presidensialisme di negeri ini. Kritik terhadap sistem pemerintahan yang timpang masih sering dilontarkan. Pendulum kekuasaan di negeri ini semenjak masa reformasi memang lebih mengarah ke parlemen sekalipun Indonesia tidak menganut sistem parlementer.

Rektor Universitas Paramadina, Jakarta, Anies Baswedan dalam pengantar buku karya Hanta Yuda AR, menuliskan, sistem berdemokrasi kita belum sempurna. Optimisme untuk membangun dan memperbaiki kondisi itu tetap harus terus dihidupkan.

**

Jumat, 25 Oktober 2013

Bangsa Plural Tidak Boleh Keropos

Oleh: M SUBHAN SD 

ABAD ke-20 yang baru saja berlalu, kita menyaksikan dua negara-bangsa (”nation-state”) yang keropos: Yugoslavia dan Uni Soviet. Yugoslavia bertahan 73 tahun dan Uni Soviet bertahan 69 tahun. Kedua negara itu adalah negara besar. Yugoslavia menjadi motor Gerakan Nonblok dan Uni Soviet adalah pemimpin Blok Timur, dua kekuatan politik-ekonomi-militer yang memainkan peran penting sepanjang abad ke-20, selain Blok Barat.

Pada masa silam, Yugoslavia dan Uni Soviet punya pertalian dekat dengan Indonesia. Pemimpin Yugoslavia Josep Broz Tito bersahabat dengan Presiden Soekarno, sama-sama pemimpin Gerakan Nonblok. Uni Soviet berkawan dengan Indonesia selama Orde Lama. Keduanya sama-sama sebagai bangsa multietnik, multiagama, dan multibahasa.

Ketika dua negara itu runtuh, kita pun becermin ke negeri sendiri. Menurut George Friedman (The Next 100 Years: A Forecast fot the 21st Century, 2009), Yugoslavia adalah titik api karena menjadi perlintasan para penakluk, yaitu Imperium Romawi dan Dinasti Usmani (Ottoman). Setiap imperium meninggalkan bangsa dan agama di Yugoslavia, yang masing-masing menyimpan kebencian. Yugoslavia sangat rapuh, selemah Uni Soviet yang selalu menampilkan politik dominasi dan hegemoni. Dua negara ambruk bukan karena serangan penakluk dari luar, tetapi karena keropos di dalam.

Sejak lama, Soekarno mengingatkan. Mengutip sejarawan Arnold Toynbee (1889-1975) dan Edward Gibbon (1737-1794), Soekarno menegaskan, ”Suatu bangsa besar tidak akan runtuh, tidak akan tenggelam, kecuali jika dirobek-robek, pecah dari dalam. Jatuhnya suatu bangsa bukan perbuatan musuh dari luar. Musuh apa pun, kalau menghadapi bangsa yang kuat, tidak akan menghancurkan bangsa itu, kecuali jika bangsa itu sendiri merusak dirinya sendiri.”

Seperti Yugoslavia dan Uni Soviet, Indonesia juga negara besar. Indonesia adalah negara terluas ketujuh setelah Rusia, Kanada, Amerika Serikat, China, Brasil, dan Australia. Ingin melihat seberapa besar Indonesia, bandingkan saja dengan Uni Eropa. Andaikan peta Indonesia diletakkan di atas Benua Eropa, wilayah Indonesia membentang dari Inggris Raya hingga Turki. Artinya, Indonesia jauh melampaui Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, Belanda, Jerman, Italia, Swiss, negara Balkan, Yunani, dan Turki yang secara geografi berada di Asia.

Dari sisi kemajemukan, Indonesia memiliki ribuan suku bangsa yang tersebar di 17.000-an pulau. Modal manusia Indonesia besar, yaitu sekitar 237 juta orang, di bawah China (1,3 miliar), India (1,1 miliar), dan AS (297 juta). Pluralitas Indonesia sudah tergambar sejak awal abad ke-20, seperti dilukiskan JS Furnivall (Netherlands India: A Study of Plural Economy, 1939). Menurut Furnivall, pluralitas masyarakat Indonesia (Hindia Belanda) terlihat dalam lingkungan masing-masing, hidup dalam suku bangsa yang jelas batasnya, tetapi mereka berkomunikasi di pasar saat terjadi transaksi dan akhirnya kembali ke lingkungan suku bangsa masing-masing.

Indonesia memang negeri ”berwarna” akan etnik, bahasa, budaya, adat istiadat, agama, dan kepercayaan. Faktor pembeda itu di zaman pergerakan nasional awal abad ke-20 menjadi pengikat bersama. Orang Jawa, Sunda, Aceh, Batak, Minangkabau, Dayak, Banjar, Madura, Bali, Lombok, Flores, Bugis, Makassar, Manado, dan lain-lain menyadari akan perbedaan mereka. Namun, perbedaan itu justru menjadi tali-temali yang saling mengikat. Dengan membawa benang sendiri-sendiri, mereka merajutnya menjadi ”baju besar” bernama Indonesia. Penganut Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Khonghucu membawa titian masing-masing untuk dibangun menjadi jembatan bersama. Pendiri bangsa mendesain perbedaan agama, etnik, bahasa, dan budaya menjadi suatu puncak kesamaan sekaligus Fkebersamaan.

Sumbu konflik

Sayangnya, sekarang ini kemajemukan itu menjadi sumbu konflik. Politik identitas tiba-tiba meruak pascareformasi. Persoalannya, politik identitas tidak dibangun untuk memperkokoh ikatan komunal, tetapi memunculkan fanatisme kelompok. Etnik dan agama pun menjadi sangat rentan. Kekerasan atas nama agama, baik intraagama maupun antaragama, menjadi pemandangan yang menyesakkan dada.

Dalam banyak kasus, toleransi di antara pemeluk agama sangat rendah. Agama yang suci ternyata bisa memicu rasa benci yang melahirkan kekerasan. Kita tidak ingin kata-kata filsuf dan pakar psikologi agama William James (1842-1910) bahwa ”kesalehan menjadi sebuah topeng dan kekuatan batin merupakan naluri primitif” menjadi kenyataan di negeri ini.

Politik dominasi dalam dikotomi mayoritas-minoritas menjadi ”kekuasaan agama” yang hegemonik. Bukan hanya tindakan intoleran massa yang menonjol, kekerasan oleh negara juga sulit dicegah. Padahal, seharusnya negara memproteksi semua elemen bangsa sesuai dengan amanat konstitusi.

Runyamnya lagi pemicu konflik bukan lagi melulu alasan klasik, seperti sentimen agama, etnik, atau ketimpangan ekonomi, melainkan makin kompleks dan terus bergeser seiring dengan perubahan sistem politik dan kebijakan. Maka, konflik bisa terpicu karena ketidakpastian dan ketidakadilan hukum, pemilu kepala daerah, pemekaran daerah, atau sekadar batas desa.

Bahkan, konflik tersebut berkelindan satu dengan lainnya sehingga sering kali konflik pilkada atau pemekaran daerah diinfiltrasi sentimen etnik dan agama (etno-religius) untuk menutupi motif sesungguhnya, yaitu perebutan kekuasaan dan sumber daya ekonomi. Atas nama kepentingan politik, sentimen primordial diangkat menjadi ”komoditas” yang pada akhirnya memperparah konflik. Itulah jeratan sekuritisasi.

”Sekuritisasi sebetulnya isunya hanya berebut sumber daya ekonomi, tetapi wacananya adalah tentang hidup-mati suatu etnis, hidup-mati suatu agama. Sekuritisasi itu mungkin salah satu ilustrasinya, ya, Soekarno, zaman memperjuangkan kemerdekaan. Kita tidak punya pilihan selain hidup dan mati. Kalau hidup kita akan baik atau kita mati. Tidak ada kemudian kita akan lebih baik di bawah Belanda. Bahasa itu sekarang digunakan secara intensif oleh politisi lokal, oleh political entrepreneur di daerah yang ingin membangun kesejahteraan mereka melalui sumber daya ekonomi negara,” kata Pratikno, pakar ilmu politik, dalam curah pendapat beberapa waktu lalu.

”Ingin membentuk daerah otonom, mereka mengatakan etnis kita akan habis kalau kita tetap berada di kabupaten ini karena kita minoritas. Pilihannya hanya satu, kita membentuk daerah otonom atau selamanya kita akan sengsara dan kita akan habis, etnis kita. Jadi, bahasa sekuritisasi yang terus berkembang,” ujar Rektor Universitas Gadjah Mada itu.

Proses menjadi

Di era desentralisasi politik, konflik pusat-daerah tidak terhindarkan, terlebih lagi kebijakan nasional mengakibatkan pembagian kue pembangunan masih tidak merata. Ekonom kawakan Emil Salim mengkritisi alokasi anggaran yang bertumpu untuk Jawa, lalu Sumatera dan Bali yang totalnya menyerap 80 persen anggaran negara. Alokasi anggaran untuk wilayah lain tentu sangat kecil.

”Maka, disparitas pembangunan Jawa, Sumatera, Bali, dan daerah lain (serta prospek pembangunan Selat Sunda) melanjutkan ketimpangan semakin dahsyat. Dominasi Jawa mengingatkan kita pada sejarah Majapahit. Karena itu, menjadi pertanyaan dapatkah kita mempertahankan kesatuan Indonesia?” kata anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu.

Pascareformasi, konflik sosial seperti melekat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam catatan Kementerian Sosial, pada tahun 2012 saja terjadi 2.883 kasus konflik, 184 titik di antaranya konflik besar. Dampak konflik juga destruktif. Konflik etno-religius menjadi gesekan paling merusak, baik konflik horizontal antarsesama rakyat maupun konflik vertikal antara rakyat dan negara. Konflik di Poso, Ambon, Halmahera, Kalimantan, Aceh, dan Papua sudah saatnya menjadi catatan kelam yang harus dihapus dari peta bumi Indonesia.

Konflik politik dalam pilkada dan pemekaran daerah harus dihentikan. Pilkada dan pemekaran yang terus terjadi ini seharusnya tidak lagi memanfaatkan sentimen primordial, tetapi lebih mengedepankan cara demokrasi modern. Begitu juga dalam konflik lahan dan sumber daya alam, negara semestimya tidak menyuburkan pendekatan konflik, sebaliknya harus menciptakan kesejahteraan rakyat sebagai pemegang kedaulatan di negeri ini.

Jika memandang ke depan, terlebih perubahan pada 2014 saat suksesi presiden, kita harus berlari cepat membangun Indonesia yang baru. Indonesia masa depan adalah Indonesia warna-warni yang tanpa konflik, tanpa kekerasan, tanpa dominasi mayoritas-minoritas, tetapi penuh kesetaraan dan berkeadilan.

Kemajemukan adalah bagian dari puzzle yang membentuk Indonesia. Karena itu, kita harus memandang kebangsaan, sebagaimana kata filsuf Ernest Renan (1823-1892), sebagai konsep kesadaran moral (conscience morale), bukan sekadar konsep kesamaan budaya (cultuurnatie theorie) atau kesamaan negara (staatsnatie theorie). Seluruh bangsa harus menyadari Indonesia bukanlah sebuah keniscayaan (given), tetapi harus terus berproses menjadi (becoming).

**

Jumat, 25 Oktober 2013

Peluang Menuai Buah Demokrasi

Oleh: BESTIAN NAINGGOLAN

Bagi masyarakat, besar kecilnya manfaat demokrasi ditentukan oleh manisnya buah kesejahteraan yang dihasilkan. Setelah 15 tahun demokratisasi berlangsung, buah demokrasi belum merata terwujud.

Tahun 2014, yang sarat dengan berbagai peristiwa politik, akan membuka kembali gugatan klasik relasi demokrasi dan kesejahteraan masyarakat. Gugatan ini semakin relevan tatkala dihadapkan pada realitas yang kini berkembang, munculnya berbagai penyikapan miring masyarakat. Mencermati berbagai hasil pengumpulan opini publik yang dilakukan Kompas sepanjang tahun ini, misalnya, terlihat benar adanya kecenderungan ketidakpuasan publik yang tinggi terhadap berbagai kondisi politik, sosial, ataupun ekonomi yang mereka rasakan.

Sebagian besar di antara mereka berpandangan reformasi politik yang mampu melembagakan demokrasi di negeri ini belum mampu menjawab harapan mereka. Kinerja berbagai institusi politik demokratis, baik partai politik, DPR, maupun pemerintah yang hadir selama kurun waktu 15 tahun terakhir, tidak memuaskan. Semakin mengecewakan tatkala kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan dari perubahan struktur politik tidak juga banyak dirasakan sebagaimana yang mereka harapkan.

Tidak heran dalam situasi semacam ini, bibit frustrasi sosial yang justru merekah. Jalan demokrasi yang telah dipilih diragukan manfaatnya. Bahkan, di antaranya tampak cukup fatal, berkembang kerinduan akan masa ”kegemilangan” Orde Baru.

Indeks demokrasi

Berbagai kajian menunjukkan, masa depan kehidupan demokrasi bergantung pada besar kecilnya manfaat kesejahteraan yang dihasilkan. Sayangnya, demokratisasi dengan kesejahteraan di negeri ini tidak selalu menggambarkan kausalitas hubungan saling menunjang. Terbukti, pada sebagian kecil wilayah saja demokrasi dan kesejahteraan layak dikaitkan sekaligus manis dirasakan. Pada belahan wilayah lainnya, buah demokratisasi masih terasa masam. Bahkan, jika ditelusuri masih terdapat pula wilayah yang hingga kini belum memiliki peluang menuai buah demokrasi.

Dengan mengaitkan besaran Indeks Demokrasi Indonesia dan Indeks Pembangunan Manusia, dapat dipetakan kualitas pencapaian demokrasi dan kesejahteraan setiap wilayah. Indeks demokrasi yang dimaksud mengacu pada hasil rumusan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bersama Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP). Terakhir, tahun 2012 lembaga tersebut memublikasikan Indeks Demokrasi Indonesia. Indeks ini dihasilkan dari berbagai indikator pengukuran aspek kebebasan sipil, pemenuhan hak politik, dan kelembagaan politik di 33 provinsi Indonesia pada kondisi tahun 2011.

Hasilnya, skor nasional Indeks Demokrasi Indonesia mencapai 63,17. Jika mengacu pada skor tertinggi indeks sebesar 100, yang kurang lebih menjadi acuan situasi demokrasi yang sempurna, perolehan nilai indeks nasional tahun tersebut tergolong cukup baik. Terlebih jika dilihat dari salah satu aspek yang dikaji, khususnya aspek kebebasan sipil, tampak tinggi di negeri ini. Rata-rata memiliki skor nasional 82,53 yang mengindikasikan betapa besarnya kebebasan masyarakat di negeri ini.

Berbeda dengan Indeks Demokrasi Indonesia, Indeks Pembangunan Manusia yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik digunakan untuk menyarikan kinerja pembangunan suatu kawasan. Indeks Pembangunan Manusia didasarkan pada tiga aspek yang merupakan kapasitas dasar penduduk. Ketiganya berupa besaran umur panjang dan kesehatan, pengetahuan, dan kehidupan yang layak masyarakat. Dalam perhitungan, ketiga aspek tersebut diturunkan dalam berbagai indikator, seperti angka harapan hidup, angka melek huruf, lama rata-rata sekolah, dan kemampuan daya beli.

Berbagai indikator tersebut, sekalipun tidak sepenuhnya identik dengan seluruh aspek kesejahteraan manusia, dipandang cukup memadai dijadikan rujukan. Tahun 2011, skor Indeks Pembangunan Manusia Indonesia 72,77. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, skor indeks tersebut meningkat. Sekalipun tidak tampak merata, hal itu cukup jelas menunjukkan terjadi perubahan kesejahteraan.

Prospek demokrasi

Mengaitkan Indeks Demokrasi Indonesia dan Indeks Pembangunan Manusia inilah relasi antara demokrasi dan kesejahteraan negeri terpetakan, yang sekaligus mengindikasikan prospek wilayah masing-masing (Grafik). Setidaknya terdapat tiga kelompok wilayah yang terbentuk.

Pertama, kelompok provinsi dengan skor kedua indeks memiliki nilai tinggi, di atas nilai rata-rata indeks nasionalnya. Terdapat 13 provinsi dalam kelompok ini. Akan tetapi, jika ditelisik lebih jauh, hanya Provinsi DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang terlihat lebih menonjol. Dengan posisi yang jauh di atas rata-rata, prospek demokrasi dan kesejahteraan di kedua provinsi ini cukup kuat terpertahankan, sementara provinsi lainnya masih tergolong rentan perubahannya.

Kedua, merupakan kelompok yang justru bertolak belakang dengan kelompok pertama. Pada kelompok ini, skor kedua indeks tergolong di bawah nilai skor nasionalnya. Dari 8 provinsi yang masuk kelompok ini, Nusa Tenggara Barat dan Papua tergolong paling rendah, baik demokrasi maupun kesejahteraan masyarakatnya. Di satu sisi, pergulatan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat masih menjadi persoalan terberat yang dihadapi. Sementara di sisi lain, kebutuhan akan kebebasan sipil, hak-hak politik warga, ataupun berfungsinya lembaga-lembaga demokrasi masih dipermasalahkan.

Rendahnya besaran kedua indeks pada kelompok ini diperparah pula oleh laju perubahan kesejahteraannya. Sekalipun peningkatan kualitas kesejahteraan berlangsung, hal itu belum mampu memperkecil jarak ketertinggalan mereka terhadap wilayah lain. Selepas bergulirnya reformasi politik (1999) hingga kini, misalnya, tetap saja menempatkan NTB dan Papua dalam posisi terbawah. Lambannya perubahan sekaligus mengindikasikan keterkaitan demokrasi dan kesejahteraan yang tidak mulus di kedua wilayah. Kondisi semacam ini akan berulang, tetap menjadi persoalan krusial.

Ketiga, merupakan kelompok dengan masing-masing indeks yang berbeda kualitas perolehannya. Ada sekumpulan provinsi dengan kondisi indeks demokrasinya melebihi rata-rata nasional. Akan tetapi, skor kesejahteraan provinsi tersebut masih berada di bawah skor nasional. Aceh, Kalimantan Barat, dan Lampung menjadi contoh kelompok ini. Sebaliknya, terdapat pula provinsi, Sumatera Barat misalnya, yang memiliki skor demokrasi rendah, tetapi kesejahteraannya masih di atas skor nasional.

Sekalipun agak berbeda karakteristiknya, setiap provinsi dalam kelompok ketiga ini memiliki pergulatan yang sama. Pada masa mendatang, apakah geliat demokrasi memampukan peningkatan kesejahteraan warganya, ataupun kondisi kesejahteraan mampu menjadi pendorong kehidupan lebih demokratis, keduanya masih terus-menerus berproses. Hanya yang pasti, sejauh ini buah demokrasi masih masam dirasakan. (Litbang Kompas)

**

Jumat, 25 Oktober 2013

Otonomi Daerah

Keserakahan Pasar Merusak Desentralisasi

Oleh: BAMBANG SIGAP SUMANTRI 

PROVINSI Banten dapat dijadikan kajian pemekaran daerah yang menarik. Daerah ini merupakan salah satu dari lima provinsi baru yang dibentuk setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Empat yang lain adalah Bangka Belitung, Gorontalo, Maluku Utara, dan Kepulauan Riau.

Dari segi historis, Banten pernah menjadi daerah otonom pada periode kesultanan tahun 1552-1809. Pada masa kolonial Belanda, sejalan dengan dihapuskannya Kesultanan Banten, kekuasaan otonom pun sirna, sebagai gantinya Banten diberi status keresidenan.

Selanjutnya, ketika di bawah Provinsi Jawa Barat, Banten menjadi salah satu daerah termiskin di wilayah itu. Faktor keterbelakangan ekonomi ini menjadi pendorong ide pembentukan Provinsi Banten yang mulai digaungkan sejak tahun 1950-an dan akhirnya baru berhasil 50 tahun kemudian.

Tampil sebagai kepala daerah pertama Gubernur Djoko Munandar dan Wakil Gubernur Ratu Atut Chosiyah dengan masa jabatan 2001-2006. Dari posisi wakil, Ratu Atut lantas menjadi gubernur sampai sekarang.

Apa yang terjadi setelah 13 tahun ”merdeka” menjadi provinsi terlepas dari Jawa Barat? Ternyata, tujuan untuk membebaskan rakyat Banten dari kemiskinan tidak tercapai. Justru sebaliknya. Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, tingkat kemiskinan meningkat. Pada Maret 2012 tingkat kemiskinan 652.766 jiwa, per Maret 2013 naik menjadi 656.243 jiwa. Saat ini jumlah penduduknya sekitar 11,2 juta orang.

Banten hanya menegaskan berbagai temuan negatif di daerah otonomi baru. Selain gagal mengentaskan persoalan kemiskinan, sejak awal pemerintahan, dugaan penyelewengan anggaran pembangunan sudah mengemuka. Baru kemudian secara masif terbuka ketika adik Ratu Atut bernama Tubagus Chaeri Wardana (Wawan) tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga terlibat dalam skandal suap Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Lebak, Banten.

Bagaikan efek domino, setelah Wawan ditahan awal Oktober, sejumlah kasus dugaan korupsi di Banten mulai ditelusuri KPK. Bahkan, Rabu (23/10), kantor Wali Kota Tangerang Airin Rachmi Diany (istri Wawan) juga didatangi KPK untuk kasus yang lain.

Menyebar cepat

Banten hanyalah contoh mutakhir desentralisasi gagal yang bisa jadi bukan yang terakhir. Jumlah kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi tahun 2004-2012 sebanyak 290 orang. Mereka yang menjabat gubernur 20 orang, wakil gubernur 7 orang, bupati 156 orang, wakil bupati 46 orang, wali kota 41 orang, dan wakil wali kota 20 orang.

Dari jumlah itu, 92 orang berstatus sebagai saksi, 176 orang berstatus sebagai tersangka, dan mereka yang berstatus sebagai saksi sekaligus tersangka 22 orang. Data ini belum ditambah anggota DPRD yang terjerat korupsi. Pada umumnya pola korupsi eksekutif melibatkan anggota yudikatif.

Desentralisasi sebenarnya merupakan pembagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah. Melalui hal itu diharapkan terjadi hubungan intensif antara penguasa dan rakyat sehingga pemerintahan yang demokratis dapat berjalan dengan baik.

Aturan pembagian kekuasaan dan kewenangan sudah dilakukan. Bahkan, peraturan tersebut sudah diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti undang-undang yang sama tahun 1990.

Ternyata yang terjadi, korupsi juga menyebar secara cepat, kerugian negara di daerah tak kalah jumlahnya dengan kejadian di pemerintah pusat. Sampai tahun 2012, total kerugian negara sekitar Rp 4,8 triliun.

Modernisasi ekonomi di Indonesia dan negara berkembang lainnya di Asia telah mampu mengangkat pendapatan masyarakat. Berbagai lembaga ekonomi dan keuangan tumbuh merata dari kota besar sampai ke pedesaan. Namun, hal itu tak bersentuhan secara linear dalam bidang demokrasi.

Filsuf yang juga sosiolog Jerman, Jurgen Habermas, pernah membandingkan perkembangan sosial politik di Eropa dan Asia. Menurut Habermas, seperti dikutip Sindhunata dalam majalah Basis (Oktober 2001), di Asia hanya dalam waktu 30 tahun terakhir ini terjadi peristiwa-peristiwa yang di Eropa menuntut waktu hampir 250 tahun lamanya. Percepatan ini terjadi tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang demokrasi. Namun, tempo tinggi yang dikehendaki pembangunan bidang ekonomi tak bisa diimbangi dengan kecepatan pembangunan demokrasi. Akibatnya, struktur demokrasi ditelan dan dikendalikan begitu saja oleh keserakahan pasar.

Keserakahan pasar ini telah merusakkan cita-cita desentralisasi. Pencarian kekuasaan melalui berbagai pemilihan kepala daerah dipahami sebagai sarana mobilitas ekonomi sehingga pemenang pilkada seakan-akan merasa tak bersalah ketika mereka menggunakan kekuatan politik yang didapatkan untuk mencari proyek demi kepentingan pribadi, keluarga, dan partainya.

DPR kembali mengajukan 65 daerah otonom baru, tercatat ada 8 calon provinsi dan 57 kabupaten atau kota baru apabila usul terealisasi. Provinsi yang diusulkan, misalnya, Pulau Sumbawa, Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Barat Daya, Tapanuli, Pulau Nias, Kapuas Raya, dan Bolaang Mongondow Raya. Kabupaten/kota baru antara lain Kabupaten Bogor Barat, Garut Selatan, Gorontalo Barat, dan Bone Selatan.

Tidak hanya moratorium pemekaran daerah seperti dinyatakan Menteri Dalam Negeri, melihat realitas hasil desentralisasi sekarang ini, DPR bersama dengan pemerintah sebaiknya satu hati untuk fokus pada peningkatan kualitas desentralisasi.

Hentikan pemekaran dan lakukan penegakan hukum serta peningkatan sumber daya pemerintahan daerah untuk menyelamatkan tujuan desentralisasi sesungguhnya, yaitu kesejahteraan rakyat.

**

Jumat, 25 Oktober 2013

Penyakit Korupsi Tak Pernah Pergi

Oleh: BUDIMAN TANUREDJO

Soal pentjoleng ekonomi sekarang, ramai dibitjarakan lagi. Dibitjarakan lagi, sebab sudah pernah bahkan sering hal itu didjadikan bahan pembitjaraan. Jang ditunggu oleh rakjat sekarang bukanlah “pembitjaraan lagi”, tapi tindakan kongkrit: tangkap mereka, periksa, adili, hukum, gantung, tembak!

Tadjuk Rentjana ”Kompas”,
14 September 1965

MELACAK jejak korupsi di Indonesia memang begitu panjang. Kata korupsi sepertinya telah menyertai perjalanan bangsa ini, bahkan lebih jauh daripada kelahiran perdana koran ini, 28 Juni 1965. Melalui pencarian diksi korupsi di Pusat Informasi ”Kompas”, kita bisa mendapati jejak korupsi sejak 16 Juli 1965. Diksi korupsi yang bertebaran di koran ini menyangkut penindakan, diskusi, dan isu pendidikan di dalam maupun di luar negeri.

Jika mau dilacak lebih jauh, yang tidak bisa didapati di Pusat Informasi Kompas (PIK), tulisan Dukut Imam Widodo dalam tulisan bertajuk Soerabaia Tempo Doeloe juga menggambarkan cikal bakal korupsi telah berakar demikian dalam. Dukut menuliskan pengalaman Nicolas Engelhard, Gubernur Pantai Timur Jawa. Dalam pengalaman yang ditulisnya, 15 April 1805, Engelhard mengungkapkan dirinya menjadi kaya raya karena sogokan orang-orang pribumi yang menginginkan jabatan.

Lalu, apa yang membedakan korupsi zaman VOC, zaman pergerakan, zaman kemerdekaan, zaman Orde Lama, zaman Orde Baru, dan zaman Orde Reformasi? Sebenarnya tak ada yang berbeda dari praktik penyalahgunaan kekuasaan itu. Yang membedakan hanya istilahnya yang menjadi akademis. Korupsi pada intinya adalah perampokan uang negara untuk kepentingan pribadi. Namun, dalam praktiknya terjadi sofistifikasi menjadi kolusi, nepotisme, gratifikasi. Istilah itu seakan mengaburkan pemahaman korupsi yang pada intinya adalah perampokan uang rakyat.

Tajuk Rencana Kompas, Selasa, 14 September 1965, berjudul ”Pentjolengan Ekonomi” menggambarkan bagaimana koruptor adalah pencoleng ekonomi. Tajuk itu mengomentari berlepotannya Orde Lama dengan korupsi. Ada berita mengenai manipulasi benang tenun, manipulasi minyak dan pupuk, serta persidangan salah satu direktur pabrik gula Kebon Agung di Malang yang diadili gara-gara menerima suap dari pembuatan parit dan pembangunan gedung.

Melacak jejak korupsi tahun 1965 membuat semua pihak berefleksi apakah bangsa ini bisa belajar dari satu kasus korupsi ke korupsi lainnya? Apakah bangsa ini serius memberantas korupsi? Kompas, 13 September 1965, menulis ada direktur pabrik gula menerima suap Rp 1,5 juta pada saat pembangunan parit dan pembangunan gedung. Bukankah kejadian itu sama dengan suap/gratifikasi dalam pembangunan proyek sarana olahraga Hambalang di era Reformasi tahun 2012?

Korupsi yang paripurna dan masif di era Reformasi seakan membuka lagi perdebatan bagaimana strategi memberantas korupsi. Ruang diskusi di hotel, kampus, media, termasuk di media sosial, semua berwacana soal korupsi. Reformasi ditandai dengan kritik soal vonis hakim yang ringan, gagasan soal perlunya pakta integritas, usulan soal pemiskinan koruptor, ada permintaan potong jari, ada ungkapan gantung di Monas. Akan tetapi, semua itu berhenti pada wacana. Pandangan Kompas, 14 September 1965, masih relevan. ”Yang ditunggu rakyat bukanlah pembicaraan lagi, melainkan tindakan konkret: tangkap mereka, periksa, adili, hukum, gantung, dan tembak! Pendapat harian ini pada tahun 1965 ternyata masih relevan sampai sekarang.

Hanya memproduksi isu

Orde Lama berakhir dan diganti Orde Baru dengan semangat melakukan koreksi total atas kesalahan Orde Lama. Namun, Presiden Soeharto yang berkuasa hampir 32 tahun terjungkal karena kasus korupsi. Ironisnya, pada era Reformasi produksi berita korupsi justru melonjak sangat signifikan.

Lonjakan tajam mengenai penggunaan diksi korupsi di harian Kompas justru terjadi pada era Reformasi. Pada era ini (1998-2013), hingga Oktober rata-rata diproduksi 3.223 berita korupsi. Itu berarti setiap bulan terdapat 267 berita korupsi. Itu berarti setiap hari ditemukan 8,9 diksi mengenai korupsi! Sebuah lonjakan yang amat luar biasa, lebih dari 700 persen!

Pada Orde Baru, produksi diksi korupsi memang lebih rendah dibandingkan reformasi. Keterbukaan politik dan kebebasan pers bisa saja menjadi salah satu faktor banyaknya kasus korupsi yang diungkap pada era Reformasi. Pada Orde Baru, ketika Soeharto berkuasa, hampir tak ada pers yang berani mengungkap skandal korupsi. Pemberedelan media menjadi ancaman nyata.

Menganalisis data yang ada di PIK, tampak ada tren diskursus korupsi meningkat menjelang berakhirnya kekuasaan seorang presiden sampai terbentuknya pemerintahan baru. Pada masa Orde Baru, diskursus soal korupsi meningkat pada 1997 dan terus meningkat sampai mundurnya Presiden Soeharto, 21 Mei 1998. Pada 1999, saat pemilu demokratis digelar pertama kali pasca-Orde Baru, isu korupsi juga dominan dan mencapai angka 2.631 berita mengenai korupsi. Pola serupa terjadi sepanjang tahun 2004 saat pemilu dilangsungkan: produksi isu korupsi mencapai 3.223 berita dan 2009 diproduksi 3.176 berita.

Korupsi memang menjadi isu yang digunakan menjelang sirkulasi kekuasaan sehingga produksi isu korupsi ramai menjelang dan saat pemilu. Korupsi menjadi alat melegitimasi, tetapi juga mendelegitimasi kekuasaan. Jadi, bisa diprediksi pula isu korupsi akan mencuat kembali pada akhir 2013 dan tahun 2014.

Melihat realitas yang ada, meski waktu bergerak, pandangan soal korupsi di Indonesia tak kunjung beranjak. Korupsi masih dipandang sebagai minyak pelumas sistem ekonomi Indonesia. Korupsi adalah grease the wheels. Inilah pandangan para corruption apologist dalam buku Korupsi Mengorupsi Indonesia. Dalam pandangan para corruption apologist, suap dipandang sebagai insentif agar birokrasi melayani publik dengan sebaik-baiknya.

Dalam realitas sosiologis, pandangan corruption apologist tecermin ketika pejabat yang tertangkap KPK dianggap sebagai apes, dianggap sial karena ketahuan. Ketika ada pejabat yang meminta didoakan karena tertangkap tangan oleh KPK dianggap sebagai musibah keluarga. Pandangan itu tentunya dilatarbelakangi cara berpikir bahwa praktik korupsi adalah biasa saja dan lazim terjadi. Pandangan itu juga menjelaskan mengapa terdakwa yang terbukti korupsi di pengadilan tak pernah meminta maaf dan menyesali perbuatannya.

Korupsi adalah perang yang belum kita menangi. Perang melawan korupsi belum bisa dimenangi karena masih ada paradigma yang menganggap korupsi adalah mesin pelumas sistem ekonomi. Untuk memenangi perang itu harus diawali dengan mengubah pola pikir korupsi bukanlah mesin pelumas, melainkan pasir dalam sistem ekonomi yang pada saatnya akan mengambrukkan kekuasaan.

**

Jumat, 25 Oktober 2013

RI, Berpolitik LN secara Cerdas

Oleh: JAMES LUHULIMA 

SITUASI dunia internasional pada abad ke-21 tidak lagi sama dengan abad sebelumnya. Perang Dingin di antara dua negara adidaya sudah hilang tak berbekas. Namun, negara besar di belakang Perang Dingin tetap memainkan perannya secara menonjol. Amerika Serikat masih tetap hadir sebagai kekuatan besar di berbagai wilayah di dunia. Demikian juga Rusia (dulu Uni Soviet). Sementara itu, China tetap hadir sebagai kekuatan besar di Asia.

Berbeda dengan situasi di belahan dunia lain, di Asia, peran Rusia tidak pernah menonjol. Pada akhir tahun 1970-an, Uni Soviet sempat bersahabat dengan Vietnam yang berseteru dengan China. Namun, setelah Perang Dingin usai di akhir 1980-an, Rusia menarik diri dari Asia. Dengan demikian, Asia hanya didominasi oleh dua kekuatan besar, yakni Amerika Serikat dan China.

Dalam situasi dunia yang berubah seperti sekarang ini, Indonesia tetap menjalankan kebijakan luar negeri secara bebas aktif, atau independen, dan membina hubungan baik dengan semua negara. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutnya dengan memiliki sejuta kawan dan tanpa musuh (a million friends and zero enemies), atau Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menyebutnya dengan keseimbangan yang dinamis (dynamic equilibrium). Namanya boleh saja diubah-ubah sesuai zamannya, tetapi pada intinya Indonesia secara konsisten menjalankan kebijakan luar negeri Indonesia bebas aktif, yang mencakup bidang politik dan juga ekonomi.

Sejak awal kemerdekaan, dalam menjalankan kebijakan luar negerinya, Indonesia selalu menjalankan kebijakan luar negeri yang bebas aktif secara cerdas. Wakil Presiden Mohammad Hatta dalam pidatonya pada tahun 1947 menggambarkan kebijakan luar negeri bebas aktif itu sebagai ”Mendayung di Antara Dua Karang”. Melihat pidato itu dikemukakan pada tahun 1947, maka yang dimaksudkan oleh Hatta adalah kehati-hatian atau pandai-pandai dalam meniti buih (di antara karang), dan bukan dua karang dalam pengertian dua kubu, Barat dan Timur. Apalagi, pada saat itu beberapa negara Asia Tenggara masih berada di bawah kekuasaan Inggris dan Perancis. Konstelasi Asia Tenggara dalam konteks Perang Dingin baru terjadi beberapa tahun sesudahnya.

Walaupun terletak di wilayah Asia Tenggara, rentang kebijakan luar negeri Indonesia jauh melampaui wilayah Asia Tenggara. Pembukaan atau Mukadimah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan, Pemerintah Negara Indonesia untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Sebab itu, tidaklah mengherankan jika pada tahun 1950-an Indonesia aktif mendorong negara-negara Asia dan Afrika untuk memperoleh kemerdekaannya. Bersama-sama dengan Sri Lanka, Myanmar (saat itu Burma), India, dan Pakistan menggalang diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika di Gedung Merdeka, Bandung, 18-24 April 1955.

Dan, ketika dunia secara perlahan-lahan terbagi ke dalam dua kubu, yakni kubu Barat yang didominasi Amerika Serikat dan kubu Timur (Uni Soviet), Indonesia bersama beberapa negara lain, yakni Yugoslavia (kini Serbia), Mesir, India, dan Ghana melahirkan Gerakan Nonblok melalui KTT Gerakan Nonblok di Beograd, Yugoslavia, 1-6 September 1961. Negara-negara anggota Gerakan Nonblok tidak ingin dilibatkan dalam perseteruan dua kubu itu.

Pada pertengahan tahun 1960-an, kebijakan luar negeri Indonesia sempat melenceng dari amanat Mukadimah UUD 1945 ketika Presiden Soekarno melancarkan kebijakan luar negeri ”Ganyang Malaysia”, dan kemudian juga menyatakan keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun, hubungan dengan Malaysia langsung diperbaiki oleh Presiden Soeharto yang secara de facto menggantikan Presiden Soekarno pada tahun 1966. Indonesia pun kembali menjadi anggota PBB.

Walaupun Pemerintah Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto condong kepada Amerika Serikat, terutama untuk membangun kembali perekonomian nasionalnya yang sempat terpuruk, tetapi dalam menjalankan kebijakan luar negerinya Indonesia tetap menjaga jarak dengan Amerika Serikat. Prinsip kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas aktif, yang dijalan oleh Pemerintah Orde Baru, membuat Indonesia tetap menjaga netralitasnya.

Indonesia pun menggalang hubungan baik dengan seluruh negara Asia Tenggara yang pada pertengahan tahun 1960-an itu terbagi ke dalam empat kubu. Filipina dan Thailand dekat ke Amerika Serikat, Malaysia dan Singapura dekat ke Inggris, Kamboja dekat ke China, serta Laos dan Vietnam yang sempat dekat ke Uni Soviet.

Melalui prakarsa Thailand dibentuklah Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) di Bangkok, 8 Agustus 1967. Saat itu, hanya lima negara Asia Tenggara yang bersedia bergabung, yakni Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Tiga negara Indochina—Kamboja, Laos, dan Vietnam—tidak bersedia bergabung karena hampir semua negara yang bergabung dalam ASEAN dekat dengan kubu Barat. Ketiga negara Indochina itu mencurigai ASEAN sebagai perhimpunan regional bentukan Barat.

ASEAN yang terbuka

Indonesia menganggap ASEAN sangat penting, mengingat Asia Tenggara adalah halaman rumah Indonesia. Berhubungan baik dengan seluruh negara Asia Tenggara, yang bertetangga dengan Indonesia merupakan kepentingan nasional utama Indonesia. Oleh karena, jika kawasan Asia Tenggara aman, damai, dan sejahtera, Indonesia dapat berkonsentrasi penuh pada pembangunan nasionalnya.

Itu sebabnya, Indonesia menjadikan ASEAN sebagai saka guru (pilar utama) dalam politik luar negerinya. Namun, meskipun demikian, Indonesia mendorong agar ASEAN menjadi perhimpunan regional yang terbuka. Itu karena Indonesia menganggap ASEAN terlalu kecil untuk mengimbangi rentang kebijakan luar negeri Indonesia yang wilayah cakupannya melampaui wilayah Asia Tenggara.

Tidak heran jika kemudian ASEAN pada akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an melibatkan Amerika Serikat, Australia, Jepang, Kanada, Masyarakat Eropa (ME), Selandia Baru, dan Lembaga Program Pembangunan PBB (UNDP) sebagai mitra dialog (dialog partner). Seiring dengan perjalanan waktu, jumlah mitra dialog ASEAN terus bertambah. Kini, ASEAN memiliki 10 negara mitra dialog, yaitu Amerika Serikat, Australia, China, India, Jepang, Kanada, Korea Selatan, Rusia, Selandia Baru, dan Uni Eropa. Di luar 10 negara mitra dialog itu, juga ada UNDP.

Indonesia pun aktif berkiprah dalam berbagai forum internasional, termasuk ikut dalam misi perdamaian PBB di berbagai belahan dunia. Dan, ketika Australia membentuk forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), 1989, Indonesia pun bergabung di dalamnya.

Keterlibatan Indonesia dalam ASEAN tidak menjadikan kebijakan luar negeri Indonesia selalu sama dengan ASEAN. Hal itu terlihat ketika ASEAN berupaya mencari penyelesaian atas konflik Kamboja pada awal tahun 1980-an. Pada saat itu, ASEAN mengambil posisi berhadap-hadapan dengan Vietnam. ASEAN di satu sisi, dan Vietnam di sisi lain.

Melihat tidak adanya kemajuan yang berarti dalam penyelesaian konflik Kamboja, secara sepihak Presiden Soeharto mengutus Panglima ABRI Jenderal LB Moerdani untuk berkunjung ke Vietnam, 16 Februari 1984, guna menjajaki kemungkinan Vietnam ikut dilibatkan dalam upaya mencari penyelesaian atas konflik Kamboja.

Vietnam menanggapi positif keinginan Indonesia, apalagi ketika dalam pidatonya Jenderal LB Moerdani menegaskan bahwa rakyat Indonesia dan ABRI tidak melihat Vietnam sebagai musuh bagi Asia Tenggara. Indonesia kemudian mengupayakan agar ASEAN mengadakan pertemuan dengan semua pihak yang terlibat dalam konflik Kamboja dan bersama-sama mengupayakan suatu penyelesaian yang dapat diterima oleh semua pihak.

Dalam waktu sekitar empat tahun, satu per satu faksi-faksi Kamboja yang bertikai didekati, termasuk faksi yang dipimpin PM Hun Sen yang berkuasa di Phnom Penh, yang didukung Vietnam, dan dibujuk agar mau duduk bersama-sama dengan ASEAN, Laos, dan Vietnam guna mengupayakan penyelesaian atas konflik Kamboja.

Pada 25-30 Juli 1988, di Istana Bogor, Jawa Barat, diselenggarakan Jakarta Informal Meeting (JIM) I yang mencakup seluruh faksi Kamboja yang bertikai, ASEAN, Laos, dan Vietnam. Untuk pertama kalinya semua pihak yang bertikai di Kamboja dan pihak-pihak yang berkepentingan duduk bersama-sama dalam satu ruangan dan membicarakan penyelesaian masalah Kamboja.

JIM I di Istana Bogor itu menjadi awal dari penyelesaian konflik Kamboja secara komprehensif. JIM I berlanjut ke JIM II (1989), dan dalam Konferensi Internasional tentang Kamboja di Paris, Perancis, 1991, penyelesaian masalah Kamboja dicapai.

Setelah penyelesaian atas konflik Kamboja dicapai pada tahun 1991, hubungan di antara enam negara ASEAN (Brunei, bergabung tahun 1984, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand) dengan Laos, Kamboja, dan Vietnam semakin membaik. Demikian pula dengan Myanmar, yang diembargo oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat. Vietnam kemudian bergabung dengan ASEAN pada tahun 1995, diikuti oleh Laos dan Myanmar (1997), dan terakhir Kamboja (1999). Dengan demikian, pada tahun 1999, ke-10 negara Asia Tenggara tergabung dalam ASEAN.

**

Jumat, 25 Oktober 2013

Kebijakan Ekonomi

Lebur atau Bersiasat dalam Liberalisasi

Oleh: GIANIE dan RATNA SRI WIDYASTUTI

PERTEMUAN tingkat tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik 2013 di Bali baru usai. Kesepakatan dalam forum 21 pemimpin ekonomi ini semakin mengukuhkan kerja sama ekonomi berbasis neoliberal. Setelah perdagangan dan investasi, kini bertambah lagi liberalisasi sektor jasa.

Dari rangkaian KTT APEC 2013, salah satu rekomendasi Dewan Penasihat Bisnis APEC (ABAC) kepada pemimpin APEC adalah reformasi peraturan domestik serta kebijakan yang lebih proinvestasi dan liberalisasi sektor jasa.

Rekomendasi tersebut adalah salah satu cara mewujudkan Bogor Goals. Bogor Goals yang dideklarasikan negara-negara anggota APEC pada 15 November 1994 di Bogor, Jawa Barat, berisi kesepakatan menuju perdagangan dan investasi bebas dan terbuka. Kesepakatan ini diharapkan tercapai pada 2010 untuk negara maju dan 2020 untuk negara berkembang.

Untuk mencapai tujuan ini, berbagai hambatan perdagangan dan investasi secara bertahap dihilangkan. Aliran barang dan modal pun mengalir ke anggota APEC, termasuk Indonesia.

Dalam kurun hampir 20 tahun, dengan berbagai kebijakan yang diambil pemerintah, perekonomian Indonesia semakin lebur ke dalam perdagangan bebas. Mencermati data Bank Dunia, kelonggaran bea masuk ke Indonesia semakin nyata. Jika rata-rata bea masuk seluruh barang ke Indonesia pada 1993 masih berkisar 12,5 persen, tahun 2011 tinggal 2,6 persen.

Perlahan, tetapi pasti, kebijakan ekonomi nasional digariskan mengarah pada liberalisasi. Setiap kebijakan ekonomi tidak ditentukan kemauan pemerintah semata, tetapi oleh mobilitas modal yang selalu bergerak dalam konteks kapital global. Hampir semua kegiatan ekonomi yang vital dan strategis, seperti perdagangan, pangan, energi, keuangan, dan investasi, masuk dalam skema liberalisasi.

Meskipun hasil forum APEC yang mempertemukan negara maju dan berkembang ini tidak mengikat, banyak hal mengondisikan Indonesia semakin larut dalam kebijakan liberalisasi.

Hubungan mengikat

Forum internasional yang lebih mengikat mengacu pada ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang menghapus segala bentuk hambatan perdagangan, seperti pajak impor, subsidi, dan peraturan yang melindungi pertanian lokal. Pasar bebas untuk pangan dan nonpangan diresmikan melalui perjanjian WTO pada 1994.

Indonesia terjun ke dalam perekonomian liberal sejak lebih dari 30 tahun lalu. Pada 1980-an, Indonesia terimbas kebijakan Bank Dunia yang berubah total. Paham neoliberal menjadi acuan Bank Dunia yang berlangsung hingga kini.

Negara-negara yang bergantung pada bantuan dan utang lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) harus tunduk pada aturan lembaga tersebut. Saat krisis ekonomi 1997-1998, penyelamatan perekonomian melalui bantuan IMF menggiring Indonesia ke arah liberalisasi.

Pemerintah menerbitkan sejumlah produk hukum dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, atau keputusan menteri untuk mendukung liberalisasi. Di antaranya, privatisasi, mengurangi subsidi yang dianggap memberatkan anggaran negara, dan liberalisasi perdagangan, termasuk beras. Termasuk pula kesediaan menyusun rancangan undang-undang migas yang di kemudian hari menimbulkan kontroversi karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Didikte

Sejak saat itu sektor pertanian terpinggirkan karena (untuk Indonesia) produktivitasnya rendah dari sektor non-pertanian. Negara berkembang digiring mengimpor pangan dan berkonsentrasi untuk produksi dan ekspor komoditas yang tidak bernilai tambah, seperti minyak sawit mentah.

Strategi swasembada pangan tidak dianjurkan karena dianggap terlalu mahal, mulai dari penyediaan bibit, penggunaan pupuk, irigasi, dan subsidi. Bisa ditebak apabila kita menjadi pengimpor beras, kecuali pada tahun 2008 dan 2009.

Di bidang energi, pemerintah menyerahkan penggarapan wilayah kuasa ke mitra asing sehingga lebih dari 80 persen blok migas Indonesia dikuasai asing. Perusahaan asing dianggap kuat karena modal besar, teknologi tinggi, dan memiliki manajemen risiko yang baik. Kebijakan pemerintah ini membuat perusahaan swasta nasional sulit berkompetisi. Padahal, UUD 1945 mengamanatkan sektor tersebut harus dikuasai negara yang dapat dikerjakan melalui BUMN.

Kepemilikan asing juga bertambah di sektor perbankan melalui peraturan pemerintah yang mengizinkan kepemilikan asing di bank domestik hingga 99 persen.

Dalam investasi, proses persetujuan penanaman modal asing terus diupayakan semakin singkat. Nilai investasi tak lagi dibatasi, tergantung pada studi kelayakan proyek. Pada tahun 2012, realisasi investasi asing mencapai 24,6 miliar dollar AS, mayoritas untuk sektor pertambangan. Di lantai bursa, untuk mengakomodasi investor asing leluasa bergerak dengan masa transaksi lebih panjang, jam perdagangan di Bursa Efek Indonesia pun ditambah.

Tidak sendirian

Liberalisasi menjadi keniscayaan ketika suatu negara terikat perjanjian perdagangan bebas (FTA). Indonesia termasuk di dalam perjanjian kerja sama ASEAN FTA (AFTA), kerja sama AFTA-Jepang, AFTA-India, AFTA-China, AFTA-Korea, dan AFTA Australia-Selandia Baru.

Indonesia tidak sendiri dalam mengintegrasikan perekonomiannya pada pasar dunia. Dalam lingkup anggota APEC, penurunan tajam rata-rata bea masuk barang impor juga dialami China, Peru, Filipina, Thailand, dan Vietnam (lihat Tabel).

Namun, liberalisasi yang berjalan sejauh ini lebih banyak menempatkan Indonesia sebagai pasar ketimbang sebaliknya. Liberalisasi tidak diikuti peningkatan kemampuan produksi pangan, energi, dan industri manufaktur dalam negeri menyebabkan banjir barang impor. Kebijakan impor yang mulanya bersifat sesekali ketika dibutuhkan berubah menjadi impor struktural karena ketergantungan yang tinggi. Perlindungan terhadap produsen lokal terabaikan. Tahun depan, persoalan pangan tetap akan diselesaikan secara instan, melalui impor.

Liberalisasi tidak selamanya berdampak negatif. Hanya saja, Indonesia belum bisa mengambil manfaat sebesar-besarnya. Liberalisasi keuangan dinilai punya dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi internal negara berkembang secara bertahap dan dalam kondisi fundamental baik. Namun, perlu kehati-hatian terhadap dana panas (hot money) yang gampang ditarik investor asing.

Pemerintah harus mampu memanfaatkan liberalisasi untuk kemajuan lebih baik dengan meningkatkan daya saing produsen domestik. Diperlukan kebijakan yang melindungi masyarakat kelas bawah dan meningkatkan kapasitas pelaku ekonomi skala kecil.

Keberanian pemerintah melakukan transformasi dan dukungan kelembagaan untuk memperbaiki infrastruktur, industri, dan pertanian merupakan keharusan. Jika tidak, liberalisasi tidak akan memberi manfaat bagi Indonesia.
(LITBANG KOMPAS)

**

Jumat, 25 Oktober 2013

Transformasi Ekonomi

Berani Berubah untuk Melaju Lebih Cepat

Oleh: NINUK MARDIANA PAMBUDY 

BERKAH dari harga komoditas yang terus tinggi hingga tahun lalu telah membuai Indonesia sehingga lupa harus melanjutkan transformasi ekonomi.

Ninuk Mardiana PambudyNilai tukar rupiah yang merosot cepat dari aras Rp 9.900-an pada Agustus lalu dan bertahan pada tingkat Rp 11.000-an menyadarkan, defisit transaksi berjalan membuat ekonomi Indonesia rentan gejolak keuangan global.

Ekonomi Indonesia termasuk tahan banting karena lolos dari krisis ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat tahun 2008. Saat itu China dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 10 persen menjadi gerbong penghela Asia, termasuk Indonesia, yang mengandalkan ekspor komoditas, terutama batubara dan minyak sawit.

Hal tersebut ikut melenakan Indonesia. Industri terlambat berkembang dan ekonomi mengandalkan konsumsi domestik yang dipasok impor. Indonesia berada di pinggir jejaring rantai nilai tambah global dan mendapat sedikit manfaat dari liberalisasi perdagangan bila dikaitkan dengan ambisi menjadi negara berpenghasilan menengah-atas pada 2030 dan ekonomi ketujuh terbesar seperti disebut lembaga riset global McKinsey.

Pelambatan ekonomi China dan India membuat tahun 2012 transaksi perdagangan Indonesia defisit, pertama kali sejak merdeka. Situasi ini memperburuk defisit transaksi berjalan yang sudah berlangsung 22 bulan.

Laporan Harvard Kennedy School Ash Center for Democratic Governance and Innovation tentang Indonesia, The Sum is Greater Than Parts (Oktober 2013), menyebutkan nilai tukar rupiah terhadap mitra dagang terbesar Indonesia yang relatif kuat ikut menyumbang defisit. Industri manufaktur tidak berkembang karena daya saing melemah dan barang impor membanjir. Pangan juga semakin mengandalkan impor sebab arah kebijakan pangan pemerintah tidak jelas.

Defisit transaksi berjalan selain karena defisit perdagangan, terutama disebabkan tingginya impor bahan bakar minyak, juga akibat repatriasi keuntungan penanaman modal asing ke negara asal, biaya perjalanan ke luar negeri, pembayaran utang luar negeri swasta dan pemerintah, dan perginya investasi asing di pasar keuangan karena rencana Bank Sentral Amerika Serikat menghentikan kebijakan moneter longgarnya.

Tantangan kualitas

Ekonomi Indonesia selama periode 2000-2010 tumbuh 5,3 persen. Antara 2009 hingga Juni 2013 tumbuh rata-rata 5,9 persen. Hal tersebut didukung aliran investasi asing karena besarnya pasar domestik dan kekayaan alam, terutama tambang.

Setelah krisis ekonomi Asia 1998, kebijakan ekonomi makro Indonesia sangat berhati-hati. Defisit APBN dibatasi 3 persen produk domestik bruto dan utang pemerintah maksimum 60 persen PDB. Likuiditas perbankan dijaga dan pengawasan industri keuangan diperketat melalui otoritas jasa keuangan.

Secara politik, Indonesia juga relatif stabil melalui transisi dari periode Orde Baru dan telah melalui tiga kali pemilu. Pemilu 2014 juga ditanggapi optimistis pengusaha. Bahkan pemilu akan menaikkan pertumbuhan ekonomi, terutama jasa transportasi dan hotel.

Di sisi lain, pertumbuhan tersebut kurang tinggi untuk memenuhi target menjadi negara kaya, menciptakan lapangan kerja, serta menurunkan kesenjangan kesejahteraan dan kesenjangan pembangunan antarwilayah yang rawan memicu konflik. Pertumbuhan ekonomi nasional 1 persen hanya menciptakan 200.000 lapangan kerja baru. Sebanyak 54 persen tenaga kerja ada di sektor informal. Di sektor formal, 38 persen tenaga kerja tidak memiliki kontrak sehingga rawan PHK dan menganggur.

Meskipun pemerintah mengklaim jumlah orang miskin terus turun, tetapi ukurannya pengeluaran Rp 253.273 per orang per bulan. Bila memakai standar internasional 2 dollar AS per hari, separuh penduduk Indonesia tergolong miskin.

Melonjaknya harga pangan karena pemerintah kurang mendorong produksi dan mengendalikan harga setelah kenaikan harga BBM bersubsidi pada Juni lalu, mungkin menambah jumlah orang miskin. Ini mengingat lebih separuh pengeluaran orang Indonesia masih untuk makanan.

Bahkan saat harga komoditas primer andalan ekspor Indonesia tinggi, pertumbuhan ekonomi nasional di bawah target 7-8 persen seperti rencana pembangunan 2010-2014. Pertumbuhan itu pun tidak dinikmati merata. Kesenjangan kemakmuran tertinggi sejak merdeka, dengan indeks gini 0,41. (Indeks gini bergerak pada 0-1, angka 1 menunjukkan ketidakmerataan sempurna). Ketimpangan juga terjadi antarawilayah Jawa-Sumatera-Bali dengan bagian lain Indonesia.

Itulah tantangan ke depan Indonesia: pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, berkualitas, dan inklusif untuk menjamin kemakmuran yang adil dan merata serta keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah.

Transformasi

Indonesia memiliki kekayaan alam sebagai modal terberi. Jumlah penduduk usia produktif akan mencapai puncak pada 2025-2030 dan memberi peluang lonjakan kemakmuran bila tenaga kerja terdidik, produktif, bekerja, dan menabung.

Joseph E Stiglitz dalam The Price of Inequality (2012) menunjukkan, di Amerika Serikat sebagai negara yang dianggap paling demokratis, paling kaya, dan kiblat pembangunan banyak negara berkembang, terjadi ketimpangan kesejahteraan karena kebijakan pemerintah.

Pemerintah dituntut mengendalikan kelebihan yang terbentuk pada kelompok kecil di puncak piramida kemakmuran, menguatkan yang di tengah, dan membantu yang di bawah. Masing-masing membutuhkan program spesifik.

Permasalahan akut Indonesia adalah rente ekonomi yang menyebabkan pembangunan tidak efisien dan memperlebar ketimpangan. Ekonomi rente memiliki banyak bentuk, seperti disebut Stiglitz, antara lain, transfer terbuka dan tersembunyi serta subsidi pemerintah, peraturan yang membuat persaingan kurang kompetitif, lemahnya pelaksanaan peraturan yang mendorong persaingan usaha, atau memindahkan biaya praktik rente ekonomi kepada masyarakat.

Semua tantangan tersebut membutuhkan transformasi mendasar, terutama kelembagaan sebagai prasyarat agar kebijakan dan program pembangunan berjalan baik. Seperti dijelaskan Daron Acemoglu dan James A Robinson dalam Why Nations Fail (2012), kegagalan membentuk kelembagaan ekonomi dan politik yang demokratis, inklusif, dan transparan, menjebak banyak negara dalam perangkap negara berpenghasilan menengah.

Ada tiga aspek reformasi kelembagaan yang kurang disentuh saat pemerintah menjalankan reformasi ekonomi: reformasi administratif, sistem hukum, dan politik.

Kebijakan reformasi ekonomi yang bersemangat deregulasi dalam derajat tertentu sudah dalam jalur memperkuat daya saing ekonomi, tetapi tidak ditopang kelembagaan administratif memadai. Reformasi administrasi-birokrasi sebatas jargon sehingga kapasitas dan kompetensi administrasi birokrasi tidak membaik. Contoh gamblang, fenomena korupsi dan penyerapan APBN yang lamban.

Kelembagaan hukum juga amat parah sehingga terjadi ketidakpastian dalam kegiatan ekonomi. Tidak ada jaminan hak kepemilikan dan tidak ada kepastian penanganan sengketa.

Reformasi kelembagaan politik secara prosedur sudah mengadopsi unsur penting demokrasi, seperti pemilihan umum yang terjadwal, adanya lembaga parlemen, dan pelembagaan media untuk berekspresi. Lebih penting dari itu, demokrasi sebagai hasil reformasi politik telah menyediakan jalan bagi terjadinya lalu lintas transaksi kepentingan yang transparan dan akuntabel.

Diandaikan jika kegiatan ekonomi sudah dideregulasi dan sistem politik telah demokratis, maka patronase antara politisi dan birokrat dapat dibatasi dalam sistem ekonomi yang dipandu pasar. Padahal, semua itu hanya bisa terjadi bila sistem politik demokratis tersebut dilengkapi aturan main dan norma yang jelas sehingga sistem dapat mengakomodasi aspirasi politik rakyat. Sebaliknya, jika sistem politik demokratis itu tidak ditopang aturan main rinci, maka agenda reformasi ekonomi berpotensi ditelikung pemburu rente ekonomi-politik. Contoh paling telanjang adalah kebijakan tata niaga impor daging, kedelai, hingga gula.

**

Jumat, 25 Oktober 2013

Perubahan Iklim dan Bencana

Menyambut Tahun Kering

Oleh: BRIGITTA ISWORO L

SETELAH mengalami iklim basah sepanjang tahun ini, tahun depan Indonesia akan mengalami tahun kering. Sisa El Nino yang kuat tahun ini bergandengan dengan radiasi maksimum dari bintik matahari akan menjadi penyebab kekeringan tahun depan. Tidak perlu panik karena sebenarnya itu bukan tahun kering pertama kali di Indonesia. Tahun 2012 Indonesia juga mengalami kekeringan.

Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Edvin Aldrian, akhir pekan lalu, menjelaskan, jumlah bintik matahari mencapai maksimum antara akhir tahun 2012 hingga pertengahan tahun 2013. ”Baru sesaat lewat puncaknya, radiasi panas akibat bintik matahari akan maksimum karena laut menahan panas lebih lama. Ini akan ’meledak’ pada musim semi 2014 (pertengahan 2014),” ujarnya. Matahari, tambahnya, adalah tungku bumi.

Laut yang meliputi sekitar 71 persen permukaan bumi menyerap radiasi panas tersebut. Respons laut terhadap radiasi panas ini memakan waktu cukup lama sehingga panasnya tersimpan di laut. El Nino yang parah tahun ini belum berlalu, sementara bintik matahari maksimum juga baru saja terlewati sehingga El Nino muncul lagi. ”Periode El Nino sekarang rata-rata 5,6 tahun, dulu sekitar 7 tahun,” kata Edvin. Sementara periode terjadinya bintik matahari 11,2 tahun. Jadi, periode El Nino ternyata sekitar separuh periode bintik matahari.

Akibat pemanasan tersebut, massa air laut di utara Papua yang menjadi kolam panas karena radiasi matahari yang tinggi akan berpindah ke Laut Pasifik bagian tengah di timur Guam karena terbawa Ocean Conveyor Belt. Akibatnya, terjadi anomali suhu di Pasifik yang menyebabkan ketidakseimbangan akibat perbedaan suhu. Ketidakseimbangan tersebut mengakibatkan awan tertarik ke arah Pasifik. Indonesia akan miskin awan dan mengalami kekeringan.

Tahun 2012, Indonesia dilanda kekeringan. Lokasi yang terkena dampak antara lain Cilacap yang mengakibatkan 8.000 hektar sawah kering dan 3.000 ha puso, di Bali sekitar 315 ha sawah puso, sementara di Bantul, DI Yogyakarta, sekitar 96 ha sawah puso (Atlas Peta Risiko Bencana Indonesia, BNPB 2012). Kekeringan hebat terjadi pada tahun 1997-1998 dan 2002-2003.

Bukan hanya faktor bintik matahari yang mengambil andil dalam peristiwa iklim yang berpotensi memicu bencana. Pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca meningkat pesat juga mengacaukan pola-pola iklim. Hal ini mengakibatkan meningkatnya bencana hidrometeorologi. Di lain pihak, aktivitas pembangunan yang banyak mengubah tata guna lahan dan menyebabkan degradasi lingkungan turut meningkatkan risiko bencana.

Bencana hidrometeorologi adalah bencana yang dipengaruhi faktor cuaca. Jenis bencana ini dominan terjadi di Indonesia. Dari Data dan Informasi Bencana Indonesia tahun 1998-2011, menurut Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho, terjadi 9.461 kejadian bencana hidrometeorologi meliputi banjir, tanah longsor, banjir dan tanah longsor, kekeringan, kebakaran lahan dan hutan, serta puting beliung. Bencana hidrometeorologi mencapai sekitar 77 persen dari total kejadian bencana di Indonesia.

Pertanian dan kebakaran hutan

Dengan prakiraan akan terjadi kekeringan tahun mendatang, Edvin berharap ada antisipasi menghadapinya. Belajar dari pengalaman 2012, kekeringan akan berdampak pada pertanian serta meningkatnya potensi kebakaran hutan dan lahan.

Untuk ancaman kekeringan terhadap pertanian, menurut Direktur Lingkungan Bappenas Wahyuningsih Darajati, telah dibuat nota kesepahaman antara BMKG dan Kementerian Pertanian. Edvin juga berpendapat, dengan antisipasi yang tepat, lahan yang relatif lebih kering bisa ditanami tanaman pangan di luar padi.

Ketika masalah pertanian harus diantisipasi dampak buruknya, perikanan tangkap justru diuntungkan. ”Di sektor kelautan, laut akan lebih dingin, akan lebih banyak ikan, dan laut cenderung tenang, tidak banyak ombak tinggi dan angin. Nelayan bisa melaut lebih jauh. Petani garam, tembakau, jati, dan buah-buahan bisa lebih baik,” ujar Edvin.

Dalam diskursus tentang bencana, yang menjadi penting adalah antisipasi mengurangi risiko bencana. Bulan ini adalah bulan Pengurangan Risiko Bencana (PRB), menjadi relevan mengingatkan kembali visi masyarakat tangguh bencana. Masyarakat tangguh bencana syaratnya harus memiliki kemampuan antisipasi, kemampuan menghindari ancaman bencana, kemampuan beradaptasi, dan kemampuan memulihkan diri.

Belum banyak disadari investasi untuk antisipasi bencana sebenarnya memberikan keuntungan karena berkurangnya risiko. Menurut Sutopo, investasi satu dollar AS (sekitar Rp 11.500) untuk PRB akan mampu mengurangi dampak bencana sebesar 4 dollar AS-7 dollar AS (sekitar Rp 46.000 hingga Rp 80.000). Negara maju dalam hal kebencanaan memiliki ciri-ciri upaya proteksi terhadap bencana meningkat, jumlah korban berkurang, sehingga pertumbuhan ekonomi meningkat. Sementara ciri negara berkembang adalah upaya proteksi meningkat, jumlah korban masih meningkat, pertumbuhan ekonomi juga meningkat.

Persoalannya, belum semua pihak menyadari pentingnya PRB dan soal kebencanaan dalam kebijakan pembangunan atau aktivitas di semua sektor kehidupan. Bahkan, bagi Indonesia yang amat rawan terhadap bencana akibat perubahan iklim, perspektif kebencanaan belum dikaitkan langsung dengan perubahan iklim.

”Padahal, adaptasi dalam perubahan iklim itu juga merupakan mitigasi untuk bencana karena akan mengurangi risiko bencana. Seharusnya isu adaptasi perubahan iklim dimasukkan dalam konteks PRB,” tegas Sekretaris Kelompok Kerja Adaptasi Dewan Nasional Perubahan Iklim Ari Muhammad.

**

Jumat, 25 Oktober 2013

Indonesia dan Globalisasi

Oleh: SRI HARTATI SAMHADI

TAHUN 2015 akan menjadi tahun penentuan bagi perekonomian Indonesia, terutama dengan mulai berlaku efektifnya Masyarakat Ekonomi Asia: Indonesia akan menjadi pemenang, atau sebaliknya pecundang di kawasan.

Sejumlah kajian akademis dan empiris menunjukkan, deregulasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan dan investasi selama ini menyumbang besar pada tingginya laju pertumbuhan ekonomi Indonesia selama kurun 1980-an hingga awal 1990-an.

Namun, perkembangan makroekonomi, khususnya neraca perdagangan beberapa tahun terakhir menunjukkan Indonesia mulai kedodoran serta tak mampu memetik manfaat dan peluang yang terbuka lebar dari momentum kesepakatan liberalisasi perdagangan dan investasi di Asia dan internasional.

Per Juli 2011, Indonesia tercatat terlibat dalam 19 kesepakatan perdagangan bebas (FTA) di mana 7 di antaranya sudah berjalan, sementara 1 belum mulai berlaku, 3 masih dalam status negosiasi, 2 dalam status negosiasi tetapi kerangka kesepakatannya sudah ditandatangani, serta 6 masih berstatus usulan.

Dari tujuh yang sudah berjalan, hanya satu yang FTA bilateral, yakni Kesepakatan Kemitraan Ekonomi (EPA) Indonesia-Jepang, sedangkan enam sisanya FTA yang ditandatangani Indonesia sebagai bagian dari ASEAN, termasuk AFTA.

Salah satu yang paling ekstensif, ambisius, dan di depan mata adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN, yang salah satu pilarnya adalah pembentukan pasar tunggal ASEAN pada 2015 atau dua tahun dari sekarang. Di ASEAN sendiri kesepakatan perdagangan bebas bilateral (BTA) ditempuh karena kemajuan AFTA dianggap terlalu lamban. Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) yang akan menjadikan ASEAN pasar tunggal dan basis produksi kompetitif di kawasan ,juga bentuk dari respons ASEAN terhadap bangkitnya ekonomi China dan India.

Sebagai pasar tunggal, semua hambatan perdagangan, baik tarif maupun tarif, akan dihapuskan. Antisipasi terutama harus kita lakukan terkait liberalisasi sektor jasa sebagai sektor sensitif. Lima sektor jasa yang disepakati diliberalisasi adalah jasa kesehatan, pariwisata, e-commerce, transportasi udara, dan logistik. Kelimanya pada 2015 akan bebas diperdagangkan lintas negara. Perdagangan jasa mengatur liberalisasi tenaga kerja profesional dan buruh manufaktur. Untuk profesional, ada lima kategori yang disepakati mulai beroperasi bebas 2015, yaitu perawat, dokter, dokter gigi, akuntan, dan insinyur. Tenaga profesional dan buruh yang melintas batas negara ini harus memenuhi standar yang sudah ditetapkan di ASEAN.

Yang menjadi pertanyaan, siapkah kita menghadapi serbuan tenaga kerja dari negara tetangga di ASEAN ini dan mampukah kita memanfaatkan peluang pasar di negara ASEAN lain? Kekhawatiran yang muncul terutama terkait ketidaksiapan tenaga kerja Indonesia. Berdasarkan survei Asian Productivity Organization 2004, dari setiap 1.000 tenaga kerja Indonesia hanya 4,3 persen yang tergolong terampil, sementara Filipina 8,3 persen, Malaysia 32,6 persen, dan Singapura 34,7 persen. Apalagi dalam MEA sendiri tak ada kesepakatan regional terkait perlindungan buruh migran yang jadi kepentingan Indonesia.

Motivasi Indonesia

Meskipun premisnya perdagangan bebas menawarkan peluang kerja sama ekonomi dan perluasan perdagangan lewat penurunan tarif, dalam kenyataannya karena ketidaksiapan kita sendiri, FTA justru berdampak memukul industri dalam negeri. Bukan perluasan pasar ekspor di negara mitra dagang yang terjadi, melainkan justru kian terdesaknya pelaku industri Indonesia di pasar dalam negeri.

Ini antara lain kita alami dalam kasus Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) di mana perdagangan bebas ASEAN dan China justru kian memperlebar defisit perdagangan kita dengan China. Pasar dalam negeri Indonesia semakin dibanjiri berbagai produk konsumsi dari China yang membuat sejumlah pelaku industri dalam negeri gulung tikar karena tak mampu bersaing.

Tujuh subsektor industri, yakni petrokimia, pertekstilan, alas kaki dan barang dari kulit, elektronik, keramik, makanan dan minuman, serta besi dan baja bakal babak belur dengan potensi kerugian diperkirakan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia mencapai Rp 35 triliun per tahun.

Hal serupa terjadi dalam kasus EPA dengan Jepang yang ditandatangani dan mulai berlaku 2008. Ketidaksiapan Indonesia memanfaatkan peluang—selain juga keengganan Jepang membuka pasar—menyebabkan setelah lima tahun berlaku, nyaris tak ada manfaat apa pun bisa kita petik dari adanya EPA. Awalnya, dengan EPA kita berharap terjadi restrukturisasi industri lebih cepat melalui transfer teknologi dan juga peningkatan kapasitas. Selain itu, terbuka akses lebih lebar bagi tenaga kerja terampil dari Indonesia seperti perawat untuk masuk ke pasar Jepang. Dalam kenyataannya itu tak terjadi sehingga dalam pertemuan bilateral kedua negara di sela APEC Bali awal bulan ini disepakati dilakukan negosiasi ulang.

Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi perkembangan pesat jumlah FTA bilateral di kawasan Asia. Tak seperti negara ASEAN lain, yakni Singapura, Thailand, Malaysia, dan Filipina, Indonesia awalnya tergolong lambat melibatkan diri dalam kebijakan FTA dengan negara non-ASEAN. Namun dengan proliferasi FTA bilateral di negara ASEAN lain, Indonesia mau tak mau ikut melompat ke dalam gerbong karena tak ingin ketinggalan.

Diawali dengan ASEAN+1, ASEAN+3, kemudian dengan CER (Australia, Selandia Baru), lalu dengan India, disusul dengan Pakistan. Indonesia juga tengah menjajaki negosiasi FTA dengan AS. Dalam kunjungan ke Berlin belum lama ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Kanselir Jerman Angela Merkel juga menyepakati segera dimulainya negosiasi FTA EU-Indonesia.

Tingginya resistensi di dalam negeri yang dilatari kekhawatiran Indonesia hanya akan jadi penonton atau pasar, tampaknya tidak bisa mengerem animo pemerintah untuk terus melakukan negosiasi FTA dengan negara mitra dagang penting. Ekonom Hadi Soesastro dan Wakil Presiden Boediono pernah mengemukakan, alasannya Indonesia terlibat dalam begitu banyak FTA di kawasan sifatnya lebih pragmatis obyektif ketimbang ideologis. Indonesia akan kehilangan daya saing jika tidak ikut ambil bagian dalam FTA regional ini.

Kesiapan Indonesia

Sektor industri dalam negeri adalah sektor kunci yang akan paling terpengaruh oleh penerapan BTA dengan negara mitra dagang. Di luar Kadin, menurut Alexander C Chandra dari The Institute for Global Justice (Indonesia and Bilateral Trade Agreements), sebagian besar asosiasi bisnis dan kelompok penekan lain di Indonesia sebenarnya merasa skeptis dengan keterlibatan Indonesia dalam BTA dengan sejumlah negara. Pemerintah dinilai terlalu berani membuat komitmen BTA.

Di kalangan pemerintah sendiri, tidak ada kesamaan pandangan soal kesiapan Indonesia. Secara umum, mereka yang terlibat langsung dalam negosiasi, seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian, sangat mendukung BTA karena menganggap BTA membuka peluang besar bagi perekonomian Indonesia meski Kementerian Perdagangan mengakui adanya potensi dampak negatif pada industri dalam negeri.

Kementerian Perindustrian sendiri melihat BTA sebagai momentum untuk memaksa pelaku industri besar khususnya industri logam, otomotif, dan kendaraan bermotor untuk bersaing karena selama ini mereka terlalu manja dan terlalu banyak menikmati proteksi dan insentif dari pemerintah.

Sebagian kementerian lain, seperti Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop dan UKM) serta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengungkapkan skeptisisme mereka. Kemenkop dan UKM mengingatkan mayoritas sektor industri dalam negeri tak yakin siap bersaing dengan pesaing di ASEAN, apalagi China. Kemenkop dan UKM juga mengingatkan lemahnya koordinasi internal di antara pemerintah sendiri dan lemahnya diseminasi informasi kepada publik terkait BTA ini. Bahkan banyak kalangan di pemerintahan sendiri tak paham kebijakan spesifik terkait BTA.

Kekhawatiran serupa diungkapkan kalangan pejabat Bappenas. Mereka mencemaskan sektor pertanian dan non-pertanian dalam negeri yang dinilai tak siap. Eliminasi tarif yang dilakukan pemerintah menjadi 4-10 persen pada kurun 1995-2003 untuk sebagian besar industri, menurut Bappenas, gagal mendorong pengembangan dan daya saing industri dalam negeri.

Pemerintah selama ini selalu berargumen upah buruh murah menjadi keunggulan kompetitif penting Indonesia, tetapi kita gagal meningkatkan produktivitas buruh dan produktivitas perekonomian secara keseluruhan. Kalangan akademisi umumnya juga skeptis karena mereka tak melihat sasaran jelas pemerintah dalam kesepakatan BTA dengan para mitra dagang utama.

Mereka melihat Indonesia sekadar latah atau ikut-ikutan dengan langkah yang diambil negara ASEAN lain, khususnya Singapura dan Thailand. Mereka mendesak pemerintah mengambil pendekatan hati-hati, selain karena ketidaksiapan industri dalam negeri, indonesia sendiri tak cukup memiliki negosiator tangguh yang mampu mengartikulasikan kebutuhan dalam negeri dengan baik, memetakan keunggulan dan kelemahan, serta merumuskan strategi dalam menghadapi BTA.

Sebagai anggota ASEAN, misalnya, Indonesia selama ini tak ikut memainkan peran aktif dalam negosiasi ASEAN-China soal ACFTA. Akibatnya, kepentingan Indonesia tak sepenuhnya terakomodasi dan Indonesia gelagapan dan babak belur ketika kesepakatan diimplementasikan. Terkesan negosiasi selama ini tak menyertakan semua pemangku kepentingan sejak awal.

Sejumlah ekonom pada sebuah diskusi di Kompas beberapa waktu lalu mencemaskan jika tidak hati-hati, Indonesia bisa sekadar jadi pasar bagi negara ASEAN lain. Rendahnya kualitas pembangunan ekonomi dan kualitas sumber daya manusia membuat kemampuan Indonesia memanfaatkan peluang MEA 2015 sangat rendah dan bangsa indonesia akan semakin kehilangan daya saing. Untuk bisa maju, berkembang, dan bangkit bersama Asia, menurut mereka, Indonesia harus memberikan prioritas pada peningkatan kualitas SDM dan memodernisasi ekonominya agar berdaya saing tinggi, menggarap ekonomi domestik menjadi berdikari, dan mengurangi ketimpangan.

Indonesia harus segera mengidentifikasi kembali sektor apa saja yang kemungkinan besar akan diuntungkan atau dirugikan dengan berlakunya MEA. Ini penting agar Indonesia bisa lebih fokus dalam membenahi sektor tersebut dan mengurangi dampak negatifnya. Langkah reformasi dan penyesuaian dalam negeri harus dilakukan. Langkah serius membenahi berbagai masalah yang menjadi hambatan bagi industri indonesia untuk bisa bersaing juga tak bias ditunda-tunda lagi.

**

Jumat, 25 Oktober 2013

Indeks Kesejahteraan

Pembangunan Manusia Masih Jalan di Tempat

Oleh:  LUHUR FAJAR M/ YULIANA RINI DY/ DWI RUSTIONO W 

INDONESIA boleh jadi salah satu raksasa ekonomi Asia dan dunia. Akan tetapi, soal kesejahteraan, rakyatnya masih jauh tertinggal. Ketimpangan anggaran dan inisiatif antarwilayah menjadi sebabnya. Apabila tidak segera ditangani, jalan menuju Indonesia yang sejahtera tampaknya masih panjang.

Dari kacamata ekonomi, kekuatan Indonesia ada di peringkat ke-16 dunia. Produk domestik bruto (PDB) Indonesia kini melampaui 800 miliar dollar AS atau sekitar 1,2 persen PDB dunia. Di wilayah Asia, Indonesia hanya kalah dari China, Jepang, India, dan Korea Selatan. Dengan pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menjadi salah satu negara ekonomi utama di dunia.

Ironisnya, laju perekonomian yang tinggi itu belum berhasil membawa rakyat Indonesia menjadi sejahtera. Indikasinya, pencapaian pembangunan manusia. Terlepas dari perubahan metode perhitungannya sejak 2008, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia masih tergolong rendah. Sepanjang sejarah perhitungan IPM, sejak 1980 hingga saat ini, nilai Indonesia selalu di bawah rata-rata dunia. Bahkan, di tingkat ASEAN, Indonesia hanya lebih baik dari Vietnam, Laos, Kamboja, dan Myanmar.

Meski terus meningkat, pertumbuhan IPM Indonesia tergolong rendah. Dalam setahun hanya tumbuh sekitar 1,3 persen. Bandingkan dengan sesama negara berpenduduk besar, seperti India yang tumbuh sekitar 1,7 persen setiap tahun. Alhasil, berdasarkan laporan pembangunan manusia Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) 2013, Indonesia hanya berada di peringkat ke-121 dari 187 negara.

Masih timpang

Ketimpangan antarwilayah menjadi salah satu isu utama. Perbedaan rata-rata IPM antara wilayah Sumatera dan Jawa-Bali dengan Nusa Tenggara-Maluku-Papua tidak pernah kurang dari 5 angka. Artinya, ketertinggalan wilayah timur Indonesia masih relatif tinggi.

Ketimpangan tersebut menyebabkan laju IPM Indonesia tidak optimal. Idealnya, IPM Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua harus tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain. Kenyataannya, dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan IPM di wilayah tersebut justru melambat.

Hal serupa ditunjukkan Indeks Kesejahteraan (IK) yang disusun Litbang Kompas. Ketimpangan antarwilayah menjadi warna utama dari potret kesejahteraan Indonesia. Lagi-lagi, Jawa-Bali menjadi wilayah dengan IK terbaik. Sementara Nusa Tenggara-Maluku-Papua tetap yang terburuk. Tahun 2012 rata-rata IK Jawa-Bali 69,4, berselisih 12,8 poin di atas rata-rata gabungan enam provinsi di bagian timur Indonesia.

Laju IPM dan IK tidak lepas dari kinerja ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar di setiap wilayah. Semakin baik kinerjanya, semakin tinggi pula probabilitas IPM dan IK tumbuh lebih cepat.

Nyatanya, kinerja tiap-tiap wilayah masih timpang. Dalam aspek ekonomi, misalnya, peran Jawa-Bali dalam perekonomian nasional masih sangat dominan. Sumbangan terhadap PDB riil oleh wilayah ini terus meningkat dalam dekade terakhir. Tahun lalu, mencapai 62,7 persen.

Demikian pula pendidikan, Jawa-Bali selalu menjadi yang terbaik. Angka Partisipasi Murni (APM) sekolah menengah atas di wilayah berpenduduk lebih dari 140 juta jiwa ini melampaui 55 persen. Jauh di atas wilayah Nusa Tenggara-Maluku-Papua yang baru mencapai 45,8 persen.

Tingkat kesehatan masyarakat Jawa-Bali pun relatif lebih baik dibandingkan dengan wilayah lain. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan 2007, persentase anak balita bergizi buruk di Jawa-Bali hanya sekitar 3,6 persen. Sementara itu, di Nusa Tenggara-Maluku-Papua lebih dari dua kalinya.

Distribusi anggaran

Karakteristik wilayah mungkin memiliki pengaruh kinerja wilayah. Namun, yang jelas, distribusi anggaran sebagai salah satu determinan utama kinerja pun ternyata masih timpang.

Berdasarkan data Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Jawa-Bali mendominasi ”kue” anggaran untuk fungsi-fungsi terkait ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Tahun 2012 wilayah ini mengambil sekitar 31 persen dari total anggaran untuk fungsi ekonomi. Bahkan, untuk fungsi pendidikan dan kesehatan mencapai 44 dan 46 persen.

Pertumbuhan anggaran untuk Jawa-Bali dalam empat tahun terakhir juga tertinggi. Setiap tahun anggaran untuk fungsi ekonomi, pendidikan, dan kesehatan secara berurutan tumbuh sekitar 17 persen, 20 persen, dan 21 persen.

Hingga kini, pembangunan manusia, yang menjadi representasi kesejahteraan rakyat, menjadi salah satu pekerjaan rumah terberat. Sayangnya, para pengambil kebijakan masih saja bersilang pendapat mengenai prioritas perbaikan. Upaya untuk mendorong konvergensi antarwilayah hanya menjadi isu minor dan kian terabaikan.

Tanpa pemerataan anggaran dan inisiatif perbaikan yang kuat, sulit rasanya menjadikan Indonesia negara terdepan dalam pembangunan manusia. Ringkasnya, jalan menuju Indonesia yang sejahtera masih panjang. Inilah tantangan bagi presiden Indonesia mendatang. (LITBANG KOMPAS)

**

Jumat, 25 Oktober 2013

Pertumbuhan Ekonomi

Kualitas Manusia Jadi Taruhan

Oleh: M ZAID WAHYUDI 

INDONESIA diprediksi menjadi negara dengan kekuatan ekonomi ketujuh dunia pada 2030. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabil serta tumbuhnya kelas menengah dengan konsumsi tinggi akan mengembalikan Indonesia sebagai macan ekonomi Asia.

Saat itu, Indonesia diperkirakan memiliki penduduk 285 juta orang dan 135 juta orang di antaranya berada di kelas menengah. Potensi pasar untuk barang konsumsi, pertanian, dan perikanan, sumber daya alam, serta sumber daya manusia diperkirakan mencapai 1,8 triliun dollar AS atau Rp 19.800 triliun dengan kurs Rp 11.000 per dollar AS.

Namun, itu semua butuh upaya keras. Selain fondasi ekonomi yang kuat dan pertumbuhan berkualitas, Indonesia membutuhkan 113 juta tenaga kerja terampil. Di pundak mereka, pergerakan roda ekonomi Indonesia disandarkan.

Kondisi itu sebenarnya tidak terlalu sulit dicapai Indonesia. Tahun 2010, jumlah penduduk usia produktif, 15-64 tahun, sudah 157 juta orang. Mereka bukan hanya pasar yang besar, melainkan juga dapat menjadi tenaga kerja produktif.

Pada tahun 2020-2030, 100 penduduk usia produktif hanya akan menanggung 46 orang tidak produktif yang terdiri dari anak-anak dan orang usia lanjut. Puncak bonus demografi ini memberi jendela peluang bagi Indonesia untuk melompat menjadi negara maju berpendapatan tinggi.

Jendela peluang itu dapat termanfaatkan, seperti disebut Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia Sonny Harry B Harmadi, jika sumber daya manusia berkualitas, tersedia lapangan kerja, ada peningkatan tabungan rumah tangga, dan masuknya perempuan di pasar kerja.

Kualitas sumber daya manusia menjadi pertaruhan utama. Mulai 31 Desember 2015, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan dimulai. Itu memungkinkan masuknya barang dan jasa dari negara-negara ASEAN lebih bebas dan terbuka.

Namun, sebelum MEA dimulai, tenaga kerja asing sudah membanjiri Indonesia. Tak hanya dari tingkat manajerial, tetapi juga aras teknis pun masuk.

Dibandingkan dengan tenaga kerja negara-negara ASEAN, tenaga kerja Indonesia kalah bersaing. Indonesia unggul dalam jumlah tenaga kerja. Pada 2010 jumlah tenaga kerja Indonesia 117 juta orang, setara 23 kali penduduk Singapura dan empat kali penduduk Malaysia. Namun, besarnya pendapatan per kapita kedua negara saja sudah menunjukkan kualitas tenaga kerja Indonesia tertinggal jauh.

Kualitas menentukan

Kualitas tenaga kerja Indonesia kalah jauh karena sekitar 70 persen berpendidikan lebih rendah dari SMP. Rata-rata lama sekolah hanya 5,8 tahun. Hal tersebut menjadikan kualitas manusia Indonesia di ASEAN hanya lebih baik dari Vietnam, Kamboja, Laos, dan Myanmar.

Porsi tenaga kerja lulusan perguruan tinggi mulai dari program diploma I hingga doktor mencapai 8 persen. Namun, tingkat pengangguran di kelompok pekerja dengan pendidikan tinggi itu justru besar.

Pengangguran terbuka usia muda (15-24 tahun) pada 2011 mencapai 5,3 juta orang. Sebanyak 20 persen (sekitar 1 juta orang) di antaranya lulusan perguruan tinggi. Terbatasnya lowongan kerja, sistem pendidikan yang tidak berkait dengan kebutuhan dunia kerja, dan rendahnya keinginan berwirausaha menyuburkan pengangguran terdidik.

Bursa lowongan kerja dan perekrutan pegawai negeri sipil selalu disesaki lulusan perguruan tinggi. Ada pula sarjana yang langsung melanjutkan pendidikan ke program magister tanpa bekal pengalaman kerja karena tak mampu bersaing di dunia kerja.

Persaingan pasar tenaga kerja domestik akan semakin kompetitif dan sebentar lagi tenaga kerja Indonesia juga akan bersaing dengan pencari kerja dari negara-negara ASEAN.

McKinsey Global Institute dalam The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential menyoroti pentingnya Indonesia meningkatkan produktivitas tenaga kerjanya jika ingin menjadi negara dengan kekuatan ekonomi ketujuh pada 2030. Pendidikan menjadi kunci memenuhi kebutuhan tenaga kerja produktif tersebut.

Indeks pembangunan manusia Indonesia pada 2012 hanya berada di urutan ke-121 dari 186 negara. Selain tingkat pendidikan rendah, usia harapan hidup waktu lahir rata-rata orang Indonesia hanya 72 tahun.

Buruknya kualitas kesehatan juga memengaruhi produktivitas pekerja Indonesia. Saat penyakit menular belum teratasi, penyakit degeneratif yang membebani ekonomi mulai mengancam. Buruknya pola hidup, terbatasnya sarana dan prasarana olahraga, serta pembangunan tak berwawasan lingkungan membuat penyakit jantung, stroke, hipertensi, dan diabetes semakin banyak menyerang orang muda.

Lapangan kerja

Pada 2025, jumlah tenaga kerja akan menjadi 132 juta orang. Lulusan perguruan tinggi ditargetkan mencapai 25 persen dan 50 persen lainnya lulusan SMA/SMK.

Tantangannya, memastikan semua tenaga kerja terdidik dan terampil itu terserap di pasar kerja. Namun, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak menjamin serapan tenaga kerja. Penciptaan lapangan kerja yang ditimbulkan dari setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak 2010 hingga sekarang konsisten menciut.

Selain peningkatan produktivitas dan kualitas tenaga kerja, pemerataan pembangunan ke seluruh wilayah Indonesia menjadi kunci. Selama ini, sekitar 60 persen produk domestik bruto nasional disumbang oleh Jawa. Tenaga kerja terdidik dan terampil juga terkumpul di Jawa.

Karena itu, pembangunan infrastruktur di luar Jawa mendesak dilakukan untuk meratakan pertumbuhan ekonomi sekaligus mendorong penyebaran penduduk ke luar Jawa.

Pemerintah juga harus memastikan tidak terjadi keterbatasan infrastruktur dan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan kelas menengah yang tumbuh cepat. Kelas menengah yang kuat bisa menjadi basis ekonomi domestik yang kuat. Sebaliknya, kelas menengah yang besar hanya akan menjadi beban jika kebutuhan mereka dipenuhi dari impor.

Jika tidak ada perubahan signifikan dalam mengelola pembangunan ekonomi dan kualitas manusia, Indonesia hanya akan menjadi penonton dalam MEA 2015 maupun kebangkitan ekonomi Asia dan masuk dalam jebakan negara berpendapatan menengah.

**

Jumat, 25 Oktober 2013

Buruh migran

Antara Remitansi dan Perlindungan

Oleh: HAMZIRWAN

SIAPA dapat mengirim uang tunai sedikitnya Rp 70 triliun setahun untuk menggerakkan sektor riil di pedesaan selain tenaga kerja Indonesia?

Sedikitnya 6,5 juta tenaga kerja Indonesia terpaksa memeras keringat di negeri orang demi impian hidup layak karena keterbatasan lapangan kerja di dalam negeri.

Hampir separuh dari TKI tidak memiliki dokumen resmi. Sebagian besar menjadi pekerja rumah tangga yang terisolasi di rumah pengguna jasa, rentan mengalami pelanggaran hak asasi manusia, dan rawan eksploitasi.

Sejak krisis ekonomi tahun 1998, pemerintah atas saran Dana Moneter Internasional menjadikan penempatan TKI sebagai salah satu strategi menghasilkan devisa. Sampai kini, TKI menjadi kontributor penting penghasil devisa selain ekspor komoditas nonmigas, seperti minyak sawit dan batubara.

Peranan TKI terhadap pertumbuhan ekonomi domestik harus diimbangi perbaikan perlindungan yang selama ini ibarat menegakkan benang basah. Pemerintah harus terus membangun sistem perlindungan TKI komprehensif sejak akan berangkat ke luar negeri, bekerja di luar negeri, hingga kembali ke Tanah Air.

Malaysia dan Arab Saudi merupakan tujuan utama penempatan TKI. Sedikitnya 2,5 juta TKI berada di Malaysia dan 1,5 juta orang di Arab Saudi. Kedekatan geografis dan kemiripan bahasa membuat calon TKI memilih bekerja di Malaysia sebagai pekerja rumah tangga, buruh konstruksi, dan buruh perkebunan sawit. Sementara alasan kemudahan berhaji atau umrah membuat minat calon TKI bekerja ke Arab Saudi tinggi. Hampir 90 persen TKI di Arab Saudi menjadi pekerja rumah tangga.

Keberadaan TKI di Malaysia mampu menghasilkan remitansi sedikitnya 1,5 miliar dollar AS (Rp 15 triliun lebih) per tahun, sedangkan TKI di Arab Saudi mengirimkan sedikitnya 2,5 miliar dollar AS (Rp 25 triliun lebih) per tahun. Tahun 2014, remitansi TKI masih akan menjadi penyumbang penting bagi transaksi berjalan Indonesia.

”Bahan bakar” ekonomi wilayah

Dana segar yang mereka kirim ke kampung kemudian menjadi ”bahan bakar” perekonomian wilayah. Para keluarga TKI membayar utang atau menebus sawah yang sempat digadaikan untuk modal keberangkatan.

Rumah permanen berdiri di antara rumah berdinding gedek di daerah kantong TKI. Sepeda motor baru berseliweran di jalan tanah. Usaha baru, seperti salon atau bengkel sepeda motor, bermunculan. Bayangkan, dana segar puluhan triliun rupiah beredar di desa yang pada akhirnya juga mengalir ke kota. TKI turut memacu pertumbuhan ekonomi wilayah.

Aliran kencang dana remitansi TKI terbukti menyelamatkan perekonomian regional. Konsumsi domestik tetap terjaga sehingga roda perekonomian sektor riil tetap berputar. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi wilayah tetap positif.

Saat krisis keuangan global yang melemahkan permintaan di pasar internasional terjadi tahun 2008, perekonomian Indonesia tetap tumbuh, antara lain, berkat aliran remitansi TKI.

Demikian pula saat krisis global tahun 2012 dan neraca transaksi berjalan Indonesia semakin negatif tahun 2013, aliran remitansi TKI mampu menyokong ekonomi nasional. Kondisi ini menunjukkan, TKI yang terpaksa bekerja ke luar negeri karena ketiadaan lapangan kerja di dalam negeri berperan besar bagi perekonomian nasional.

Dengan fakta demikian, wajar pemerintah dituntut lebih serius membangun perlindungan komprehensif bagi TKI.

Perlindungan negara

Sebagian besar calon TKI tertarik bekerja ke luar negeri karena melihat sukses tetangga di kampung. Sukses itu tampak dari rumah permanen berdinding keramik, televisi dan radio keluaran terbaru, sampai sepeda motor yang terparkir. Anak-anak lulusan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama pun tergiur bujuk rayu calo TKI yang kerap disebut sponsor.

Para sponsor mengiming-imingi gaji bulanan besar sebagai pekerja rumah tangga (PRT), misalnya, 800 riyal (Rp 1,8 juta) di Arab Saudi, 600 ringgit (Rp 1,7 juta) di Malaysia, dan 4.000 dollar Hongkong (Rp 4,5 juta). Nilai itu menggiurkan karena gaji PRT di Cirebon dan Indramayu masih Rp 350.000-Rp 500.000 per bulan. Sponsor akan mengeluarkan segala jurus untuk meyakinkan karena bakal menerima komisi sedikitnya Rp 4 juta per calon TKI.

Saat pemerintah menghentikan sementara penempatan TKI ke Malaysia, Arab Saudi, Jordania, Kuwait, dan Suriah, posisi tawar sponsor pun meningkat. Komisi sponsor sempat mencapai Rp 8 juta per calon TKI.

Kenaikan itu mengikuti lonjakan biaya perekrutan calon TKI untuk Timur Tengah yang dibayar calon pengguna jasa TKI, yaitu dari 1.500 dollar AS (Rp 16 juta lebih) menjadi 3.000 dollar AS (sekitar Rp 33 juta) per orang. Biaya perekrutan TKI untuk Malaysia kini mencapai 4.511 ringgit (sekitar Rp 12,8 juta) dengan komisi sponsor bisa mencapai Rp 5 juta per calon TKI.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mendorong pemerintah kabupaten/kota daerah kantong TKI mengembangkan pusat data pencari kerja lengkap dengan keahlian mereka untuk memudahkan proses pendataan dan penempatan TKI. Tanpa keterlibatan pemerintah daerah, upaya pembenahan perlindungan di dalam negeri tidak akan berarti apa-apa.

Demikian pula dengan proses revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri yang tengah berjalan saat ini. DPR dan pemerintah mengharuskan pencantuman 35 hak TKI dan keluarga sesuai Konvensi Internasional Perlindungan Hak Buruh Migran dan Anggota Keluarga yang sudah diratifikasi 12 April 2012. Isi hak tersebut, antara lain, sanksi pidana untuk swasta dan aparat negara yang mengabaikan perlindungan TKI dan desentralisasi pelayanan gratis bagi TKI.

Peranan TKI terhadap perekonomian bangsa sudah jelas. Pemerintah harus segera mewujudkan perlindungan hakiki bagi mereka.

**

Jumat, 25 Oktober 2013

Disparitas dan Ketimpangan

Ketika Agenda Pembangunan Dibajak

Oleh: SRI HARTATI SAMHADI 

DISPARITAS dan ketimpangan menjadi paradoks yang selalu menyertai pembangunan di Indonesia yang selama ini lebih mengedepankan pada pertumbuhan ekonomi ketimbang kualitas pembangunan itu sendiri. Tren ketimpangan kian memburuk, terutama sejak krisis ekonomi 1998, dengan indeks Gini yang menggambarkan tingkat ketimpangan meningkat dari 0,33 tahun 2002 menjadi 0,37 tahun 2009 dan menembus 0,4 pada 2011. Ketimpangan terjadi secara multidimensi: antarwilayah, antarsektor, antarkelompok pendapatan.

Fenomena ketimpangan spasial yang muncul akibat pemusatan kegiatan pembangunan yang kita temui 20-30 tahun lalu tak berubah wajah, tecermin dalam meningkatnya kesenjangan Jawa-luar Jawa, pedesaan-perkotaan, kawasan Indonesia barat-kawasan Indonesia timur, wilayah hinterland-wilayah perbatasan, bahkan di dalam satu wilayah yang sama.

Meningkatnya pertumbuhan ekonomi juga tak dibarengi penurunan secara signifikan angka kemiskinan dan pengangguran, karena kue nasional terkonsentrasi pada kelompok 20 persen terkaya. Peningkatan pangsa kue kelompok 20 persen terkaya dalam distribusi pendapatan nasional dibarengi penciutan pangsa 40 persen penduduk termiskin.

Pangsa kelompok 20 persen ter kaya terus naik dari 41,24 persen (1999) menjadi 46,45 persen (2011) dan 48,94 persen (2012). Sementara perolehan 40 persen penduduk termiskin turun dari 21,22 persen (1999) menjadi 17,6 persen (2011) dan 16,88 persen (2012). Efek tetesan ke bawah (trickle down effect) tak terjadi, yang terjadi efek muncrat ke atas (trickle up effect).

Ketimpangan di era otda

Program desentralisasi fiskal dan otonomi daerah (otda) secara tak langsung antara lain dimaksudkan untuk menyebarkan pembangunan. Namun, setelah 12 tahun otda, sasaran untuk mendekatkan pelayanan ke masyarakat dan memperbaiki akses penduduk miskin pada kebutuhan dasar secara umum belum tercapai. Ini tecermin dari tren angka kemiskinan di daerah.

Berbagai kajian yang pernah dilakukan pasca-diberlakukannya desentralisasi fiskal dan otda menunjukkan, ketimpangan antarwilayah tak banyak berubah dibandingkan sebelum desentralisasi, bahkan ada tendensi meningkat. Lebih dari 80 persen produk domestik bruto (PDB) nasional saat ini masih disumbangkan oleh Jawa dan Sumatera. Meski hanya menyumbang 7 persen dari total luas wilayah daratan Indonesia, Jawa menyumbang 57 persen dari PDB nasional. Empat provinsi penyumbang PDB nasional terbesar pada kuartal 1-2013 juga terdapat di Jawa, yakni DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, dengan sumbangan kumulatif ke PDB nasional lebih dari 50 persen.

Kondisi ini diperkirakan Badan Pusat Statistik tak akan berubah dalam setidaknya 30 tahun ke depan tanpa adanya terobosan dalam kebijakan. Disparitas antarwilayah ini terus berlangsung karena insentif ekonomi lebih banyak diberikan ke Pulau Jawa. Pembiayaan fiskal, seperti pembangunan infrastruktur, sebagian besar juga bias Jawa. Demikian pula Jawa juga menjadi pusat konsentrasi investasi swasta dan asing.

Pada 2012, dari total investasi 22,75 miliar dollar AS, Jabar dan DKI 4,2 miliar dollar dan 4,1 miliar dollar AS. Ini didukung ketersediaan infrastruktur dan juga sumber daya manusia. Konsentrasi sektor sekunder (industri) dan tersier (jasa) terus terjadi di Jawa, sementara luar Jawa belum banyak bergeming dari sektor primer.

Disparitas kemiskinan lebih mencolok lagi di tingkat kabupaten atau kota meskipun bobot desentralisasi fiskal dan otonomi beberapa tahun terakhir semakin bergeser ke daerah tingkat dua ini. Sebaliknya, disparitas PDRB kian mengecil antarprovinsi. Selama kurun 2001-2010 nyaris tak ada perubahan dalam gambaran tingkat kemiskinan di antara provinsi-provinsi di Indonesia dan hanya ada satu provinsi yang naik kelas, dari angka kemiskinan sedang menjadi angka kemiskinan rendah.

Jumlah dan persentase penduduk miskin beberapa tahun terakhir menjadi gambaran akutnya persoalan ketimpangan di Indonesia. Selama 12 tahun terakhir, persentase penduduk miskin menurut garis kemiskinan nasional hanya turun dari 19,1 persen pada 2000 menjadi 12,0 persen pada 2012 dan 11,37 persen 2013. Tren angka kemiskinan ini, menurut OECD (Trends in Poverty and Inequality in Decentralising Indonesia, 2013), cenderung meningkat dalam sepuluh tahun terakhir. Artinya, manfaat pertumbuhan belum dinikmati secara merata oleh masyarakat.

Penurunan angka kemiskinan juga semakin lambat, kalah cepat dibandingkan dengan negara-negara Asia lain. Persentase penduduk miskin Indonesia—diukur dari angka pengeluaran per kapita 2 dollar AS per hari—berada di atas rata-rata negara emerging countries lain, kecuali Kamboja dan India. Sebesar 46,1 persen penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan pada 2010. Dari 121,2 juta angkatan kerja Februari 2013, sekitar 60 persen (meningkat dari 54 persen 2010) juga bekerja di sektor informal. Sisanya, 40 persen, pekerja sektor formal. Tak sedikit dari pekerja formal ini pun ada yang dilindungi oleh kontrak.

Meski angka kemiskinan di Jawa lebih rendah dibandingkan dengan provinsi lain, karena mayoritas penduduk terbesar ada di Jawa, mayoritas penduduk miskin juga terkonsentrasi di Jawa. Papua, Maluku, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur serta Gorontalo adalah provinsi yang secara persisten memiliki angka kemiskinan tinggi, sementara angka kemiskinan DKI Jakarta dan Bali secara konsisten di bawah rata-rata nasional. Papua adalah kasus khusus karena meski kaya SDA dan memiliki produk domestik regional bruto (PDRB) tinggi, angka kemiskinan tinggi.

Konsentrasi aset

Kegagalan Indonesia mengatasi problem ketimpangan selama ini terjadi karena kebijakan pembangunan telah dibajak oleh kepentingan politis dan kartel usaha yang membelokkan agenda pembangunan untuk kepentingan pribadi mereka. Dalam bukunya, The Price of Inequality, penerima Nobel Ekonomi Joseph E Stiglitz mengungkapkan, dari pengamatan di banyak negara, ketimpangan pendapatan lebih sering terjadi sebagai akibat keputusan politis ketimbang konsekuensi dari bekerjanya kekuatan pasar atau makroekonomi. Artinya, ketimpangan adalah buah dari kebijakan pemerintah sendiri.

Neoliberalisme telah melahirkan klaster-klaster kartel yang sangat berkuasa. Kartel-kartel ini melakukan segala cara untuk lobi politik dan menggunakan monopoli kekuasaannya untuk memperbesar keuntungannya. Di Amerika, 1 persen penduduk terkaya bisa mendikte arah bekerjanya seluruh sistem. Hasilnya, ketimpangan melonjak, pendapatan menurun; produktivitas, pertumbuhan serta stabilitas ekonomi itu sendiri terganggu.

Ini juga terjadi di Indonesia. Ekonom Ahmad Erani Yustika dalam sebuah diskusi di Kompas melihat ketimpangan pembangunan berawal dari kesenjangan penguasaan aset (hulu), seperti modal dan lahan. Berdasarkan data BPN, ketimpangan lahan saat ini berada di kisaran 0,54 (Gini rasio). Sekitar 70 persen aset ekonomi berupa tanah, tambak, kebun dan properti di negara ini hanya dikuasai oleh 0,2 persen penduduk.

Di sisi lain penguasaan lahan oleh rumah tangga petani yang jumlahnya 26,13 juta rumah tangga menurut Sensus Pertanian 2013 (turun dari 31,17 juta rumah tangga tahun 2003) atau sekitar 44 persen penduduk Indonesia terus menyusut hingga 0,09 hektar per rumah tangga petani. Kemiskinan masih merupakan fenomena pedesaan, dengan dominasi penduduk miskin di sektor pertanian di pedesaan.

Erani melihat pembangunan yang dijalankan di Indonesia selama ini ”tidak menuju ke arah yang benar dengan kecepatan yang terukur” karena kebijakan yang diambil tidak fokus dan sarat kepentingan kelompok. Agenda pembangunan telah dibajak oleh kepentingan politik sehingga pembangunan terkonsentrasi pada daerah atau golongan tertentu saja. Ini berakibat pada munculnya kesenjangan kesejahteraan.

Pemerintah juga mudah didikte pihak luar dalam agenda-agenda pembangunan dan banyak kebijakan yang diambil kerap kali terlepas dari bingkai besar kebijakan nasional. Contoh terakhir adalah kebijakan mobil murah.

Ketimpangan sektoral membuat upaya pengentasan kelompok miskin melalui migrasi dari sektor informal ke sektor formal juga sulit berjalan. Terutama dengan terus menurunnya pangsa dan pertumbuhan sektor industri dalam perekonomian nasional sejak 2005. Kontribusi sektor manufaktur yang pernah mencapai 28 persen terus menyusut menjadi sekitar 23,5 persen saat ini.

Sementara sektor pertanian yang masih menampung tenaga kerja terbesar (44 persen dari total angkatan kerja) hanya tumbuh 3,3-3,4 persen karena terabaikan dan dihancurkan. Perlindungan dan insentif untuk petani terus dipereteli, sementara pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi, dan pemerintah pusat juga saling lempar tanggung jawab terkait infrastruktur pertanian, seperti irigasi yang kini 40 persen rusak.

Pemerintah dinilai telah kehilangan fokus karena dibajak kepentingan politik. Kita begitu mudah dalam didikte pihak luar dalam hal agenda-agenda pembangunan. Termasuk di antaranya dalam kesepakatan-kesepakatan perdagangan bebas internasional yang kita buat, di mana komitmen menghilangkan fleksibilitas dalam pelaksanaan kebijakan di lapangan sesuai kebutuhan kita di dalam negeri.

Masalah ketimpangan, menurut Erani, tidak pernah teratasi karena pemerintah lebih banyak bermain di hilir. Padahal, problem ketimpangan ada di hulunya. Insentif kebijakan yang dibuat tak tersusun baik sehingga sektor-sektor tertentu, seperti pangan dan nonminyak bumi, mengalami kehancuran. Partisipasi juga tidak dibuka secara lebih luas sehingga akses dan keadilan tidak menyentuh semua kelompok. Aspek kelembagaan juga tidak didesain dengan lengkap dan ditegakkan secara penuh.

Banyak langkah yang sudah ditempuh pemerintah untuk mengurangi ketimpangan, termasuk lewat program transmigrasi, percepatan pembangunan daerah tertinggal, pengembangan kawasan ekonomi khusus yang dimaksudkan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui ekspor produksi industri khusus dan liberalisasi perdagangan. Selain itu, pembentukan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Lalu kawasan pengembangan ekonomi terpadu dan kerja sama subekonomi regional. Terakhir Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Intinya, menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru di daerah, meningkatkan integrasi dan interkonektivitas seluruh wilayah di Indonesia sehingga terjadi pemerataan pembangunan. Sayangnya, banyak program tersebut mandek di jalan. Banyak kritik juga ditujukan pada MP3EI. Misalnya, MP3EI dianggap masih mengutamakan ekstraksi SDA yang sangat membahayakan lingkungan dan keselamatan rakyat. MP3EI juga tidak disusun untuk mengoreksi berbagai kebijakan dan memperbaiki berbagai persoalan kerusakan dan kejahatan lingkungan yang diakibatkan oleh pembangunan. Lebih jauh, MP3EI dinilai tak mencerminkan visi nasionalisme karena kepentingan yang diusung dianggap tidak mencerminkan kebutuhan rakyat.

Mengatasi ketimpangan tidak bisa parsial dan tambal sulam. Perlu komitmen kuat dan suatu formula, pendekatan, inovasi, terobosan baru, mulai dari perubahan paradigma kebijakan pembangunan, ditopang kelembagaan yang mapan, infrastruktur dan insentif yang mendukung dan pengawasan ketat dalam implementasi di lapangan.

Selama negara membiarkan agenda pembangunan dibajak kepentingan sempit politik, kartel usaha dan pihak luar, maka mengatasi ketimpangan hanya akan menjadi mimpi, konflik akan terus marak dan ini akan menjadi ancaman bagi masa depan NKRI.

**

Jumat, 25 Oktober 2013

Mengelola Bara Konflik Penyelenggara Pemilu

Oleh: AMIR SODIKIN dan NINA SUSILO 

SATU per satu perseteruan antar-penyelenggara pemilu terungkap ke publik. Ada yang hanya menjadi keluhan di media massa, ada yang sampai ke ranah pengadilan. Beberapa di antaranya dilaporkan ke pengadilan kode etik Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.

Kasus pemecatan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, Andi Padellang adalah salah satu contoh tak harmonisnya hubungan KPU dengan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Padellang diadukan anggota Panwaslu Luwu, Hadyang, yang memprotes cara KPU Luwu dalam menetapkan pasangan calon bupati.

Hadyang sebagai pengadu menemukan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan teradu dengan cara menggelar rapat pleno tertutup penetapan pasangan calon bupati-wakil bupati. Teradu dianggap meloloskan pasangan calon yang tidak memenuhi syarat. Panwaslu Luwu mencoba mengikuti rapat pleno, tetapi akhirnya diusir KPU Luwu.

Peliknya perselisihan ini dilerai oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam sidang kode etik. Pada 3 Oktober lalu, palu DKPP menjatuhkan vonis pemberhentian tetap untuk Ketua KPU Luwu Andi Padellang. Tak ada ampun untuk kesalahan yang begitu nyata.

Ada pula perselisihan KPU dengan Panwaslu yang dipicu persoalan internal, yang tak ada sangkut pautnya dengan tugas penyelenggaraan pemilu, seperti yang terjadi antara KPU Kota Samarinda dan Panwaslu Kota Samarinda, Kalimantan Timur.

Pengadu adalah komisioner Panwaslu Samarinda, Noor Rahmawanto. Ia mengadukan Ketua Panwaslu Asmadi Asnan yang dianggap bertindak arogan serta mementingkan diri sendiri, keluarga, dan kroninya. Menurut Noor, Asmadi telah mengangkat istrinya sebagai anggota staf resepsionis Panwaslu. Ia juga merasa dikucilkan rekan-rekannya dan tidak pernah diajak komunikasi terkait pengawasan.

Tampaknya kasus ini hanya masalah sepele. Namun, Majelis DKPP meresponsnya begitu keras. Sidang DKPP tak hanya memberikan sanksi peringatan kepada teradu, tetapi juga memberikan peringatan yang sama kepada pengadu.

Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie mengatakan, keduanya terbukti melanggar kode etik karena sama-sama andil atas terjadinya persoalan internal. Jimly mengatakan, ini merupakan putusan ultra petita yang pertama kali diberikan DKPP. ”DKPP memberikan keputusan lebih dari yang diminta,” kata Jimly.

Pertimbangannya adalah konflik antar-penyelenggara pemilu ini bisa dengan mudah dimanfaatkan pihak ketiga. Jika salah satu penyelenggara pemilu ”masuk angin” atau bisa dipengaruhi pihak luar, ujar Jimly, itu akan sangat berbahaya.

Kasus-kasus penyelenggara pemilu yang ”masuk angin” memang akhir-akhir ini terungkap terang benderang. Rivalitas antar-penyelenggara pemilu tak hanya menguras tenaga dan waktu sia-sia, tetapi juga mengancam masa depan demokrasi.

Konflik ”tiga penyelenggara”

Konflik antar-penyelenggara pemilu terus membara. Padahal, pemilu semakin dekat. Tak hanya KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang menghadapi berbagai masalah persiapan pemilu, DKPP pun tak kalah sibuk. Sejumlah putusannya bak petir pencabut nyawa para penyelenggara pemilu yang dinilai melanggar kode etik.

Tak disangka, kedalaman konflik tak hanya melibatkan KPU dengan Bawaslu atau Panwaslu, tetapi juga sudah lebih kompleks lagi karena peran DKPP yang begitu besar dipersoalkan penyelenggara pemilu lainnya. Banyak pihak lebih percaya memasukkan kasusnya ke DKPP, tak peduli apakah kasusnya masuk kode etik apa tidak, yang membuat Bawaslu bak macan ompong.

Peran DKPP sebagai juri adil pun diusik. Ternyata, DKPP yang bersama KPU dan Bawaslu menetapkan peraturan bersama kode etik penyelenggara pemilu tak terikat dengan kode etik itu. Padahal, kata Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Ramlan Surbakti, beberapa putusan DKPP bertentangan dengan kode etik dan melanggar kewenangan.

Semestinya, DKPP hanya menangani pengaduan terkait pelanggaran kode etik. Setelah diperiksa dan jika didapati pelanggaran kode etik, DKPP menjatuhkan sanksi peringatan tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap.

Oleh karena itu, DKPP semestinya tidak memiliki kewenangan membatalkan keputusan KPU seperti dalam pengaduan atas KPU Jawa Timur, KPU Musi Banyuasin, dan KPU Tangerang Selatan. Pembatalan keputusan KPU semestinya diajukan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Adapun sengketa hasil pemilu tetap ditangani Mahkamah Konstitusi.

”Kalau dibiarkan, bisa-bisa DKPP membatalkan keputusan KPU terkait hasil Pemilu 2014 dan menentukan hasil pemilu,” tutur Ramlan.

Ramlan, Wakil Ketua KPU periode 2001-2006, mencontohkan, dalam putusan atas KPU Jatim, DKPP tak hanya mengambil alih tugas PTUN, tetapi juga kewenangan MK. Sebab, DKPP menilai KPU Jatim melanggar UUD dan melanggar hak konstitusional warga negara untuk mencalonkan diri dalam pilkada.

Karena DKPP bertindak tidak sesuai perundang-undangan, lanjut Ramlan, timbul potensi ancaman untuk Pemilu 2014. Keruwetan pun muncul karena DKPP melahirkan ketidakpastian hukum.

Di sisi lain, Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu yang bertugas mengawasi tahapan pemilu terkesan serba terlambat. Laporan pemantauan pemutakhiran data pemilih oleh Bawaslu kerap tertinggal dengan langkah KPU yang sudah memperbaiki berbagai kekurangan.

Ramlan mengatakan, kesan serba terlambat bisa mengurangi kredibilitas Bawaslu. Apalagi, tugas Bawaslu kini tak hanya pengawasan, tetapi juga menangani sengketa pemilu. Karena itu, Bawaslu dan KPU semestinya sering berkomunikasi.

Hanya komunikasi yang bisa mengelola bara sekam dalam konflik dan rivalitas antar-penyelenggara pemilu. Mereka harus menurunkan ego masing-masing. Sebagai pilar keempat demokrasi modern, tak sepantasnya mereka berebut kue peranan. Ini kerja demokrasi, bukan kerja membuat kue.

**

Jumat, 25 Oktober 2013

Politik 2014

Bergantung pada Transformasi Ideologi

Oleh: BAMBANG SETIAWAN 

PERIODE 1999-2014 adalah rentang masa yang sangat dramatik bagi partai politik. Merupakan periode pasang naik dan surut yang berlangsung dengan cepat. Ke depan, politik akan ditentukan seberapa berhasil partai dinasti melakukan transformasi ideologi.

Pasca-jatuhnya kekuasaan Orde Baru yang dikuasai Golkar dan Soeharto pada tahun 1998, Pemilu 1999 diikuti 48 parpol dan dimenangi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dengan perolehan 33,7 persen suara. Hanya bertahan satu pemilu, suara PDI-P merosot drastis dengan hanya menyisakan setengah dukungan, menjadi 18,53 persen.

Dalam pemilu terakhir, 2009, PDI-P harus puas di urutan ke tiga setelah Demokrat dan Golkar. Setelah popularitas Megawati meredup dan kalah dalam dua kali pemilu presiden langsung, regenerasi kepemimpinan di tubuh PDI-P menjadi pertanyaan yang terus mengusik. Di satu sisi, generasi baru dari darah Soekarno belum cukup matang untuk mengambil alih kepemimpinan. Namun, di sisi lain belum ada figur di luar dinasti yang sangat kuat mewakili gambaran ideologi partai sekaligus bisa diterima sebagai simbol ikatan.

Pada saat yang sama, Partai Golkar yang ditinggalkan Soeharto tiba-tiba menjadi ”partai subsisten”, yang harus bertahan sedapatnya, tanpa tokoh panutan dan fasilitas kekuasaan. Golkar yang berjaya sejak Pemilu 1971-1997, dalam Pemilu 1999 langsung anjlok di posisi kedua dengan 22,4 persen, dan di pemilu berikutnya turun sedikit meskipun bercokol sebagai pemuncak perolehan, lalu menukik tajam pada Pemilu 2009 menjadi 14,45 persen.

Upaya menahan kemerosotan dengan melakukan konvensi calon presiden dari Golkar cukup berhasil pada Pemilu 2004. Namun, tanpa memiliki tokoh yang kuat popularitasnya, Golkar tampaknya hanya akan menjadi ”partai sejarah”. Penetrasi yang demikian kuat pada masa kekuasaan Orde Baru masih menyisakan kesetiaan masyarakat kepada partai berlambang beringin ini, tetapi sulit mengubah keberuntungan lebih jauh dari posisi partai papan menengah.

Masuknya Partai Demokrat pada Pemilu 2004 cukup menggoyang partai-partai nasionalis papan atas. Langsung masuk ke papan tengah, Partai Demokrat menjadi harapan baru. Sinarnya makin cemerlang setelah dalam pemilu presiden mampu memenangkan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Terseret oleh popularitas SBY yang terus menanjak, Partai Demokrat melaju dan memenangkan Pemilu 2009 dengan 20,81 persen suara, menggeser dominasi Golkar dan PDI-P. Namun, kekuatan Demokrat yang gemilang mulai menyusut sejak kasus Century berembus kencang. Sejumlah kasus korupsi yang diduga melibatkan kadernya mengganjal partai pemerintah ini. Setelah Angelina Sondakh dipenjara, prahara memuncak dengan mundurnya dua elite partai, Andi Mallarangeng dari jabatan Menteri Pemuda dan Olahraga dan Anas Urbaningrum dari Ketua Umum Partai Demokrat.

Kepercayaan masyarakat terhadap Partai Demokrat pun anjlok, sebagaimana terlihat dalam hasil survei Kompas (lihat Grafik). Sebagai ”partai personal”, kemerosotan Demokrat betul-betul bertopang pada SBY. Melemparkan dan membagi kekuatan ke dalam konvensi pada ujungnya akan membuat partai berada dalam posisi dilematis. Melakukan transfer kesetiaan akan menjadi pilihan menyedihkan yang dihadapi Demokrat pada pemilu mendatang.

Di tengah kebimbangan pemilih, Partai Gerindra dengan sosok Prabowo Subianto terlihat cukup menjanjikan. Paduan antara gambaran sosok tegas dan berani, yang dibutuhkan saat ini, dengan gerak partai yang terlihat dinamis, menjadikan Gerindra makin populer di mata publik.

Dengan kecepatan dukungan yang diraihnya, dapat dipastikan Gerindra akan masuk ke partai papan menengah dalam pemilu mendatang dan mengubah konstelasi partai di kelas itu. Jika Demokrat dapat cukup tertahan dari kemerosotan lebih jauh, papan menengah akan diisi oleh Gerindra, Golkar, dan Demokrat.

Partai-partai Islam

Di dalam tubuh partai-partai Islam juga terjadi pergeseran kekuatan. Meredupnya popularitas dan peran tokoh partai, seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Amien Rais, cukup berpengaruh pada dukungan terhadap partai-partai Islam. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tanpa Gus Dur terbukti menjadi partai yang tidak bergigi. Peralihan kepemimpinan di tubuh Partai Amanat Nasional (PAN) juga tidak membawa angin segar yang dapat mempertahankan kemerosotan perolehan suara.

Di tengah sejumlah kekuatan partai-partai berbasis massa Islam, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sesungguhnya telah mampu memberi warna baru dan muncul sebagai partai kader yang cemerlang menggalang dukungan di perkotaan. Ketika popularitas tokoh-tokoh partai Islam lain merosot, PKS merangsek ke papan menengah dan menjadi satu-satunya partai Islam terkuat pada Pemilu 2009.

Akan tetapi, setahun menjelang Pemilu 2014, prahara betul-betul mengguncang citra PKS setelah presiden partainya, Luthfi Hasan Ishaaq, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena dugaan suap impor daging sapi. Keterkaitan Ahmad Fathanah dalam kasus ini menjadikan PKS menghadapi masalah hukum dan moralitas sekaligus.

Hasil survei Kompas menunjukkan merosotnya dukungan terhadap partai ini. Dengan melemahnya PKS dan tiadanya tokoh partai-partai Islam lainnya yang mampu mendongkrak suara, ada kemungkinan partai beraliran agama semakin ditinggalkan atau jatuh ke papan bawah pada pemilu mendatang.

PDI-P dan Jokowi

Satu-satunya partai sejarah, yang mampu bangkit lagi setelah tidur cukup lama, hanya PDI-P. Dan, tampaknya pemilu mendatang akan menjadi milik partai yang nyaris menjadi partai dinasti ini. Kemampuan partai ini untuk melakukan transformasi ideologi dan melonggarkan sekat dinasti mulai terlihat ketika Jokowi diminta membacakan teks ”Dedication of Life” dalam Rakernas PDI-P di Ancol, September lalu. Lebih dari sekadar simbol alih generasi, itulah momen penting di mana keterikatan primordial disubstitusikan ke dalam keterikatan ideologi.

Jokowi sekarang adalah simbol yang mampu menyatukan berbagai kepentingan di dalam tubuh partai berlambang banteng itu sehingga mustahil tidak dimajukan sebagai calon presiden dalam pemilu mendatang. Dan, seandainya diajukan oleh PDI-P, besar kemungkinan Gubernur Jakarta yang sangat populer di mata masyarakat ini akan menjadi presiden.

Semakin lekatnya citra Jokowi dengan PDI-P membuat hubungan antara keduanya berkorelasi positif. Semakin tinggi popularitas Jokowi, semakin tinggi perolehan suara partai ini. Dalam hal ini, tampaknya Jokowi lebih sebagai faktor penentu naiknya dukungan terhadap partai. Jika PDI-P mampu menangkap dan mengelola dengan baik situasi ini hingga pemilu legislatif, sangat mungkin PDI-P akan menjadi partai pemenang dengan perolehan yang jauh melampaui pesaingnya.

Setelah menang pemilu legislatif, penentu politik Indonesia sesungguhnya akan berada di tangan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Berubah atau stagnasi, akan sangat bergantung pada seberapa jauh Megawati menakar kepentingan pribadinya dalam ruang politik praktis, dalam kontinum antara ideologi dan dinasti.

(Litbang Kompas)

**

Jumat, 25 Oktober 2013

komposisi legislatif

Wajah Lama di Periode Baru

Oleh: ANITA YOSSIHARA dan HARYO DAMARDONO 

TUKANG bolos, tidur di ruang rapat, kinerja rendah, dan korupsi. Itulah cap yang disematkan rakyat kepada para wakilnya di parlemen. Citra Dewan Perwakilan Rakyat 2009-2014 di mata rakyat memang buruk.

Tingkat kehadiran anggota DPR dalam setiap rapat, terutama rapat paripurna, yang rendah berkali-kali menjadi sorotan. Begitu pula rendahnya produktivitas legislasi, berkali-kali menjadi bahan kritik publik. Belum lagi serentetan kasus dugaan korupsi dan suap yang menjerat anggota DPR, membuat rakyat semakin tidak percaya. Citra DPR pun semakin terpuruk.

DPR periode 2009-2014 dianggap minim prestasi. Lebih banyak hal kontroversial yang dilakukan DPR, seperti rencana pembangunan gedung baru, usulan pengalokasian dana daerah pemilihan, dan pelemahan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui rencana perubahan undang-undang.

Buruknya kinerja DPR membuat banyak kalangan berharap DPR periode 2014-2019 lebih baik. Tetapi, pertanyaannya, apakah bisa? Faktanya, 502 anggota DPR periode 2009-2014 kembali mencalonkan diri dalam pemilu legislatif. Jumlah ini sekitar 89,6 persen dari total anggota DPR sebanyak 560 orang.

Jika dilihat dari persentase keikutsertaan anggota DPR dalam Pemilu Legislatif 2014, paling tinggi berasal dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Semua anggota Fraksi PKS berjumlah 57 orang atau 100 persen kembali mencalonkan diri, diikuti Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), 16 dari 17 (94,1 persen), kemudian Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, 26 dari 28 (92,8 persen).

Sebanyak 137 dari 148 (95,6 persen) anggota Fraksi Partai Demokrat juga kembali mencalonkan diri. Begitu pula 40 dari 46 (87 persen) anggota Fraksi Partai Amanat Nasional, 81 dari 94 (86 persen) anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, 91 dari 106 (86,4 persen) anggota Fraksi Partai Golkar, 22 dari 26 (84,6 persen) anggota Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, dan 32 dari 38 (84,2 persen) anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.

Mereka mayoritas menempati nomor 1 dan 2. Hanya sedikit yang mendapat nomor urut 3 dan 4.

Makin suram?

Melihat komposisi daftar caleg tetap (DCT), kemungkinan besar wajah DPR periode 2014-2019 tidak jauh berbeda dengan saat ini. Pasalnya, caleg petahana memiliki peluang lebih besar untuk masuk parlemen. Mereka mendapatkan nomor urut ”jadi”, yakni nomor 1, 2, 3, dan 4 yang mudah diingat publik. Selain itu, mereka juga lebih dikenal konstituen dibandingkan caleg baru.

Belum lagi modal jaringan yang sudah mereka miliki. Sebagai anggota DPR, mereka kerap mengunjungi konstituen di daerah pemilihan. Minimal mereka turun ke daerah pemilihan empat kali setahun, setiap kali reses DPR. Dengan model pemilihan suara terbanyak, caleg petahana berpeluang lebih besar.

Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Sebastian Salang, bahkan, memperkirakan, wajah DPR mendatang semakin suram. Sama seperti anggota DPR saat ini, anggota DPR periode 2014-2019 juga diperkirakan sulit memenuhi harapan rakyat.

Hasil survei berbagai lembaga menunjukkan ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja DPR makin tinggi. Terakhir, survei Institut Riset Indonesia (Insis) pada 17 Agustus-20 September 2013 di 34 provinsi menyebutkan, 60,9 persen responden (dari 1.070 responden) menganggap kinerja DPR tidak baik. Hanya 20,5 persen responden yang menilai kinerja DPR baik, dan 0,6 persen menganggap semakin baik.

Selama empat tahun masa jabatan, DPR memang selalu gagal memenuhi target legislasi. Hasil penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menyebutkan, tahun 2012 DPR hanya menyelesaikan pembahasan 30 RUU. Sekitar 43,5 persen dari target Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebanyak 69 RUU. Tahun 2011, DPR menyelesaikan pembahasan 24 RUU atau 25,8 persen dari target 93 RUU. Tahun 2010, RUU yang disahkan menjadi UU, 16 dari target 70 RUU (22,8 persen).

Peneliti PSHK Rachmad Maulana Firmansyah melihat, capaian legislasi DPR rendah karena perencanaan Prolegnas yang tidak matang. Penetapan Prolegnas tidak didasarkan pada hasil evaluasi kinerja legislasi tahun sebelumnya. Meski capaian rendah, DPR selalu memasang target tinggi tiap tahun.

Firman memprediksi kegagalan dalam menjalankan fungsi legislasi juga akan terjadi pada DPR periode 2014-2019. Sebab, besar kemungkinan, mereka yang terpilih pada Pemilu 2014 adalah anggota DPR yang kembali mencalonkan diri.

Sementara jika dilihat dari pemberlakuan ambang batas parlemen 3,5 persen suara sah nasional, serta konstelasi politik yang berkembang akhir-akhir ini, diperkirakan akan ada 7-10 parpol yang masuk parlemen.

Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi, memprediksi parpol besar akan menguasai pertarungan politik Pemilu 2014. Partai Golkar, PDI-P, dan Partai Demokrat dipastikan lolos. Sementara enam parpol parlemen lain, yakni PPP, PKS, PKB, PAN, Partai Gerindra, dan Partai Hanura, ditambah dengan parpol baru, Partai Nasdem, akan bertarung keras.

Di antara tujuh parpol tersebut, ada tiga parpol yang terancam tereliminasi. Ketiga parpol itu menurut Airlangga adalah PKS yang tengah mengalami krisis legitimasi akibat kasus korupsi, PKB yang mengalami penurunan dukungan di kantong-kantong massa di Jawa Timur, dan Partai Hanura yang kemungkinan kalah bersaing dengan Partai Gerindra.

Berapa pun parpol yang masuk parlemen sebenarnya tidak berpengaruh pada wajah DPR mendatang. Pasalnya, mereka yang mencalonkan diri dari parpol nonparlemen umumnya merupakan politisi lama yang sudah pernah duduk di parlemen.

Sebut saja Akbar Faizal. Caleg Partai Nasdem ini sebelumnya merupakan anggota DPR dari Fraksi Partai Hanura. Ada pula Mamat Rahayu, mantan anggota Fraksi Partai Golkar DPR yang kini mencalonkan diri melalui Partai Nasdem.

Perlu introspeksi

Wakil Ketua Umum PPP Lukman Hakim Saifuddin mengakui, saat ini parlemen sudah kehilangan kepercayaan rakyat. Karena itu, DPR hasil Pemilu 2014 harus lebih baik daripada sebelumnya, meski kemungkinan besar mereka yang terpilih adalah anggota parlemen periode 2009-2014.

Pengalaman selama lima tahun menjadi anggota DPR seharusnya menjadi modal memperbaiki kinerja. Ketidakpercayaan rakyat semestinya dijadikan lecutan bagi mereka untuk terus berupaya melakukan perbaikan. Introspeksi serta mawas diri diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan publik.

Caleg Partai Nasdem, Taufik Basari, punya trik lain untuk membenahi kinerja DPR. Salah satunya memutus mata rantai politik uang dalam pemilu. Sebab, jika caleg yang terpilih adalah mereka yang melakukan praktik politik uang, peluang penyelewengan semakin besar. Mereka akan lebih memikirkan bagaimana mengembalikan modal materi yang dikeluarkan selama kampanye dibandingkan bekerja memperjuangkan kepentingan rakyat.

Perbaikan kompetensi wakil rakyat mutlak diperlukan mengingat tingginya harapan rakyat. Parpol menjadi kunci karena merekalah yang menetapkan para caleg. Parpol pulalah yang bertanggung jawab meningkatkan kompetensi caleg agar parlemen ke depan lebih berkualitas.

**

Jumat, 25 Oktober 2013

penegakan hukum

Tahun Penuh Muslihat untuk Korupsi

Oleh: KHAERUDIN 

PEMILIHAN Umum 2014 ternyata bukan hanya pesta yang menegaskan Indonesia sebagai negara demokrasi. Di balik pesta lima tahunan itu, ada banyak cerita soal perampokan kekayaan negara, uang rakyat, dalam skala yang tak pernah terbayangkan. Perampokan ini terjadi sistematis, melibatkan banyak aktor negara dan wakil rakyat.

Suara Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Adnan Pandu Praja terdengar lemas sehari setelah anak buahnya menangkap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar. Dia berujar lirih, ”Untunglah AM (Akil Mochtar) ditangkap sebelum Pemilu 2014. Anda bisa bayangkan jika AM masih menjabat Ketua MK dan dia menangani sengketa pemilu atau pemilihan presiden.”

Sedikit getir Adnan melanjutkan, ”Mungkin ini tangan Tuhan yang sedang ikut campur dengan kondisi bangsa ini.”

Penangkapan Akil oleh KPK karena diduga menerima suap terkait penanganan perkara sengketa Pilkada Kabupaten Lebak dan Gunung Mas serta perkara lain di MK memang tak hanya membuat miris. Kerusakan akibat korupsi sudah sedemikian sempurna. Jika dulu rakyat masih percaya MK yang mengawal bangsa ini berjalan sesuai konstitusi, kini hal itu praktis terkikis. Semua putusan sidang MK dicurigai tercemar korupsi.

Korupsi di MK hanya kepingan cerita bahwa bangsa ini sulit terbebas dari jerat korupsi. Namun, jika dirunut, cerita ini memang ada kaitannya dengan cara Indonesia berdemokrasi.

Akil adalah mantan politikus Partai Golkar sebelum menjadi hakim konstitusi. Dia menjadi anggota DPR setelah reformasi. Bahkan, Akil pernah menduduki jabatan Wakil Ketua Komisi III DPR yang membidangi masalah hukum.

Dia terpilih sebagai hakim konstitusi melalui proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Lembaga yang seharusnya berfungsi sebagai pengontrol eksekutif ini sejak era reformasi punya fungsi lain, ikut terlibat dalam pemilihan pejabat publik. Mulai dari hakim MK, Gubernur Bank Indonesia (BI), duta besar, hingga komisioner negara, tak terkecuali komisioner KPK, mereka ikut terlibat memilih.

DPR tak hanya punya fungsi penganggaran dan legislasi. DPR juga ikut menentukan siapa menjadi apa dalam struktur kenegaraan Indonesia. Di sisi lain, tidak murah ongkos menjadi anggota DPR.

Wakil Ketua DPR Pramono Anung dalam disertasi doktoralnya menyebutkan, penerapan sistem proporsional terbuka dalam pemilu legislatif dikhawatirkan meningkatkan biaya politik. DPR akan dipenuhi orang yang mengandalkan popularitas atau dukungan finansial ketimbang kader yang berkontribusi dengan membesarkan partai. Politikus PDI-P ini pun berani menyimpulkan, potensi penyelewengan kekuasaan anggota DPR menjadi terbuka dalam sistem pemilu seperti sekarang.

Salah satu potensinya muncul dalam kewenangan DPR menentukan pejabat publik. Masih ingat dalam benak bangsa ini, puluhan anggota DPR periode 1999-2004 masuk bui karena menerima cek perjalanan seusai memilih Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior BI.

Selain pemilihannya dicurigai penuh suap, pejabat yang dihasilkan pun cacat. Akil hanya salah satunya. Miranda masih menjalani hukuman. Dalam daftar tangkapan KPK, selain Akil dan Miranda, ada beberapa pejabat publik lain yang dipilih DPR dan harus dipenjara karena korupsi. Ada anggota Komisi Yudisial, Irawady Joenoes, yang ditangkap KPK saat menerima suap dari pengusaha dan anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha, M Iqbal. Ini belum termasuk anggota DPR dan pejabat pemerintah yang tertangkap tangan ataupun yang dalam penyidikan KPK terlibat korupsi. Daftarnya bisa makin panjang.

Pola dan tren korupsi

Ongkos mahal menjadi anggota DPR yang sebenarnya tak seimbang dengan pendapatan resmi dari gaji dan tunjangan akhirnya tertutupi dengan korupsi. Mereka yang berhasil menikmati hasil korupsi pun tak jera karena hukumannya di Indonesia masih ringan. Pidana penjara jarang menyentuh hukuman maksimal. Ini belum termasuk potongan masa tahanan.

Harta hasil korupsi belum sepenuhnya bisa dirampas negara. KPK baru mencoba mengombinasikan pidana penjara dengan penyitaan aset dan harta kekayaan koruptor dalam dua tahun terakhir. Belum ditambah ketiadaan sanksi sosial di masyarakat. Kita masih permisif untuk tetap berteman dengan tersangka korupsi atau yang sudah divonis sebagai koruptor.

Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengungkapkan, sudah ada tanda, Pemilu 2014 tidak lagi menjadi pesta demokrasi, tetapi ajang perampokan besar-besaran kekayaan negara dan uang rakyat. Mengelaborasi hasil penelitian Pramono dan tren korupsi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, pernyataan Bambang ada benarnya.

”Yang kelihatan, pemilu ini, kan, banyak membutuhkan uang. Kemudian semua orang bergerak untuk mencarinya, terutama mereka yang ingin kembali berkiprah,” kata Bambang.

Tak hanya di pusat, pola tren korupsi di daerah menjelang Pemilu 2014 juga sama. Bambang menyebut ada tiga pola. Pertama, penganggaran bantuan sosial (bansos) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Gelontoran dana bansos dalam jumlah besar tak hanya muncul menjelang pilkada untuk membiayai petahana kembali berkuasa. Dalam pemilu legislatif pun, bansos dalam APBD cenderung naik. Apalagi, DPRD juga terlibat membahas APBD. Dana bansos bisa menjadi ajang bancakan anggota DPRD untuk dibagikan kepada calon konstituennya. DPRD harus diberi imbalan juga karena mereka ikut meloloskan dana bansos besar menjelang pilkada.

Kedua, munculnya proyek mercusuar. Bentuk proyek mercusuar ini bisa berbagai macam, mulai dari pembangunan landmark kota, gedung pemerintahan, hingga proyek infrastruktur lain. ”Kalau ada proyek mercusuar di daerah, kemungkinan ada kompensasi yang diberikan kepada DPRD yang menyetujui anggarannya,” ungkap Bambang.

Ketiga, ada kompensasi dalam pembahasan APBD menjelang akhir tahun 2013. Kompensasi ini diberikan eksekutif kepada DPRD sebagai bekal mereka mempersiapkan diri menjelang Pemilu 2014. ”Pemda dengan DPRD tahu sama tahu. Yang penting lu dapat, gua juga dapat,” ujarnya.

Bambang mengatakan, tren korupsi di pusat menjelang pemilu juga sama. Ada permainan antara legislatif dan eksekutif dalam penganggaran dan pencairannya hingga ke lapangan. Namun, di pusat ada cara-cara yang lebih canggih dan jarang diketahui publik.

Impor dan cukai

Salah satunya adalah perizinan yang berkaitan dengan impor. Bambang mencontohkan, perizinan impor yang rawan korupsi karena di-backing politikus dan aparat adalah impor minuman keras. Modusnya mulai dari penerbitan cukai yang tak sesuai volume impor hingga cukai palsu. ”Dugaan korupsi dalam perizinan impor minuman keras ini melibatkan pejabat pemerintah dan aparat. Ada politikus dan aparat yang terlibat. Bali, daerah yang banyak beredar minuman keras, ternyata enggak mengimpor langsung. Minuman keras di sana didatangkan dari daerah lain,” kata Bambang.

Pola korupsi lain di pusat yang menjadi ajang pengumpulan dana politik adalah program di kementerian yang langsung bersentuhan dengan rakyat. Kementerian yang dipegang politikus dieksploitasi. Bambang mencontohkan program pupuk bersubsidi. Meski di hulu, relatif tak ada permainan kotor. Pengadaan dan penyaluran mungkin dilakukan kementerian dan BUMN secara terbuka. Namun, begitu sampai ke tangan pengedar di lapangan, yang memegang adalah kader partai politik yang satu partai dengan menterinya. ”Trader pupuk ini, ya, dari partai yang sama dengan menterinya,” ucap Bambang.

Cara yang hampir sama terjadi dalam proses kemitraan pemerintah dengan DPR. Hampir di setiap komisi DPR yang berpartner dengan pemerintah pada sektor tertentu ada anggota DPR yang punya usaha di sektor tersebut. ”Misalnya soal urusan haji, pasti ada anggota komisi di DPR yang punya bisnis seperti biro perjalanan haji. Kalau soal kesehatan, pasti ada anggota komisi DPR yang punya bisnis rumah sakit,” katanya.

Ini seolah membenarkan mentalitas pengusaha Indonesia dalam berbisnis. Bagi pengusaha, daripada diperas mending sekalian menjadi anggota DPR.

Tak hanya di daerah, proyek mercusuar di pusat juga rawan korupsi. Proyek Jembatan Selat Sunda, misalnya. Meski didanai swasta, karena pemerintah tetap harus memberi jaminan, pejabat yang berwenang dan DPR yang terlibat dicurigai bakal ikut menikmati kompensasi proyek. Pola seperti ini sudah banyak contoh korupsinya yang kemudian diungkap KPK.

Namun, di tengah perampokan besar-besaran ini, KPK tak punya banyak tenaga. Di daerah, misalnya, KPK hanya mengandalkan koordinasi dan supervisi pencegahan bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). BPKP nantinya punya peranan memberi peringatan kepada pemda dan DPRD soal titik-titik rawan korupsi yang telah mereka awasi bersama KPK.

Sementara di pusat, KPK telah menyelesaikan pemetaan pembahasan dan pencairan APBN yang rawan dikorupsi. ”Kami undang DPR untuk me-review proses bisnis mereka. Kewenangan mana yang rawan korupsi. Di legislasi bolongnya di mana, di penganggaran bolongnya juga di mana,” kata Bambang.

Sekarang tinggal berharap pada kehendak baik pemerintah dan DPR. Apakah mereka mau memperbaiki diri, menjadikan pemilu pesta demokrasi dan membawa perubahan bagi Indonesia lebih sejahtera, atau menjadikannya sebagai ajang perampokan besar-besaran dan makin membuat rakyat tak percaya demokrasi bisa membawa mereka sejahtera. Jika tidak, siap-siaplah menyusul dibui, sebagaimana seharusnya perampok menjalani hidupnya.

**

Jumat, 25 Oktober 2013

Jokowi-Basuki Akan Hangatkan Jakarta

Oleh: SUTTA DHARMASAPUTRA 

SIANG itu, Jalan Sudirman, Jakarta, seperti biasanya dipadati kendaraan. Jalanan macet total karena saat itu jam makan siang. Melawanto (40-an) yang berada di balik kemudi pun harus bersabar mengemudikan taksinya merayap. Sambil memegang kemudi, dia pun bercerita soal Pemilu 2014.

Bukan hanya pengamat, ia pun punya prakiraan politik 2014 versi dirinya. ”Kalau Prabowo nyalon, sih, sepertinya lebih banyak yang pilih Prabowo daripada Wiranto ya, Pak?” ujarnya. ”Tapi, kalau Jokowi (Joko Widodo) jadi nyalon, lebih baik yang lain jangan nyalon deh, bakal buang-buang uang, enggak bakal menang,” ucapnya sambil tertawa.

Melawanto yang tinggal di Jakarta sejak 1992 itu langsung nyerocos menceritakan kekagumannya pada Jokowi. ”Pak Jokowi itu merakyat ya, Pak. Merakyatnya itu bener-bener merakyat, enggak dibuat-buat. Dia merasakan kesulitan kita,” paparnya.

”Kenapa bukan pilih Megawati?” ”Orang justru makin hormat dengan Bu Mega kalau tidak nyalon lagi dan mencalonkan Jokowi, Pak,” jawabnya spontan.

”Kenapa bukan Pak Aburizal Bakrie?” ”Wah, Jakarta takut kerendam lumpur, Pak,” gurau pria asal Tegal itu dengan cepat.

”Pak Jusuf Kalla bagaimana?” ”Pak JK itu pintar, Pak, tapi kayaknya lebih cocok bisnis saja, Pak,” timpalnya tanpa berpikir lama.

”Kalau Jokowi jadi presiden, Jakarta berarti gubernurnya Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) dong?” ”Ahok itu sebenarnya cocoknya Kapolri saja, Pak, karena tegas banget,” timpalnya sambil tersenyum.

Namun, dia pun menambahkan, ada bagusnya juga Jokowi presiden dan Ahok sebagai gubernur agar kebijakan pusat dan Jakarta menjadi selaras. ”Jokowi jadi RI 1, Ahok DKI 1, biar sinkron, Pak. Ahok tetap jadi wakil Jokowi untuk urus Jakarta,” ucapnya. Tak terasa kemacetan terlewati dan harus segera turun dari taksi.

Apa yang diucapkan Melawanto itu tentu bukan penelitian ilmiah yang keabsahannya teruji. Namun, gambaran itu menunjukkan, meski pemilu presiden masih sembilan bulan lagi, rakyat sudah mulai menimbang-nimbang calonnya. Terlebih bagi warga yang hidup di Jakarta yang terbuka luas akses informasinya.

Pemilu yang berbeda

Dinamika politik yang terjadi di Jakarta pada Pemilu 2014 memang berbeda dengan pemilu sebelumnya. Kehadiran Jokowi dan Basuki adalah variabel utamanya. Apabila Jokowi dicalonkan dalam Pemilu Presiden 2014, otomatis menimbulkan pergeseran kekuasaan di DKI Jakarta. Basuki yang saat ini menjadi Wakil Gubernur akan naik ke posisi gubernur DKI, dan DPRD DKI juga harus memilih wakil gubernur DKI baru.

Kondisi ini besar kemungkinan terjadi karena dari berbagai survei menunjukkan, elektabilitas Jokowi jauh mengungguli calon lain. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, partai Jokowi bernaung, meski belum eksplisit mendeklarasikan Jokowi sebagai calon presiden, juga sudah menunjukkan banyak pertanda. Bahkan, simbol pun sudah ditunjukkan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Pada Rapimnas PDI-P, 6 September 2013, Megawati minta Jokowi membacakan tulisan Bung Karno berjudul Dedication of Life di hadapan peserta Rapimnas.

Konsekuensi politik dari pencapresan Jokowi tentu akan menimbulkan kontraksi politik lokal di Jakarta yang paralel dengan kontraksi politik nasional. Ini yang akan membuat Pemilu 2014 jadi lebih menarik dibandingkan pemilu sebelumnya.

Hingga Pemilu Legislatif 9 April 2014, kemungkinan besar partai politik belum definitif menetapkan calonnya untuk maju di Pemilu Presiden 9 Juli 2014. Partai politik kemungkinan baru akan menetapkan calonnya setelah penetapan hasil pemilu legislatif, sekitar 6-9 Mei 2014.

Sampai saat ini, KPU belum menentukan jadwal kapan pendaftaran capres dibuka. Namun, jika mengacu pada Pemilu 2009, pendaftaran dibuka pada 10-16 Mei 2009. Mengingat waktu pendaftaran yang singkat, parpol pengusung Jokowi bisa jadi memastikannya lebih awal. Dikarenakan Jokowi masih menjabat sebagai Gubernur DKI, mereka harus mengantisipasi dinamika politik yang mungkin terjadi di DPRD DKI.

Untuk menggagalkan pencalonan Jokowi, bukan tidak mungkin sejumlah fraksi di DPRD melakukan penjegalan. Terlebih, Fraksi PDI-P merupakan fraksi minoritas, hanya mempunyai 11 kursi dari total 94 kursi. Kursi terbesar diduduki Fraksi Demokrat 32 kursi. Kedua terbesar Fraksi Partai Keadilan Sejahtera 18 kursi.

Setelah itu baru diikuti fraksi lain, yaitu Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan masing-masing 7 kursi, Partai Gerindra 6 kursi, Partai Amanat Nasional, Partai Hanura, dan Partai Damai Sejahtera masing-masing 4 kursi, serta Partai Kebangkitan Bangsa 1 kursi.

Prijanto, Wakil Gubernur DKI Jakarta semasa Fauzi Bowo, pernah mengalaminya. Pengunduran dirinya sempat digantung tiga bulan. Pada akhirnya, DPRD pun menolak pengunduran diri Prijanto. Apabila hal ini terjadi pada Jokowi, bisa mengganjalnya maju di Pilpres 2014.

Terkecuali Jokowi mengambil langkah berhenti, bukan mengundurkan diri seperti yang dilakukan Prijanto, DPRD tidak bisa membendungnya karena tidak harus dengan persetujuan DPRD.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 29 Ayat (3) menyebutkan, Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) Huruf a (meninggal dunia) dan Huruf b (permintaan sendiri) serta Ayat (2) Huruf a (berakhir masa jabatan) dan Huruf b (tidak dapat melaksanakan tugas berturut-turut selama 6 bulan) diberitahukan oleh pimpinan DPRD untuk diputuskan dalam Rapat Paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRD. Artinya, DPRD tidak mungkin menghalangi pemberhentian Jokowi.

Persoalan lain yang bisa muncul adalah ada juga keterlibatan Presiden. UU No 42/2008 tentang Pemilu Presiden Pasal 7 menyebutkan, (1) Gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota yang akan dicalonkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus meminta izin kepada Presiden. Faktor ini pun bisa menimbulkan dinamika politik tersendiri. Mengingat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang juga Ketua Umum Partai Demokrat itu juga memiliki calon presiden yang bisa jadi merupakan rival Jokowi.

Konsekuensi lain dari pencalonan Jokowi sebagai calon presiden adalah akan menempatkan Basuki pada posisi gubernur. Sebagai upaya penjegalan, bukan tidak mungkin lawan politik juga akan kembali meniupkan isu sara, seperti yang pernah terjadi pada Pilkada DKI.

Kondisi ini juga akan menempatkan Partai Gerindra pada posisi sulit. Apakah dia harus membela Basuki karena dia kader Gerindra. Pada sisi lain, Gerindra juga harus memuluskan langkah Prabowo untuk menempati posisi RI 1. Sementara ini, lawan terberat Prabowo adalah Jokowi.

Persoalan lain lagi jika Gerindra tidak memiliki tiket untuk mencalonkan Prabowo karena perolehan kursi di pemilu legislatif tidak mencapai 20 persen dan juga tidak mendapatkan dukungan koalisi partai. Apabila itu terjadi, bukan tidak mungkin Gerindra pun akhirnya memasangkan Basuki untuk kembali berduet dengan Jokowi. Apabila itu terjadi, maka DKI pun perlu menggelar pilkada ulang pasca-pilpres. UU No 32/2004 Pasal 35 Ayat (3) menyebutkan, ”Dalam hal kepala daerah dan wakil kepala daerah berhenti atau diberhentikan secara bersamaan dalam masa jabatannya, Rapat Paripurna DPRD memutuskan dan menugaskan KPUD untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak ditetapkannya penjabat kepala daerah”.

Basuki, dalam perbincangan dengan Kompas, pekan lalu, mengakui, suhu politik di Jakarta menjelang Pemilu 2014 memang pasti akan meningkat. ”Pasti makin kencang,” ujarnya.

Meski demikian, lanjutnya, Pemprov DKI juga akan makin kencang merealisasikan program pembangunan. Karena itu, dia yakin masyarakat Jakarta tidak akan banyak terpengaruh gejolak di elite politik. ”Nanti itu, taman-taman kota sudah makin banyak. Bus-bus kota juga sudah makin banyak,” kata Basuki.

DPRD juga tidak mungkin mengganjal program pembangunan di DKI karena APBD sudah disahkan. Kalaupun DPRD akan mengganjal, mereka pun akan berhadapan dengan rakyat. Basuki yakin, kalaupun ada pihak yang meniupkan isu SARA, hal itu juga tidak akan laku dan malah akan kontraproduktif seperti yang terjadi pada Pilkada DKI.

”Jadi, tenang-tenang saja,” ucap Basuki yang terkenal bicaranya ceplas- ceplos tetapi tegas itu sambil tertawa.

Informasi yang diperoleh Kompas dari orang dalam di Balai Kota, Jokowi pun sudah mengantisipasi kemungkinan terjadinya peningkatan suhu politik di Jakarta menjelang pemilu. ”Dia (Jokowi) sudah melakukan pendekatan dengan Polri dan TNI untuk mengamankan Jakarta,” ucapnya.

Kursi DKI 2

Proses pemilihan wagub DKI pasca-pencalonan Jokowi juga akan membawa dinamika tersendiri. UU No 32/2004 Pasal 35 Ayat (2) menyebutkan, ”Apabila terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang sisa masa jabatannya lebih dari 18 (delapan belas) bulan, kepala daerah mengusulkan 2 (dua) orang calon wakil kepala daerah untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD berdasarkan usul partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah”.

Artinya, Basuki sebagai gubernur akan mengusulkan dua nama calon wagub untuk dipilih DPRD berdasarkan usulan dari PDI-P dan Gerindra, yang dalam Pilkada DKI 2013 mengusung pasangan Jokowi-Basuki. Meski demikian, kendati secara fatsun politik, calon wagub itu adalah jatah PDI-P karena menggantikan Jokowi, bukan tidak mungkin Gerindra pun akan berusaha untuk merebutnya. Hal ini bisa terjadi terutama jika hubungan kedua partai itu makin retak akibat pecah kongsi di Pilpres 2014.

Apabila itu terjadi, bukan tidak mungkin kedua partai ini justru akan saling berhadapan untuk menempatkan orangnya di posisi DKI 2. Gerindra akan secara optimal melobi 94 anggota DPRD DKI agar memilih calon wagub yang diajukan Gerindra ketimbang yang diajukan PDI-P. Dengan begitu, kursi DKI 1 dan 2 bisa diraih Gerindra. Pemilihan wagub pun bisa didorong dilakukan secepatnya oleh DPRD saat ini.

Sebaliknya PDI-P pun akan berupaya semaksimal mungkin untuk tidak kehilangan posisi DKI 2 setelah Jokowi maju di pilpres. Upaya yang jauh lebih mudah untuk itu adalah mengundur pemilihan wagub agar bisa dilakukan oleh DPRD hasil Pemilu Legislatif 2014. Mengingat, berdasarkan sejumlah hasil survei, perolehan suara PDI-P di DKI akan menduduki posisi mayoritas.

Melihat sedemikian kompleksnya dinamika politik yang mungkin terjadi di Pemilu 2014, peran elite politik akan menentukan. Apakah mereka akan mendengar suara rakyat dan mengerem ambisi kekuasaannya untuk pemenuhan kepentingan diri dan kelompok masing-masing. Bisa juga sebaliknya, menutup telinga terhadap suara rakyat dan mengumbar nafsu untuk berkuasa dengan menghalalkan segala cara.

Para elite ini yang bisa membuat suhu Ibu Kota menjadi membara atau justru malah menyajikan pesta demokrasi yang hangat dan menarik disaksikan oleh mata dunia. Melawanto dan lainnya yang akan menilai kedewasaan elite politik nanti pada 2014.

**

Jumat, 25 Oktober 2013

KONSTETASI

Momen Penting Menuju Negara Matang Berdemokrasi

Oleh: SUTTA DHARMASAPUTRA

Kompas/Hendra A Setyawan

Politicawave merilis hasil analisis dari media sosial tentang elektabilitas calon presiden dalam Pemilu 2014 di Jakarta, Selasa (24/9). Dari sekitar empat juta percakapan di media sosial tentang topik calon presiden, sebanyak 60 persen membicarakan Joko Widodo, diikuti Dahlan Iskan (7 persen), Megawati Soekarnoputri (5 persen), Hatta Rajasa (5 persen), dan Gita Wirjawan (4 persen).

SUATU pagi, seorang rekan bercerita. Teman bosnya yang sama-sama warga Perancis baru saja memutuskan untuk menjual rumahnya di Jakarta dan Bali. Padahal, dia sudah tinggal di Indonesia sekitar 20 tahun. Dia tidak yakin situasi tahun 2014 kondusif karena Indonesia akan menggelar pemilihan umum. Dia memilih pindah ke Madagaskar.

Perasaan khawatir memang pasti muncul di banyak orang. Tahun 2014 merupakan tahun politik. Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) digelar 9 April 2014.

Pada tahun yang sama, pemilu presiden juga digelar. Pemilu presiden putaran I dijadwalkan 9 Juli 2014 dan putaran II kemungkinan 9 September 2014. Dengan demikian, praktis, sembilan dari 12 bulan di tahun 2014 akan diwarnai pertarungan politik.

Pertarungan politik akan ”panas” karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menjabat pemerintahan selama dua periode. Undang-Undang Dasar 1945 hanya membatasi kekuasaan presiden hanya dua periode.

Politikus yang akan bertarung juga jauh lebih besar jumlahnya. Berdasarkan daftar calon tetap di Komisi Pemilihan Umum, tercatat ada 6.607 politikus yang akan memperebutkan 560 kursi DPR. Sebanyak 945 orang akan memperebutkan kursi DPD. Belum lagi ratusan ribu politikus yang memperebutkan kursi DPRD provinsi ataupun DPRD kabupaten/kota.

Jumlah kursi yang diperebutkan dalam Pemilu 2014 jauh lebih banyak daripada Pemilu 2009. Kursi DPRD Provinsi yang diperebutkan tahun 2014 adalah 2.137, sementara tahun 2009 berjumlah 2.008 kursi. Kursi DPRD kabupaten/kota juga bertambah dari 16.345 tahun 2009 menjadi 17.560 tahun 2014. Pertambahan kursi di tingkat provinsi, yang signifikan, misalnya, terjadi di DKI Jakarta, yang mencapai 25 persen. Sementara itu, di tingkat kabupaten/kota dari total 497 kabupaten/kota, penambahan kursi terjadi di 179 kabupaten/kota.

Penambahan kursi DPRD yang mencapai belasan ribu di seluruh Indonesia ini praktis membuat pertarungan politik menjadi hiruk-pikuk di daerah dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.

Area pertarungan juga meluas dan merata di seluruh wilayah. Pertarungan perebutan DPR tersebar di 77 daerah pemilihan (dapil), pertarungan perebutan kursi DPRD provinsi tersebar di 259 dapil, sedangkan perebutan kursi DPRD kabupaten/kota tersebar di 2.117 dapil. Ditambah lagi pertarungan calon anggota DPD yang tersebar di 33 provinsi.

Uang yang akan digelontorkan untuk pelaksanaan pemilu pun luar biasa besar. Pemerintah pusat sudah mengalokasikan Rp 16 triliun untuk pelaksanaan Pemilu 2014. Belum lagi anggaran yang dikeluarkan pemerintah daerah. Para kandidat yang akan bertarung pun tidak akan segan mengeluarkan uang demi meraih kemenangan.

Wakil Ketua DPR Pramono Anung dalam disertasinya menyebutkan, biaya kampanye yang dikeluarkan seorang calon anggota DPR rata-rata Rp 1,2 miliar-Rp 2 miliar per orang. Pada Pemilu 2014, biaya ini dipastikan nilainya akan jauh lebih besar lagi. Berarti, jika nilainya masih sama besar dengan Pemilu 2009, jumlah uang yang akan digelontorkan 6.607 caleg yang akan memperebutkan kursi DPR mencapai Rp 7,9 triliun hingga Rp 13,2 triliun. Jumlah ini belum termasuk uang yang digelontorkan calon anggota DPRD provinsi maupun kabupaten/kota yang jumlahnya ratusan ribu, yang masing-masing mengeluarkan uang Rp 100 juta hingga Rp 300 juta per orang.

Perebutan kursi istana

Mereka yang berambisi merebut kursi RI-1 dan RI-2 sudah pasti lebih banyak lagi menggelontorkan uang. Pengusaha Sofjan Wanandi memprediksi, uang yang dikeluarkan salah satu pasangan Pilpres 2009 ada yang menghabiskan sedikitnya Rp 3 triliun.

Pasangan calon presiden-wapres di Pemilu 2014, secara kuantitas, jumlahnya memang tidak akan jauh berbeda dengan Pilpres 2009. Mengingat, persyaratan bagi parpol untuk mengajukan pasangan calon masih sama dengan Pilpres 2009, yaitu memperoleh 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional. Dengan persyaratan itu, diprediksi hanya ada tiga pasang capres/cawapres, maksimal hanya akan ada empat pasang calon.

Kondisi ini serupa dengan yang terjadi pada Pilpres 2009. Saat itu, ada tiga pasang capres, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto, dan Jusuf Kala-Wiranto. Pada Pemilu 2014 nanti, diduga juga hanya akan muncul tiga pasang calon.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi, misalnya, memprediksi tiga pasang yang akan muncul adalah Joko Widodo-Jusuf Kalla, Prabowo-Hatta Rajasa, dan Aburizal Bakrie-Pramono Edhie Wibowo. Sejumlah politisi pun membenarkan besarnya peluang pasangan-pasangan itu.

Namun, ada juga yang memasangkan Jokowi dengan Mahfud MD atau Jokowi dengan Gita Wirjawan. Pasangan-pasangan ini dianggap masih sangat cair karena menunggu hasil Pemilu Legislatif 9 April 2014. Partai yang perolehan suaranya terbesar di pemilu legislatif pasti akan menempatkan calonnya di posisi nomor 1, sedangkan mitranya harus rela di posisi nomor 2.

Sebelum 9 April, semua calon pasti akan call tinggi untuk meraih posisi nomor 1. Paling tidak, hingga kini pun, sudah ada 17 nama yang berambisi meraih posisi RI-1. Mereka adalah Aburizal Bakrie, Ali Maskyur Musa, Anis Baswedan, Dahlan Iskan, Endriartono Sutarto, Gita Wirjawan, Hatta Rajasa, Irman Gusman, Joko Widodo, Jusuf Kalla, Mahfud MD, Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Pramono Edhie Wibowo, Rhoma Irama, Suryadharma Ali, dan Wiranto.

Hingga 9 April, mereka pasti akan berjuang mati-matian mendongkrak partai masing-masing agar bisa mendapat tiket untuk bertarung di Pilpres 2014.

Hadirnya empat tokoh militer juga pasti akan memberi warna tersendiri pada pilpres kali ini. Dari sisi kuantitas, jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan pilpres sebelumnya. Pada Pilpres 2009, hanya ada tiga orang dari kalangan militer, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono, Wiranto, dan Prabowo. Sementara itu, di Pilpres 2014, setidaknya, hingga April 2014 nanti, ada empat tokoh militer yang akan bertarung habis-habisan. Mereka adalah Prabowo, Wiranto, Pramono Edhie, dan Endriartono.

Endriartono dan Wiranto, keduanya mantan Panglima TNI. Sementara itu, Prabowo Subianto dan Pramono Edhie adalah mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD), dan keduanya mempunyai hubungan dekat dengan keluarga Istana. Prabowo adalah menantu dari presiden ke-2 RI, Soeharto. Adapun Pramono Edhie adalah adik ipar dari presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Prabowo dan Wiranto juga sudah berupaya merebut kursi presiden sejak Pemilu 2004. Dengan demikian, keduanya pasti tidak akan menyia-nyiakan kesempatan di Pemilu 2014.

Pemilu yang krusial

Kondisi itu semua yang membuat tahun 2014 akan menjadi sangat kuat diwarnai tarik-menarik kepentingan politik. Kondisi politik dalam negeri dipastikan akan menjadi dominan memengaruhi berbagai sendi kehidupan di negeri ini dibandingkan dengan aspek lain. Politik akan menjadi ”panglima”.

”Suhu politik, sudah barang tentu, makin bereskalasi,” istilah Gubernur Kalimantan Tengah Teras Narang dalam perbincangan dengan Kompas, pekan lalu.

Semua pihak yang berkepentingan akan berusaha ”tebar pesona” untuk mencari dukungan. Sebaliknya juga akan berupaya keras menjatuhkan lawan politik untuk memecah dukungan. Karena itu pula, setiap kepala pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, harus berupaya lebih keras memastikan agar program-programnya berjalan lancar terutama yang terkait anggaran 2014. ”Bersyukur, komitmen legislatif dan eksekutif di Kalteng cukup baik, dan hal ini sangat membanggakan karena legislatif tak terpengaruh dengan pemilu legislatif,” kata Teras.

Kunci utamanya, lanjut Teras, adalah adanya komunikasi yang baik dan berupaya agar setiap program bisa ditujukan dan dirasakan langsung seluruh rakyat. Harmonisasi legislatif dan eksekutif harus terus terjaga, dan di sinilah diperlukan kepemimpinan yang melayani.

Sofjan bahkan menilai, Pemilu 2014 merupakan pemilu yang sangat penting. ”Pemilu 2014 itu the most crucial election,” ujarnya, beberapa waktu lalu. Menurut dia apabila pemilu kali ini berjalan lancar dan bisa melahirkan pemimpin yang tepat akan membawa bangsa ini menjadi bangsa yang besar.

Jack Snyder dalam bukunya From Voting to Violence menyebutkan bahwa salah satu ciri sebuah negara yang sedang menuju demokrasi (democratizing states) bertransisi menjadi negara yang demokrasinya matang (mature democracies) biasanya terjadi setelah dua kali pergantian kekuasaan.

Indonesia yang sejak 1998 menjalankan pemerintahan yang lebih demokratis, setelah hampir 30 tahun di bawah rezim otoriter, berarti seharusnya juga saatnya untuk bertransformasi dari negara yang sedang menuju demokrasi menjadi negara yang matang berdemokrasi.

Meski demikian, Snyder yang sudah meneliti demokrasi di banyak negara itu juga mengingatkan bahwa tidak gampang menegakkan negara demokrasi yang stabil dan cinta damai. Diperlukan sejumlah prasyarat untuk mencapai itu, seperti partisipasi yang luas, pembatasan kekuasaan eksekutif, kebebasan berbicara, dan penghormatan terhadap kebebasan sipil, termasuk hak-hak minoritas.

Mencermati pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta yang terjadi setahun lalu dan berjalan sukses, tanda-tanda adanya kedewasaan warga untuk berdemokrasi secara damai sudah tampak. Partisipasi dan antusiasme warga saat itu sangat besar kendati kebebasan berbicara sempat mengarah tanpa kendali dan menyulut isu SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan). Ternyata, warga juga semakin banyak yang sadar dan tidak terpancing. Begitu KPU DKI Jakarta menentukan hasil pilkada, pemenang langsung mendatangi yang kalah, sebaliknya yang kalah langsung memberikan ucapan selamat kepada pemenang.

Apabila Jakarta yang merupakan ibu kota negara ini dijadikan barometer politik nasional, boleh jadi ini pertanda baik yang harus terus dijaga dan dikembangkan hingga Pemilu 2014 nanti. Terlebih, meski ada 12 partai politik yang akan bertarung, semuanya pun berasaskan sama, yaitu Pancasila. Kesamaan asas ini, bila bukan lips service, tentunya bisa mempersatukan semua pihak yang akan bertarung di 2014.

Oleh karena itu, tahun 2014, meskipun tahun pertarungan politik, semoga bukanlah tahun yang penuh pertarungan untuk saling menghancurkan, tetapi hanya kompetisi untuk melakukan yang terbaik dan bisa mempersatukan bangsa ini. Pemilu 2014 adalah momentum bagi negeri ini untuk menjadi negara yang matang berdemokrasi. (osa/nwo)

**

Jumat, 25 Oktober 2013

kepala daerah

(Kembali) Jalan Sendiri-sendiri

SALAH satu hal yang hampir dapat dipastikan di Republik Indonesia pada akhir 2014 adalah hadirnya presiden baru. Konstitusi yang membatasi jabatan presiden maksimal dua periode membuat Susilo Bambang Yudhoyono mengakhiri jabatannya sebagai presiden pada 20 Oktober 2014.

Kepastian adanya pergantian presiden, makin menghangatkan perbincangan tentang Pemilu 2014 yang sebelumnya telah diisi dengan perebutan kursi parlemen. Apalagi, sampai sekarang belum ada tokoh berikut mesin politiknya yang dipastikan akan menggantikan Yudhoyono. Sejumlah kemungkinan masih dapat terjadi.

Kondisi ini membuat sejumlah tokoh dan partai politik sibuk menyusun strategi dan menghitung berbagai kemungkinan untuk menghadapi pergantian presiden di 2014. Kepentingan mempertahankan dan menambah kekuasaan politik menjadi pertimbangan utama.

Situasi ini antara lain membuat pengelompokan ulang kekuasaan politik. Setiap calon atau partai politik akan berusaha menata ulang posisi politiknya. Pihak yang dinilai paling berpeluang memenangi Pemilu 2014 akan semakin banyak didekati dan disapa, demikian sebaliknya.

Langkah serupa juga akan dilakukan kepala daerah. Mereka semakin sibuk memperhatikan kekuatan politik yang selama ini mengitarinya. Kader partai politik yang menjadi kepala daerah akan semakin loyal kepada partai jika partainya punya harapan cerah di Pemilu 2014. Sebaliknya, kepala daerah akan lari ke partai lain jika partainya tak cukup memberikan pengayoman.

Langkah politis juga akan dilakukan kepala daerah yang berasal dari jalur independen. Langkah itu dibutuhkan karena salah ”berpihak” dalam Pemilu 2014 dapat membawa sejumlah konsekuensi. Mulai dari terhambatnya karier politik hingga kemungkinan ”kriminalisasi” atas jabatannya.

Dalam kondisi ini, posisi Partai Demokrat akan amat menentukan. Jika partai itu dapat menaikkan elektabilitasnya dan bahkan kembali memenangi pemilu, kontrol mereka terhadap pemerintahan, baik pusat maupun daerah, seharusnya akan tinggi. Pasalnya, mereka yang telah bergabung dengan partai itu akan enggan mengubah posisi politik. Demikian sebaliknya.

Namun, dari sejumlah survei, posisi Partai Demokrat cenderung di bawah Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Partai Demokrat juga belum memiliki calon yang diprediksi akan memenangi Pemilu Presiden 2014.

Ketidakpatuhan daerah

Tak adanya perubahan radikal atas hasil survei itu tidak hanya dapat mengurangi kemampuan kontrol pemerintah pusat yang notabene milik Partai Demokrat terhadap pemerintah daerah. Namun juga berpotensi memunculkan ketidakpatuhan sejumlah kepala daerah terhadap pemerintah pusat. Tindakan itu terutama akan dilakukan kepala daerah yang bukan kader Partai Demokrat atau anggota koalisi pemerintahan Presiden Yudhoyono secara umum.

Ketidakpatuhan ini dapat semakin terasa dan berani dilakukan jika ternyata Partai Demokrat kalah di pemilu legislatif, April 2014, dan kemudian kalah di pemilu presiden. Saat itu, kepala daerah akan makin intensif merapat ke kekuatan politik baru yang memenangi pemilu. ”Menyerang” kekuatan lama yang akan berakhir, berpotensi dipakai sebagai upaya mendekat ke kekuatan baru.

Langkah ketidakpatuhan ini terutama akan dimanifestasikan secara simbolik. Misalnya dengan mengabaikan kunjungan pejabat kementerian tertentu ke daerah, atau mengkritik kebijakan pemerintah pusat secara terbuka lewat media.

Saat ini, tindakan itu mulai terlihat. Misalnya dalam sikap kritis sejumlah kepala daerah, seperti Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, atas kebijakan mobil murah dan ramah lingkungan. Jokowi dan Ganjar merupakan kader PDI-P.

Pertengahan 2013, sejumlah kepala daerah juga sempat menolak menyalurkan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Alasannya, seperti disampaikan Ganjar, program itu merupakan urusan pemerintah pusat. Kepala daerah tidak dilibatkan dan tidak diberi data soal program.

Jika melihat alasan penolakan Ganjar di atas, maka ketidakpatuhan terhadap pemerintah pusat juga dapat dipicu faktor yang lebih dalam, yakni stereotip pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat yang dinilai sering tidak konsisten dan berjalan dengan kebijakannya sendiri. Daerah merasa dianaktirikan.

Selama ini, pemerintah pusat beberapa kali terlihat kesulitan menghadapi ketidakpatuhan ini. Ini, misalnya, dari reaksi pemerintah pusat yang cenderung lambat menangani masalah, seperti munculnya peraturan daerah bernuansa agama atau konflik horizontal dengan berbagai sebab. Padahal, hukum dan keamanan menjadi domain pemerintah pusat.

Sulit bergerak

Dengan demikian, beralasan jika Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan, pemerintahan akan sulit bergerak saat Pemilu 2014. Banyak kebijakan yang sulit dijalankan karena kendala koordinasi. Birokrasi juga dapat terancam terseret kepentingan politik kendati semestinya aparat birokrasi sudah memahami tugas dan tanggung jawabnya.

Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Ryaas Rasyid menuturkan, sejak Orde Baru berakhir, sebenarnya pemerintah sudah cenderung berjalan sendiri-sendiri. Kebijakan antar-kementerian, atau antara pemerintah pusat dan daerah, sudah beberapa kali berbeda.

Namun, hal ini diyakini tidak akan membuat pemerintah lumpuh. Kegiatan rutin tetap berjalan seperti biasa. Namun, tidak ada lagi terobosan yang akan dilakukan pemerintah.

Kondisi ini yang diduga akan terjadi sepanjang 2014. Saat presiden baru dilantik pada Oktober 2014, kondisi diduga juga belum berubah. Pasalnya, pada saat itu, elite politik masih disibukkan dengan politik, seperti konsolidasi kekuatan.

Namun, tenang saja. Selama ini kita melihat rakyat sudah biasa berjalan sendiri. (INA/ATO/WHY/NWO/RYO)

**

Jumat, 25 Oktober 2013

 Hak Asasi Manusia

Kejahatan HAM Jadi Mainan Politik

Oleh: IWAN SANTOSA dan ILHAM KHOIRI 

PENGHARGAAN dan perlindungan hak asasi manusia dianggap barang usang. Terjadi pembiaran pelaku kekerasan serta impunitas terhadap pelaku pelanggaran HAM masa lalu. Ratifikasi konvensi internasional dan upaya penegakan HAM yang seolah-olah dijalankan pun justru digunakan sebagai mainan tawar-menawar politik.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia telah membuat rekomendasi terkait dengan pelanggaran HAM berat pada masa lalu, seperti peristiwa 1965-1966, kerusuhan Tanjung Priok, kerusuhan Mei 1998, dan operasi militer di Papua, yang semuanya tidak dituntaskan pemerintah karena menemui jalan buntu di Kejaksaan Agung.

Kasus lain, menurut komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution, sudah diproses hukum, tetapi hasilnya tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Semisal pembunuhan pejuang HAM, Munir bin Thalib, yang hingga kini dalang dari pembunuhan berencana tersebut tidak terungkap. Bahkan, terpidana Pollycarpus mendapat keringanan dari Mahkamah Agung dalam peninjauan kembali yang diputuskan awal Oktober 2013.

Maneger Nasution menilai kasus berat itu akan sulit dituntaskan karena bergantung pada komitmen Kejaksaan Agung. Sementara Kejaksaan Agung sulit bertindak tanpa dukungan tegas Presiden Republik Indonesia.

Anggota Komisi III DPR, Eva Kusuma Sundari, mengingatkan, dibutuhkan jiwa Presiden yang negarawan yang bisa menuntaskan kasus berat pelanggaran HAM pada masa silam yang terus menjadi beban bagi korban dan merusak citra Indonesia.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar menyayangkan kondisi ini. Pemerintah Kerajaan Belanda, bekas penjajah Indonesia, saja berani meminta maaf atas kekerasan dan kejahatan perang dalam periode 1945-1949. Seharusnya Pemerintah RI yang berdaulat berani menuntaskan kasus kejahatan HAM pada masa lalu dan mencegah pembiaran kekerasan atas nama kepentingan kelompok ekstrem terhadap orang yang tidak berdaya dengan dalih perbedaan keyakinan dan lain-lain tanpa kecuali.

Didiamkan negara

Selain kejahatan pelanggaran HAM masa lalu yang tidak kunjung dituntaskan, pelanggaran HAM dan aksi kekerasan kelompok ekstrem juga terus dibiarkan penyelenggara negara dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini akan dijadikan preseden buruk bagi penegakan HAM pada 2014 dan masa mendatang.

Rapor merah HAM saat ini, menurut The Wahid Institute, terlihat jelas dalam pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang mencatat ada 274 kasus selama 2012. Angka tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2009 tercatat 121 insiden, tahun 2010 ada 184 peristiwa, dan tahun 2011 sebanyak 267 kasus.

Direktur The Wahid Institute Yenny Wahid mengungkap fakta dari 274 kasus pada 2012, sebanyak 166 pelanggaran justru dilakukan aparat negara. Tren itu bakal terus meningkat dari tahun ke tahun karena adanya pembiaran oleh pemimpin dan aparat negara.

Bentuk pelanggaran oleh aparat negara meliputi pembiaran, pelarangan pembangunan rumah ibadah, pelarangan kegiatan keagamaan, kriminalisasi keyakinan, pemaksaan keyakinan, dan intimidasi. Pelaku bervariasi dari polisi, satuan polisi pamong praja, TNI, bupati atau wali kota, hingga camat.

Direktur Setara Institute Hendardi menjelaskan, berdasarkan wilayah, kasus pelanggaran intoleransi agama terbesar selama 2012 terjadi di Jawa Barat (76 peristiwa), Jawa Timur (42 peristiwa), Aceh (36 peristiwa), dan Jawa Tengah (30 peristiwa).

Laporan Setara Institute mencatat, dari total 371 tindakan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan, sebanyak 145 kasus (39 persen) adalah tindakan negara yang melibatkan aparat sebagai aktor pelanggar HAM.

Pelanggaran HAM terhadap rakyat kecil yang hak hidupnya dijarah pengusaha-birokrat dan elite politik juga mengemuka. Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Irwan Nurdin menegaskan, hak ekonomi dan sosial masyarakat semakin dikebiri oleh rezim yang berkuasa saat ini serta kemungkinan besar dilanjutkan penguasa hasil Pemilu 2014.

”Harus diingat 70 persen daratan Indonesia adalah kawasan hutan yang memiliki 33.000 desa dan areal seluas 135 juta hektar. Rakyat asli tidak memiliki sertifikat atau alas hak resmi dan justru dianggap liar oleh aparat pemerintah yang berpegang pada beragam izin milik pengusaha besar yang belakangan masuk ke daerah hunian rakyat. Rakyat yang dikriminalisasi karena penegak hukum memakai pendekatan legal-formal, yakni keberadaan selembar surat kepemilikan atau izin resmi,” kata Irwan Nurdin.

Saat ini, rakyat petani hanya memiliki lahan 0,3 hektar per keluarga. Konflik antara rakyat petani dan pemodal besar tidak diselesaikan serta terjadi kerusakan lingkungan yang juga merampas HAM generasi penerus bangsa Indonesia.

Komoditas politik

Mengingat parlemen 2014 akan diisi wajah lama yang saat ini bermain di panggung politik, Manajer Sekretariat Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Oslan Purba mengaku tidak bisa berharap banyak dalam prospek penegakan HAM tahun 2014 pasca-pemilu kecuali terjadi pergantian rezim yang berbeda.

”Karpet merah bagi investor asing dibentangkan dengan pencanangan Master Plan Percepatan Pembangunan Indonesia. Selama ini dengan investor lokal pun masyarakat sudah selalu menjadi korban. Sumber daya Indonesia diobral penguasa untuk kepentingan pemodal asing, seperti pada zaman penjajahan,” kata Purba.

Direktur Program Imparsial Poengky Indarti berusaha berpikir positif dengan menggarisbawahi situasi HAM Indonesia akan membaik pasca-Pemilu 2014 dengan syarat tuntasnya reformasi TNI, Polri, dan badan intelijen. ”Pascareformasi pembelaan HAM tidak saja menyangkut hak sosial politik, tetapi juga hak ekonomi dan sosial,” kata Poengky.

Sampai kini, nama sejumlah mantan petinggi TNI masih tersangkut dalam daftar Serious Crimes Unit Perserikatan Bangsa-Bangsa atas dugaan sejumlah pelanggaran HAM.

Pembelaan HAM pada 2014 akan makin berat dengan akumulasi kasus HAM masa lalu yang tidak dituntaskan, pelanggaran HAM yang terus dibiarkan, dan upaya ”penegakan HAM” yang lebih ditujukan sebagai tawar-menawar antarelite politik yang semakin berusaha membodohi rakyat. (Haryo Damardono)

**

Jumat, 25 Oktober 2013

kepuasan publik

Efektivitas Kabinet dalam Pusaran Tahun Politik

Oleh: C WAHYU HARYO dan A TOMMY TRINUGROHO

PROBLEM utama yang bakal dihadapi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono pada tahun 2014 adalah efektivitas kinerja pemerintah (baca: kabinet) yang diprediksi kian merosot.

Prediksi itu bukan hanya berdasarkan data statistik yang menunjukkan tren penurunan kepuasan publik dan keyakinan publik atas kinerja pemerintah, melainkan juga dimungkinkan terjadi karena faktor tarikan kepentingan yang demikian kuat dalam pusaran kompetisi politik 2014. Sungguh sebuah ironi yang bakal sulit dihindari dalam transisi kepemimpinan bangsa di tengah tantangan ke depan yang kian tidak mudah dihadapi dan ditaklukkan.

Kecenderungan penurunan kepuasan dan keyakinan publik atas kinerja pemerintahan SBY terlihat dalam grafik berikut (data survei litbang yang menunjukkan tren penurunan dari tahun I-IV periode pemerintahan 2009-2014). Penurunan terjadi pada empat indikator yang digunakan, yakni penegakan hukum, kesejahteraan sosial, pemulihan ekonomi, dan stabilitas politik.

Tren penurunan seperti itu juga terjadi pada tahun I-IV pemerintahan SBY periode 2004-2009, terlihat dalam grafik berikut (data survei litbang yang menunjukkan tren penurunan dari tahun I-V periode pemerintahan 2009-2014). Beruntung karena pada tahun kelima, ada rebound dari penilaian publik. Hal ini lebih dipengaruhi sosok SBY yang mencalonkan kembali pada Pemilu Presiden 2009 dan memang lebih populer dibandingkan dengan pasangan calon presiden lainnya.

Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute Hanta Yuda AR menyatakan, tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan SBY tergantung karisma politik SBY. Pada 2009, karisma politik SBY masih kuat dan ia masih bertarung lagi dalam pilpres. Ini berbeda dengan kondisi periode sekarang yang jauh lebih sulit untuk meningkatkan kembali kepuasan publik, salah satunya karena SBY tidak bisa mencalonkan lagi sebagai presiden.

”Bisa menjaga efektivitas kinerjanya tetap stabil itu saja sudah sebuah prestasi,” kata Hanta.

Prediksi penurunan efektivitas kinerja pemerintahan SBY ini diperkuat dengan asumsi konsentrasi kerja menteri parpol pada 2014 yang terpecah karena menjalankan agenda politik. Ada 18 menteri (lebih dari separuh) dari total 34 menteri di kabinet yang berasal dari parpol. Tiga di antaranya ketua umum parpol, sebagian besar pengurus teras di parpol, serta calon anggota legislatif pada 2014. Dengan jabatan strategis di partai itu, mereka tentu mengemban tugas politik untuk memenangi pemilu.

Dua di antara menteri yang juga ketua umum parpol, bahkan digadang-gadang menjadi capres dari partainya. Mereka adalah Menko Perekonomian Hatta Rajasa (PAN) dan Menteri Agama Suryadharma Ali (PPP). Di luar itu, ada dua menteri non-parpol yang mengikuti proses konvensi capres Partai Demokrat, yakni Menteri Perdagangan Gita Wirjawan dan Menteri BUMN Dahlan Iskan.

Kesibukan para menteri menghadapi pemilu tentu membuat mereka tidak bisa 100 persen mengurusi pemerintahan. Ada menteri yang harus memikirkan strategi merebut hati rakyat di daerah pemilihan mereka. Ada menteri yang harus menguras keringat memikirkan cara menaikkan elektabilitas partai mereka. Ada pula menteri yang harus menyisihkan waktu melakukan sosialisasi agar memenangi seleksi capres di sebuah parpol.

Dengan kondisi kabinet seperti itu, menurut Hanta, fokus perhatian menteri bakal terbelah. Hanta menyebutnya sebagai dualisme loyalitas, yakni di satu sisi pada tugas pemerintahan dan di sisi lain pada tugas politik partai.

Banyaknya menteri dari parpol dalam jajaran pemerintahan sulit dielakkan dalam sistem pemerintahan Indonesia yang menganut sistem presidensial, tetapi bercita rasa multipartai. Artinya, konstitusi memang menyebutkan bahwa pemerintahan dibentuk oleh presiden yang memenangi pemilihan umum (presidensial). Namun, pada realitasnya, presiden terpilih tidak bisa seenaknya mengeluarkan kebijakan tanpa bernegosiasi dengan parlemen yang terdiri dari beragam partai.

Prioritas kabinet

Dalam beberapa kesempatan, Presiden SBY sudah wanti-wanti tentang tahun politik dan kemungkinan para menterinya menjalankan agenda politik partainya. Posisi Presiden tidak dalam posisi melarang menterinya menjalankan agenda politik. Ia hanya mengimbau agar menteri lebih fokus pada tugas negara sebagai menteri. Presiden memberikan peringatan, jika menteri tidak mampu membagi waktu, menteri itu dipersilakan mengundurkan diri.

Terakhir, pada Sidang Kabinet tanggal 1 Oktober lalu, Presiden mengimbau menterinya untuk tidak perlu terlalu menanggapi isu-isu politik. Presiden ingin menterinya tetap fokus untuk menjaga perekonomian dan cara bekerja all out. Apabila tensi politiknya sudah sangat tinggi, Presiden sendiri yang akan masuk untuk memberikan penjelasan kepada publik tentang apa yang sedang terjadi.

Kemampuan menteri dalam membagi waktu dan menempatkan skala prioritas untuk menjalankan tugas pemerintahan menjadi kunci utama efektivitas kinerja kabinet. Pada tahun terakhir jabatan itu, porsi kerja menteri untuk pencapaian target-target pemerintah seharusnya jauh lebih besar ketimbang kerja untuk partai.

Persoalan penurunan kinerja pemerintah akibat menteri yang banyak menjalankan agenda politik bisa jadi sudah diantisipasi Presiden SBY. Ini setidaknya terlihat dari penempatan 20 wakil menteri, yang sebagian di antaranya mem-back up menteri parpol.

Meski di situ sudah ditempatkan wakil menteri dalam jumlah cukup banyak, kinerja kabinet bakal terpengaruh jika menteri membawa gerbong kementerian dalam setiap aktivitas politiknya. Di situ ada persoalan penggunaan fasilitas negara dan independensi birokrasi. Dalam konteks ini, profesionalitas birokrat di kementerian dan pelimpahan kewenangan yang tepat kepada pejabat teras birokrasi sangat berpengaruh pada efektivitas kinerja kementerian.

Yusril Ihza Mahendra, mantan menteri pada tiga era presiden, meragukan efektivitas kinerja kabinet bakal stabil, apalagi membaik. Dari pengalaman yang sudah-sudah, makin dekat pemilu, efektivitas kabinet makin berkurang karena konsentrasi pemerintah makin tertuju pada penyelenggaraan pemilu. Hal ini terkait dengan masalah keamanan dan kesibukan seputar agenda pemilu. Apalagi birokrasi di Indonesia juga belum bisa dikategorikan profesional dalam menjalankan perannya.

”Ketika mulai Januari 2014, pemerintah bisa dikatakan seperti pemerintahan demisioner. Pemerintah tidak akan membuat terobosan-terobosan yang baru, langkah-langkah yang baru, sekadar rutin saja karena menyadari tugasnya akan segera berakhir,” katanya.

Bahkan, Yusril berani memprediksi, sejumlah menteri akan mundur untuk menjalankan agenda politiknya. Akibatnya, sejumlah jabatan menteri kemungkinan akan dirangkap oleh seorang menteri.

Faktor kepemimpinan

Persoalan lain, hasil pemilu legislatif perlu juga diantisipasi karena dimungkinkan mengubah peta kekuatan koalisi. Ada yang memprediksi, koalisi yang dibangun SBY secara de facto berakhir saat itu. Seharusnya memang hasil pemilu legislatif tidak banyak berpengaruh pada dinamika koalisi karena Presiden SBY memiliki kontrak politik dengan setiap partai koalisi. Dalam kontrak itu diatur tentang etika koalisi yang menjadi acuan.

Di sini konsistensi penegakan etika dalam kontrak koalisi menjadi kunci. Namun, justru penegakan etika koalisi itu yang diragukan dari Presiden SBY, apalagi jika mengacu pada rekam jejak sikap SBY terhadap ”pembangkangan” partai anggota koalisi.

Hanta berpandangan, Presiden SBY harus berani mengubah pola kepemimpinannya agar tidak tersandera atau terserimpung oleh manuver partai koalisi. Presiden perlu fokus pada kerja kabinet dan fokus pada legasi apa yang ingin ditinggalkan dalam pemerintahannya.

”Jangan terlalu banyak kompromi. Reorientasi pada kualitas dan soliditas koalisi di kabinet. Juga berdayakan betul UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan) untuk mengontrol kinerja menteri,” kata Hanta.

Di luar banyak faktor di atas, yang juga tidak kalah penting dicermati adalah persoalan penurunan kinerja kabinet yang bisa jadi tidak hanya bersumber pada kinerja menteri, tetapi juga dari Presiden SBY sendiri. Tidak dimungkiri, Presiden juga menjadi Ketua Umum Partai Demokrat sekaligus Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat. Posisi strategis ini menuntut Presiden untuk juga memberikan perhatian penuh bagi Demokrat dalam kontestasi Pemilu 2014. SBY memiliki beban yang cukup berat untuk mendongkrak elektabilitas Partai Demokrat, yang dalam sejumlah survei menunjukkan kecenderungan menurun.

Kearifan dan konsistensi Presiden SBY benar-benar diuji dalam hal ini. Ketika ia meminta menteri untuk lebih memprioritaskan dan fokus pada tugas negara, sejatinya tuntutan itu juga tertuju kepadanya. Hal itu terlihat, misalnya, apakah Presiden juga lebih mementingkan untuk berkampanye atau menghadiri kegiatan partai ketimbang menjalankan tugas negara. Dalam hal ini, Presiden SBY dapat menjadi batu penjuru bagi para menteri.

Bisa saja SBY mengambil langkah untuk menyerahkan sepenuhnya kewenangan-kewenangan strategis partai pada struktur partai. Artinya, keberadaannya di Demokrat hanya menjadi simbol untuk menyatukan faksi-faksi di Demokrat kalaupun faksi itu masih ada.

Boleh jadi aktivitas Presiden di partainya tidak mengganggu kinerja pemerintah jika Wapres yang bukan simpatisan parpol dapat konsisten untuk fokus menjalankan pemerintahan. Sayangnya, efektivitas pemerintah di bawah ”kepemimpinan” Wapres juga masih diragukan mengingat selama ini kewenangan memutuskan suatu kebijakan tetap berada di tangan Presiden.

Wapres memang selalu terlibat aktif dalam pembuatan kebijakan, tetapi tetap saja semua yang dirancang Wapres harus menunggu keputusan Presiden. Jika Wapres lebih diberi porsi untuk memutuskan suatu kebijakan, kinerja pemerintah dimungkinkan lebih efektif. Namun, lagi-lagi itu masih perlu melihat dinamika hukum terkait kasus Bank Century yang, diakui atau tidak, selama ini cukup membelenggu Wapres.

Apabila berbagai persoalan di atas tidak diantisipasi, atau minimal disadari oleh pengampu kepentingan, jangan heran jika tahun 2014 bakal hanya menjadi tahun politik, tahun untuk merebut kekuasaan, dan bukan tahun peningkatan kinerja untuk kebaikan negeri. (NWO/FAJ)

**

Jumat, 25 Oktober 2013

Pembangunan Jawa Timur

Menyoal Kesenjangan Wilayah yang Terasa

JALUR jalan Surabaya-Malang melalui Kecamatan Pandaan, Kabupaten Pasuruan, dan Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, belum bebas dari kemacetan. Meski tahun 2012 pemerintah sudah rampung membangun jalur jalan arteri pengganti Jalan Tol Porong yang tenggelam oleh lumpur (Lapindo), ruas ini masih didera oleh kepadatan lalu lintas.

Pemandangan kendaraan yang berjalan merangkak saat jam orang berangkat dan pulang kerja, pagi dan sore hari, serta tumpukan kendaraan pada hari Sabtu dan Minggu sudah berkembang sebagai kelaziman.

Pemerintah sudah mulai membangun jalan tol Gempol-Pandaan dengan anggaran Rp 1,2 triliun mulai 2013, setelah arteri Porong untuk menggantikan ruas tol yang tenggelam oleh lumpur rampung dibuat dengan biaya pembuatan Rp 170 miliar.

Analisis perbandingan keuntungan dan biaya (benefit cost ratio/BCR) yang dibuat mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya menunjukkan, pembangunan arteri menggantikan tol yang kini lenyap ditelan lumpur, mendapati nilai BCR 0,84 atau 84 persen, sehingga dapat dinilai biaya pembuatan arteri itu hampir sebesar manfaatnya. Artinya, nilai kegiatan ekonomi yang setiap kali berlalu-lalang di ruas ini meski penelitian BCR itu dilakukan tanpa perhitungan satuan waktu, tetapi skala ekonomi yang beroperasi di jalur itu relatif hampir sebesar nilai biaya pembuatan arteri.

Koridor ekonomi

Padatnya arus dari wilayah ”tengah” Jawa Timur dari dan ke Malang pada jalan yang terhubung ke ”pesisir” utara di Surabaya itulah yang oleh ekonom Universitas New Castle, Australia (Balanced Development, 1997) disebut sebagai koridor ekonomi Malang-Pandaan-Surabaya.

Keriuhan aktivitas ekonomi di jalur ini mewakili gambar besar arus pergerakan arus ekonomi dari dan ke utara, menuju sistem transportasi tulang punggung Jawa yang sudah terbentuk dari zaman Daendels pada masa kolonial. Koridor Pandaan ini salah satu dari seluruhnya tiga jalur arus pergerakan ekonomi besar sejenis.

Dua lainnya, yakni ruas Surabaya-Mojokerto-Jombang-Kediri, hingga Madiun dan Solo di wilayah barat, serta ruas Banyuwangi-Jember-Probolinggo-Pasuruan, di wilayah timur Jatim.

Howard Dick, ekonom senior Universitas New Castle, Australia, dalam buku tentang ekonomi Jatim, yang masih relevan, menyetarakan posisi strategis geografi koridor ekonomi Malang-Pandaan-Surabaya di Jatim itu dengan Delta Chao Praya di Thailand, Delta Mekong di Vietnam, serta Delta Irawady di Myanmar. Ketiganya merupakan kawasan produksi pertanian padi terbesar dan tersubur di Asia Tenggara.

Buku bunga rampai yang dikerjakan ekonom Australia itu, meski tua, masih layak disebut sebagai babon kajian ekonomi Jatim. Analisisnya hingga ke masa lalu. Pada masa awal pembentukan gugus geografi ekonomi yang mempertemukan dua lembah sungai besar, yakni Sungai Brantas dan Bengawan Solo.

Sama halnya dengan cerita sejarah lama, yang senantiasa melandasi alasan, bahwa kemunculan peradaban selalu terhubung dengan delta atau pertemuan sungai besar. Begitu pula geo-ekonomi pertemuan sungai besar ini pada zaman klasik menerbitkan peradaban besar Singosari dan Majapahit berumur 300 tahun, yang dampak kuasanya berskala pada keseluruhan archipelago Nusantara, bahkan hingga daratan Asia.

Artinya, koridor ekonomi Malang-Pandaan-Surabaya dan secara luas koridor tengah-utara di Jatim ini sudah terpeta sejak masa lampau dan masih amat relevan hingga sekarang.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang Ahmad Erani Yustika mengungkapkan, perbedaan jurang ekonomi di antara pucuk-pucuk koridor itu sebagai soal besar yang menggayuti penampilan (performa) ekonomi Jatim. Penting dibahas selagi Jatim saat ini (2013) baru saja membentuk pemerintahan baru hasil pemilu langsung kedua dalam 40 tahun terakhir.

Ekonomi produksi Jatim sampai saat ini tetap berperan penting sebagai penyangga kebutuhan pangan nasional. Potensi ekonomi terbentang sangat besar. Selain sumber pangan padi, Jatim juga produsen produk perkebunan: kopi (produksi tahunan 50.000 ton dari total nasional 650.000 ton, cokelat (32.000 ton dari total nasional 936.000 ton), tebu (produksi hablur rata-rata tahunan 1 juta ton dari total nasional 2,4 juta ton), tembakau (produksi tahunan 92.000 ton dari total nasional 242.000 ton), serta cengkeh (produksi tahunan 8.000 ton dari total nasional 73.000 ton).

Masalah muncul pada kualitas kependudukan yang diterakan dalam kategori indeks pembangunan manusia (IPM). Erani mengamati kesenjangan IPM antar-wilayah di Jatim, dan membaginya dengan kelompok wilayah ”koridor utara” dengan rerata IPM hanya 65,35, di wilayah pesisir utara dari Lamongan, Tuban, Bojonegoro, dan Ngawi. Koridor lain di selatan (Madiun, Nganjuk, Pacitan, Magetan, Jombang, Kediri, Tulungagung, dan Trenggalek) dengan nilai IPM rata-rata lebih tinggi (72,21), tetapi tetap lebih rendah dibandingkan dengan koridor dominan ”utara-selatan”, yakni Malang, Surabaya, Gresik, Sidoarjo, dan Mojokerto dengan IPM rata-rata tertinggi 73,0.

Koridor timur dengan IPM rendah juga 65,94 menunjukkan kesenjangan nyata, bagaimana garis kemakmuran yang sudah terbentuk bahkan sebelum zaman Daendels, bahwa kemakmuran berada di garis Surabaya-Malang, masih tampak hingga sekarang. Koridor timur ini meliputi Pasuruan, Probolinggo, Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi, dan Jember.

”Peta ini menunjukkan, betapa Pemerintah Provinsi Jawa Timur haruslah memprioritaskan pembentukan infrastruktur sebagai cara terpenting mendongkrak pertumbuhan ekonomi seharusnya berada di ’koridor utara’ di samping ’timur’ dan ’selatan’,” jelas Erani.

Peta kesenjangan IPM yang mestinya menjadi panduan pentingnya memberikan fokus pada pilihan kebijakan ini, ternyata mirip dengan peta distribusi produk domestik regional bruto (PDRB). Kajian yang dibuat lembaga studi Enciety, dikutip Erani, menampakkan gambaran sejenis.

Koridor utara hanya menyumbang PDRB Jatim 10,94 persen, koridor selatan hanya sebesar 21,11 persen, dan koridor timur hanya sebesar 15,22 persen. Padahal, beberapa wilayah saja sepanjang Malang-Surabaya yang disebut koridor utara-selatan menyumbang PDRB hingga separuh Jatim atau 52,7 persen.

”Tujuh daerah di tengah Jatim menguasai lebih separuh PDRB Jatim. Ini gambar kesenjangan yang nyata, dan mestinya menjadi batu penjuru bagi pemerintah baru agar memfokuskan penciptaan infrastruktur tempat lain,” katanya.

Gubernur Jatim Soekarwo di depan warga Muhammadiyah Jatim, tahun 2010, memaparkan, betapa pendekatan kesejahteraan yang ditempuhnya selama ini masih berdasarkan pendekatan sektoral. Berupa, misalnya, penyediaan kredit usaha kecil, upaya mendorong ekspor, dan sejenisnya. Namun, pada kesempatan yang sama, ia juga menjanjikan terbuka terhadap gagasan model penyejahteraan lainnya.

”Pemerintah provinsi akan selalu mendorong untuk mengembangkan inovasi baru, pemikiran, dan model pengembangan ekonomi yang berorientasi kerakyatan lainnya,” kata Soekarwo. (DODY WISNU PRIBADI)

**

Jumat, 25 Oktober 2013

INFRASTRUKTUR

Menanti Sentuhan ”Midas” di Jateng Selatan

Tak salah jika ada pandangan sejumlah pihak yang mengasosiasikan wilayah selatan Jawa Tengah dengan keterbelakangan. Rapuhnya infrastruktur dan akses transportasi pendukung membuat kilau potensi yang dipendam tak mampu terpoles optimal. Membutuhkan sentuhan ajaib mengejar keterlambatan pembangunan wilayah ini dari daerah utara dan timur yang lebih pesat.

Gregorius M Finesso dan Regina Rukmorini

Wakil Gubernur Jateng yang sebelumnya menjabat Bupati Purbalingga, Heru Sudjatmoko, mengakui, pertumbuhan poros kawasan barat-selatan Jateng lebih lambat ketimbang wilayah pesisir utara (Tegal-Semarang-Kudus) dan timur yang bertumpu di Surakarta. Padahal, wilayah ini menyimpan berbagai potensi mulai dari agroindustri, jasa, manufaktur, wisata, kelautan, dan juga pertanian.

Wilayah barat-selatan Jateng membentang mulai dari Purworejo, Kebumen, Cilacap, Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, hingga ke daerah tengah, seperti Wonosobo dan Temanggung. Kendati hingga kini sebagian besar pembangunan masih bersandar pada sektor pertanian, sektor jasa dan industri beberapa tahun terakhir mulai tumbuh pesat di Purwokerto (Banyumas) dan Purbalingga.

Ketua Bidang Ekonomi dan Sumber Daya Manusia Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Banyumas Abdullah Arif Budiman menilai, peluang bisnis di Purwokerto semakin prospektif. Indikator utamanya, terdapat puluhan perguruan tinggi swasta dan negeri dengan jumlah mahasiswa mencapai ratusan ribu orang. Segmen pasar di sektor jasa kian meluas.

Hampir seluruh perbankan membuka cabangnya di wilayah Purwokerto yang perlahan tumbuh menjadi kosmopolitan baru di poros selatan-barat Jateng. Terbukti, data Kantor Bank Indonesia setempat menyebutkan, total kredit yang disalurkan perbankan di eks Keresidenan Banyumas pada triwulan I-2013 mencapai Rp 16,74 triliun. Penyaluran tersebut tumbuh rata- rata 20 persen dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya.

Menurut Abdullah, peluang usaha yang sangat berkembang di antaranya kuliner, perhotelan, dan perdagangan. Hal ini ditunjang oleh lokasi Purwokerto yang sejak lama menjadi kota transit di pertemuan jalur selatan dan tengah Jawa.

Potensi tak terasah

Investasi padat karya juga terus mengalir ke Purbalingga. Perlahan, wilayah yang sempat tersohor sebagai daerah pengekspor pembantu rumah tangga terbanyak di Jateng itu mulai mandiri.

Hingga pertengahan 2013, investasi yang masuk mencapai Rp 116 miliar. Adapun pada tahun 2012, ada 80 investor dengan nilai penanaman modal Rp 342,5 miliar.

Kemunculan investor-investor asing terutama dari Korea Selatan dan Jepang di bidang industri bulu mata dan rambut palsu menyerap sedikitnya 60.000 tenaga kerja lokal. Dampak ikutannya, tumbuh ratusan plasma usaha di sektor sama yang menyuplai bahan setengah jadi ke pabrik-pabrik.

Sementara itu Banjarnegara dan Wonosobo masih mengandalkan sektor pertanian, perikanan budidaya, dan wisata, yakni Dataran Tinggi Dieng. Sayangnya, masuknya wisatawan dan turis ke Dieng tidak begitu banyak berdampak bagi ekonomi wilayah-wilayah di sekitarnya.

Sulitnya akses ke wilayah tersebut membuat banyak wisatawan dari Jakarta atau Surabaya memilih transit melalui Yogyakarta atau Semarang.

Agung Karnadi, salah satu pengusaha Banjarnegara, mengaku, banyak investor, pelancong, dan turis dari kota besar, seperti Jakarta, dan luar negeri malas masuk jauh ke daerah seperti Banjarnegara atau Kebumen karena harus kehilangan waktu sampai berjam-jam.

Mereka harus menempuh waktu hingga 6 jam dari Jakarta ke Purwokerto dengan kereta api, kemudian ditambah jalan darat Purwokerto ke Banjarnegara sekitar 2 jam.

Masih di sektor wisata, perhatian pemerintah terhadap situs-situs bersejarah yang mampu menjadi magnet pelancong dirasa masih minim. Temuan benda purbakala di wilayah Kabupaten Temanggung dan Magelang tak diperhatikan serius.

Salah satu contoh, kurangnya respons pemerintah ini terjadi pada Situs Liyangan di Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung. Sejak ditemukan warga pada
2008, keberadaan cagar budaya di tempat tersebut hingga sekarang masih dalam posisi ”terancam” karena berada di kawasan penambangan aktif.

Hal serupa terjadi di Desa Tirto, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang. Sejak ditemukan pada tahun 2007, lebih dari enam benda purbakala yang ditemukan warga masih dibiarkan teronggok di balai desa setempat, hingga tahun ini. Pemerintah seolah kurang sigap membaca peluang wisata dengan merawat benda-benda purbakala tersebut.

Ancaman pemekaran

Keterbatasan akses transportasi juga menyulitkan distribusi sejumlah potensi pertanian dari wilayah ini. Banyak hasil agroindustri seperti gula kelapa (Banyumas dan Purbalingga) dan juga buah-buahan lokal seperti pepaya, melon, dan semangka (Kebumen) yang tidak mampu dikirim secara cepat kepada para pembeli.

Hal itulah yang menyebabkan Gubernur Jateng yang baru saja dilantik, Ganjar Pranowo, sangat getol memimpin pengembangan Lapangan Udara Wirasaba di Purbalingga milik TNI AU menjadi bandara komersial. ”Bandara ini menjadi kunci membuka wilayah selatan,” ujarnya.

Namun, tidak semua mendukung pengembangan bandara yang diperkirakan Ganjar hanya butuh dana sekitar Rp 100 miliar tersebut. Peneliti transportasi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno, mengatakan akan lebih baik jika Pemerintah Provinsi Jateng membantu rencana pemerintah pusat menghidupkan kembali jalur-jalur kereta api lama. Salah satunya yang melintas dari Banyumas-Wonosobo-Semarang.

Selain itu, sangat penting untuk mempercepat pembangunan jalur lintas selatan-selatan (JLSS). Jalan sepanjang 181,85 kilometer yang menghubungkan Cilacap, Kebumen, dan Purworejo tersebut sangat krusial membuka wilayah yang selama ini bisa disebut terisolasi itu.

Jalan rusak juga menjadi pekerjaan rumah utama. Gara-gara akses infrastruktur yang sulit itu pula, sebagian kalangan di Cilacap bagian barat terus mendengungkan wacana pemekaran. Pemekaran dimaksudkan untuk mengangkat kondisi wilayah yang selama ini dinilai terpuruk dan tertinggal.

Layaknya kisah mitologi Yunani, dibutuhkan sentuhan Raja Midas yang mampu mengubah benda apa pun termasuk yang tidak berharga sekalipun menjadi emas. Jika Ganjar Pranowo mencanangkan tahun 2014 sebagai tahun infrastruktur di Jateng, persoalan ketertinggalan di Jateng selatan harus menjadi komitmen politik.

Kiprah Ganjar yang memiliki akses luas di pemerintah pusat diharapkan membawa angin segar agar banyak program pembangunan diarahkan ke wilayah ini. Sebuah keniscayaan menanti.

**

umat, 25 Oktober 2013

Pertanian di Jawa Barat

Dahsyatnya Daya Juang Petani Jawa Barat

Oleh: CORNELIUS HELMY HERLAMBANG  

PERUBAHAN cuaca kerap mendera ribuan sawah dan menguji kesabaran petani di Jawa Barat. Namun, berbekal ketekunan, sebagian petani mampu hidup berdampingan dengan tantangan alam itu. Ketangguhan petani sepertinya tidak membuat pemerintah lantas belajar dari keteladanan itu. 

Seperti musim kemarau tahun-tahun sebelumnya, Hendra Kribo (52), petani di Kampung Cidahu, Desa Mekarwangi, Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, tidak khawatir musim kemarau akan menghancurkan padi yang ditanamnya sejak sebulan lalu. Air yang mulai surut tidak memengaruhi tanah basah berwarna coklat tua di sawah seluas 500 meter persegi miliknya. Kontras dengan sawah tetangga yang mulai kering berharap air berlimpah.

”Bagi saya ini adalah padi perubahan. Padi ini organik. Tidak butuh banyak air, tetapi bisa berbuah lebih banyak. Selain bisa tanam sepanjang tahun, harga jual padi atau berasnya juga lebih tinggi,” katanya.

Bukan besar kepala bila Hendra mengatakan padi organiknya adalah perubahan. Tidak sekadar membuat petani sejahtera luar biasa, terkikisnya pola pikir keliru selama belasan tahun terakhir membuat mereka lebih bahagia. Tidak hanya petani Tasikmalaya, tapi sejumlah petani dari berbagai daerah lain, seperti Bengkulu, Medan, Palembang, Pontianak, Makassar, hingga Jayapura, juga merasakan hal yang sama.

Organik populer

Budidaya padi organik di Tasikmalaya perlahan menjadi andalan petani Tasikmalaya. Mulai populer sekitar 10 tahun lalu, kini sekitar 8.000 petani di Tasikmalaya beralih pada metode organik, sistem penanaman hemat air tanpa pupuk kimia. Meskipun luas lahan yang digarap petani organik hanya 5.700 hektar dari 49.000 hektar sawah di Kabupaten Tasikmalaya, sekitar 31.000 ton padi organik dipanen petani.

Hasil panen itu tergolong luar biasa. Per sekali panen, 1 hektar lahan organik bisa menghasilkan 8-9 ton padi, jauh lebih besar ketimbang sawah sarat pupuk kimia dengan panen maksimal 5-6 ton per hektar. Dengan harga jual padi bisa tembus hingga Rp 20.000 per kilogram, atau dua kali lipat padi konvensional, jelas membuat petani organik sejahtera.

Hendra mengatakan, bukan perkara mudah meninggalkan kebiasaan konvensional menuju pertanian organik. Lewat beragam diskusi dan pelatihan mandiri, petani mulai dibukakan matanya tentang indahnya pertanian organik.

Salah satu yang krusial adalah mengubah kebiasaan menggunakan pupuk kimia. Relatif lebih mudah didapatkan di toko bahan pertanian, petani yakin pupuk kimia jadi biang keladi lahan sawah semakin menurun produktivitasnya. Tidak mau hal itu memiskinkan mereka, petani sepakat kembali pada warisan nenek moyang menggunakan pupuk organik. Punya kandungan nitrogen dan unsur hara lebih tinggi, pupuk organik lebih ramah lingkungan karena dibuat dari bahan-bahan bukan berbahaya.

”Mayoritas petani organik membuat sendiri pupuk yang terbaik. Ada yang dari sisa buah-buahan, ikan asin, hingga kotoran ternak. Dengan unsur hara yang tinggi, pupuk organik memberikan gizi lebih baik pada padi,” kata Uu Saeful Bahri, petani organik senior Tasikmalaya.

Pembenihan juga dilakukan dengan saksama. Berbeda dengan petani konvensional yang memilih menanam 4-5 benih dalam satu lubang, petani organik hanya menanam satu benih per lubang. Tujuannya memberikan keleluasaan pada benih untuk tumbuh lebih tinggi dan menghasilkan anakan lebih banyak tanpa pesaing.

Sistem pengairan juga ikut ditata. Konsepnya sederhana. Padi bukan tanaman air yang harus selalu direndam air. Padi hanya tanaman yang sangat nembutuhkan air. Selain bisa mencegah kebusukan dan datangnya hama, pola ini juga bisa menghemat penggunaan air, terutama saat musim kemarau datang.

Hasilnya memuaskan. Laris manis untuk pasar dalam negeri, permintaan dari luar negeri sering kali tak terbendung. Dalam sebulan, selalu ada permintaan importir di Malaysia, Arab Saudi, dan Amerika Serikat mencapai 320 ton per tahun. Padahal, petani hanya mampu memenuhi permintaan padi layak ekspor sekitar 130 ton per tahun.

”Di saat pemerintah mengimpor beras, kami justru mengirimkannya ke luar negeri,” kata Uu Saeful Bahri.

Kemandirian petani

Kemandirian petani organik hanya segelintir kesuksesan yang diperjuangkan petani Jabar. Seperti petani organik, semangat yang sama juga terus dipelihara petani tadah hujan asal Kampung Sukasirna, Desa Manggungsari, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya.

Petani Sukasirna memutar otak sendirian menyiasati perubahan alam. Tanpa bantuan pemerintah, mereka swadaya membangun kincir untuk mengalirkan air ke desa mereka. Saat musim kemarau, akibat ketiadaan saluran irigasi, sungai yang lebih rendah dari sawah petani mustahil didapatkan.

Odo (64), petani Manggungsari, mengatakan, untuk mengairi lahan seluas 15 hektar dibutuhkan sebanyak 11 kincir angin. Semua biaya pembuatan kincir dirogoh dari kantong sendiri. Satu unit kincir angin berdiameter 5 meter ini memakan biaya Rp 600.000 untuk pemakaian empat hingga lima bulan. Jauh lebih irit ketimbang menggunakan pompa air yang membutuhkan biaya Rp 3 juta-Rp 4 juta selama empat bulan.

”Sekarang cara kami ini sudah diikuti petani dari Sulawesi dan Papua yang sempat datang kemari dan belajar. Masalah yang dihadapi petani relatif serupa. Sawah tadah hujan milik petani berada di atas aliran sungai dan jauh dari saluran irigasi teknis. Kami bangga cara sederhana ini bisa menjadi inspirasi petani lainnya,” kata Odo.

Atau simak juga kiprah petani kreatif di Desa Ciganjeng, Kecamatan Padeherang, Kabupaten Pangandaran. Di atas lahan seluas 1,4 hektar, mereka tetap bisa panen hingga 6,2 ton per hektar meski sawahnya langganan terendam banjir. Media tanamnya menggunakan bambu dibelah (palupuh) sebagai rakit dan landasan bagi media tanam berupa sabut kelapa, jerami, dan pupuk organik. Media tanam ini bisa naik turun mengikuti ketinggian air.

Meski berhasil, sejumlah kendala tetap membayangi mereka. Dengan ongkos pembuatan rakit bambu hingga Rp 67 juta per hektar untuk masa pakai hingga tiga tahun, jumlah itu masih terlalu tinggi bagi petani. Mereka berharap pemerintah bisa membantu pembiayaan lunak. Bila dana itu cair, mereka yakin bisa mengembalikannya di tahun kedua lewat penjualan hasil panen.

Wakil Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Jabar Entang Sastraatmadja mengatakan, minimnya perhatian pemerintah terlihat dari kebijakan politik dan perundangan khusus petani yang baru selesai dibuat tahun 2013 atau 68 tahun setelah Indonesia merdeka. Sepanjang masa itu, tidak ada aturan hukum yang khusus bisa melindungi kesejahteraan petani. Anggaran pemerintah yang tidak berpihak, minimnya regenerasi petani, semakin sempitnya lahan pertanian, hingga kehidupan mayoritas petani yang selalu miskin merupakan ekses dari ketidakberpihakan itu.

”Petani selalu menjadi kambing hitam kalau Indonesia kekurangan beras, hama terjadi di mana-mana, hingga lonjakan harga bahan pertanian. Di luar itu, inspirasi tentang kemandirian petani tidak pernah diberdayakan. Ini mungkin nasib jadi petani di Indonesia. Selalu dipaksa berjuang sendiri,” katanya.

**

Jumat, 25 Oktober 2013

Harmoni Sosial

Tekad Jawa Timur Pertahankan Sejarah

Oleh: DODY WISNU PRIBADI 

PENGASUH Pondok Pesantren Tebuireng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, KH Salahuddin Wahid, tinggal tak sampai 3 kilometer dari Kecamatan Mojowarno, Kabupaten Jombang. Ini wilayah dengan gambaran yang unik. Sebab, di Mojowarno inilah tahun 1936 komunitas gereja masa itu, zaman pemerintahan kolonial Belanda yang berpayung dalam organisasi Nederlandsche Zending-genootschap atau Persekutuan Gereja Kristen di koloni Belanda, berdiri.

Tahun 1899, Ponpes Tebuireng didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari, yang kelak dikenal sebagai pendiri organisasi massa Islam terbesar dalam sejarah Indonesia, Nahdlatul Ulama, di depan Pabrik Gula (PG) Cukir, Kecamatan Diwek, Jombang, yang bertetangga dengan Mojowarno.

Pernah almarhum KH Abdurrahman Wahid, saat menjabat Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar NU tahun 1990-an, berkisah di depan komunitas pemimpin agama yang bertamu di Ponpes Tebuireng, Mbah Hasyim (panggilan KH Hasyim Asy’ari) mendirikan ponpes itu di Diwek karena ingin berada di depan PG Cukir. Pada zaman itu, PG Cukir amat berkuasa sebagai salah satu pusat produksi gula, komoditas terpenting pada zamannya. Representasi dari kuasa global dan lokal ekonomi kolonial.

Kedekatan Mojowarno dengan Diwek dengan demikian adalah hubungan bertetangga. Bukan karena persaingan syiar agama. Salahuddin, yang kini memimpin Ponpes Tebuireng, menjelaskan, ”Hubungan antara Mojowarno dan Diwek tidak bisa disebut hubungan bertetangga lagi. Sebab, komunitas santri di Tebu Ireng yang jumlahnya ribuan dan lebih dari 200 pondok pesantren lainnya sewilayah Jombang sama-sama seperti penduduk asli Jombang dengan komunitas Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Mojowarno dan Mojoagung.”

Ia melanjutkan, ”Tahun 1970-an, Rumah Sakit GKJW Mojowarno salah satu tujuan utama warga Jombang dan santri Tebuireng untuk berobat. Bulan lalu saat ada pendeta yang meninggal di Mojowarno, kami datang
ke GKJW untuk takziah (melayat).”

Ramadhan 2013, istri almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ny Shinta Nuriyah, mengawali aksi safari sahur bersama warga yang sudah menjadi kebiasaannya selama bertahun-tahun di halaman GKJW. Pemimpin GKJW pasamuwan (komunitas) Mojowarno, Pendeta Wibo Saksono, memimpin penyambutan dengan doa secara Kristen Protestan berbahasa Jawa halus yang mengharukan. Suasana pertemuan itu kian syahdu karena diiringi gending pepujian dari paduan suara gereja dan gamelan Jawa.

Jatim dengan demikian merupakan lokus penting dalam sejarah pluralisme. Lokasi berdiri, tumbuh, dan besarnya organisasi NU yang pernah menjadi partai politik besar pada Pemilu 1955 dan 1971. Santri NU tumbuh di tengah sejarah berdirinya gereja Kristen di Jawa.

”Bahkan, Mbah Sadrah (pendiri Gereja Kristen Jawa/GKJ), yang dikenal sebagai kiai kristen dalam sejarah awal kristenisasi Jawa pada masa kolonial, pernah berguru di Mojowarno. Apakah ada interaksi antara Mbah Sadrah dan Tebuireng? Bisa saja, meskipun kami tak mempunyai buktinya,” kata Salahuddin yang biasa dipanggil Gus Sholah.

Risiko laten

Perjalanan Jatim dalam waktu selanjutnya terbukti tak terus-menerus menjadi tempat lahirnya medan harmonisasi di antara kelompok keyakinan berbeda. Tidak sekali dua peristiwa dan ketegangan di antara kelompok keyakinan meski tidak selalu penyebabnya semata-mata karena perbedaan keyakinan. Contoh paling mutakhir, tentu terusirnya ratusan warga Kabupaten Sampang, Madura, yang dipahami sebagai penganut keyakinan Syiah.

Berbagai konflik berlandaskan keyakinan sudah jamak dipahami sebagai jembatan dari masalah yang lebih besar. Munculnya aksi terorisme yang dilakukan kelompok pemuda asal Kabupaten Lamongan pada 2005 di Bali, pembakaran sejumlah gereja di Kabupaten Situbondo tahun 1998, hingga pengusiran komunitas Syiah di Sampang, hanyalah beberapa contoh. Masalah lebih besar, yang sering disebut, adalah kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan warga di provinsi ini.

Jika menilik kasus Sampang, menurut anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia, Dr Albert Hasibuan, saat berkunjung ke Sampang, September lalu, pihaknya melihat potensi pengalaman penyelesaian konflik kasus itu dapat dijadikan model penyelesaian konflik. Ini mengingat konflik, khususnya konflik horizontal, telah menjadi risiko laten atas cara hidup bersama di antara demikian banyaknya ragam perbedaan di antara warga di Indonesia. Bahkan, yang sekeyakinan agama sekalipun terbukti bisa mengalami konflik beda keyakinan.

Jika benar akhirnya warga Syiah di Sampang bisa pulang dan kembali hidup normal di kampung halamannya, di Desa Bluuran, Kecamatan Karang Penang, dan Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Madura, pindah dari tempat pengungsiannya di Rumah Susun Puspa Agro di Jemundo, Kabupaten Sidoarjo, model penyelesaiannya bisa ditiru oleh negara. Konflik horizontal diselesaikan secara damai.

Albert mengakui, meski ada perbedaan pada kasus konflik, penyelesaian kasus semacam ini bisa menggunakan keterampilan yang sudah dikerjakan oleh tim di Sampang yang dipimpin Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, Surabaya, Prof Dr Abd A’la. Negara dan Pemerintah Provinsi Jatim amat menghargai proses demi proses yang dilakukan tim.

”Pemulangan pengungsi Sampang dari tempat penampungannya memerlukan keputusan yang berhati-hati dan bijaksana serta dipertimbangkan dengan mendalam. Itu perlu dilakukan agar jika keputusan untuk pulang ke desanya di Sampang dilakukan, potensi konfliknya sudah benar-benar diredam. Pemahaman sosial masyarakat setempat untuk hidup berdampingan bersama dalam perbedaan keyakinan sudah benar-benar ditumbuhkan,” kata Albert.

Abd A’la menjelaskan, terhadap kasus Sampang dan mungkin masalah sejenis, tak ada sebuah tindakan tunggal yang bisa ditempuh. Menurut dia, yang dilakukannya adalah membangun dialog sedalam mungkin. Sebab, upaya merukunkan kembali kelompok bertikai ini hanya memiliki jalan keluar yang amat terbatas, yakni memulangkan kembali para pengungsi ke rumahnya semula.

Bagaimana menemukan pola hubungan harmoni di antara kelompok yang pernah tegang, dan bahkan pernah memakan korban jiwa, adalah problem paling sulit. Problem pasca-pemulangan itulah yang kini diupayakan dengan seluruh upaya yang ada.

Apakah Jatim bisa mempertahankan pranata sosial yang bisa menghasilkan ketertiban di tengah pengaruh global yang terus berubah? Apakah modal ketahanan sosial yang pernah ada dan pewarisan sejarah harmoni sosial dari masa lalu bisa menjadi panduan dan ilham bagi generasi Jatim sesudahnya? Hanya ada satu pilihan jawaban yang harus terus diupayakan atas tanda tanya itu.

**

Jumat, 25 Oktober 2013

Kepemimpinan Jawa Barat

Biarkan Mereka Bekerja, Jangan Dirongrong!

Oleh: DEDI MUHTADI 

SEANDAINYA Gubernur Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf ”henteu pakia-kia” alias kompak dan berjalan bersama pada masa pemerintahan Jawa Barat periode 2008-2013, barangkali sejarah provinsi ini akan lain. Walaupun berjalan ”sendiri-sendiri”, selama kepemimpinan keduanya, Pemerintah Provinsi Jawa Barat memperoleh 117 penghargaan nasional dan internasional.

”Dalam sejarah Jabar, itu adalah penghargaan terbanyak,” ungkap Kepala Biro Humas Pemprov Jabar Ruddy Gandakusumah. Penghargaan terakhir periode kepemimpinan Jabar itu diterima dari Kementerian Dalam Negeri, yakni Si Kompak Award 2013, yang diserahkan oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pada Rapat Kerja Nasional Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan Tahun Anggaran 2013, di Jakarta, akhir Juni 2013.

Kementerian Dalam Negeri menilai Jabar layak mendapatkan apresiasi karena berhasil mengembangkan aspek kemitraan dan kerja sama. Jabar berhasil meraih peringkat nasional untuk dua kategori sekaligus, yakni Pembina Terbaik Nasional PNPM Mandiri Perdesaan pada Kategori Badan Kerja Sama Antar-Desa Aspek Kemitraan dan Kerja Sama serta Kategori Perencanaan Pembangunan Desa Aspek Partisipasi Masyarakat.

Gamawan memuji sejumlah prestasi yang diukir oleh pasangan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf (HADE) itu. ”Saya mendorong agar semua prestasi itu bisa dipertahankan dalam lima tahun ke depan,” ujarnya saat melantik pasangan Ahmad Heryawan (Aher) dan Deddy Mizwar (Demiz) sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jabar periode 2013-2018 di Bandung.

”Ini merupakan bukti pengakuan sejumlah pihak atas semua kerja keras yang dilakukan Pemprov, DPRD Jabar, serta bupati dan wali kota di Jabar,” tutur Ketua DPRD Jabar Irfan Suryanegara.

Ketidaksengajaan sejarah

Soal pakia-kia na HADE terjadi sejak setahun mereka memimpin. ”Itu bukan rahasia lagi. Mereka seperti pasangan suami istri yang sudah tidak harmonis, tetapi masih mempertahankan hubungan dan menyembunyikan persoalan di depan anak-anaknya,” ujar budayawan ronggeng Bucky Wikagoe.

Bagi sebuah pemerintahan daerah, situasi itu jelas tak menguntungkan rakyat Jabar. Akibat ketidakharmonisan itu, produktivitas kerja terganggu. Dede akhirnya lebih suka jalan-jalan ke berbagai pelosok atau menyibukkan diri mengurus pramuka. Periode itu seperti ”kecelakaan sejarah” yang hingga kini masih tertanam, terutama di benak tokoh Jabar seperti Solihin GP dan Acil Bimbo.

Budayawan Jabar Tjetje Hidayat Padmadinata melihat periode itu sebagai ”ketidaksengajaan sejarah”. Itu terjadi akibat ketidakhati-hatian saat memilih gubernur dan wakil gubernur sebelum masuk bursa pencalonan Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) Jabar 2008-2013. Ketidakakuran itu juga terjadi karena gaya kepribadian masing-masing sebab partai pengusung mereka, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN), rukun-rukun saja.

Terlepas dari segala kekurangannya, lanjut Tjetje, selama periode itu, Aher belajar menjadi gubernur yang baik. Ini sebenarnya yang menjadi putusan warga Jabar memilih kembali Aher pada periode kedua.

Pada saat berlangsung Pilkada Jabar April 2013, PKS yang mengusung Aher-Demiz diguncang prahara. Presidennya, Luthfi Hasan Ishaaq, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun, posisi Aher-Demiz relatif tidak terpengaruh karena warga Jabar tidak kenal Luthfi dan tidak peduli. ”Lagi pula, dibanding kandidat lain, warga Jabar lebih berharap pada Aher,” ujar Tjetje.

Sekarang Aher kembali memimpin Jabar bersama Demiz, yang seperti pendahulunya datang dari insan perfilman. ”Pasangan ini lebih harmonis, mengingat sosok Demiz tidak tampak ambisius dalam hal kekuasaan sehingga tak menjadi ’ancaman’ bagi Aher,” kata Bucky.

”Sejauh ini keduanya rukun karena Demiz tidak memiliki latar belakang politik,” ujar Tjetje.

Aher-Demiz, lanjut Bucky, harus belajar dari pengalaman, pecah kongsi di tengah jalan adalah perilaku yang hanya mementingkan diri sendiri dan melupakan tugas pengabdian kepada rakyat.

”Banyak kenangan selama menjabat wakil gubernur mendampingi Kang Aher. Tentu menjadi sebuah pengalaman dan pembelajaran dalam kebersamaan membangun Jabar,” ungkap Dede Yusuf dalam pisah sambut di Gedung Sate, pertengahan Juni lalu.

Birokrasi pemerintahan

Tokoh Jabar meminta semua pihak memberikan kesempatan keduanya membangun Jabar. Biarkan mereka bekerja dan jangan dirongrong, baik oleh pribadi yang mengaku sebagai tim sukses maupun partai pengusungnya. ”Kami tahu siapa saja yang merongrong HADE dulu. Bukan rahasia lagi, itu pula yang memperparah kepemimpinan Jabar periode itu,” ujar Tjetje.

Tokoh Jabar juga mengajak semua pihak mengawal dan melakukan kontrol sosial yang terarah terhadap kinerja Aher-Demiz. Pengawalan dan kontrol sosial yang ketat juga harus dilakukan terhadap pihak yang mengaku sebagai tim sukses ataupun pengusungnya.

Kemampuan dan keberanian mengoreksi jalannya pemerintahan harus muncul, terutama dari masyarakat madani, karena Aher-Demiz kini sudah menjadi milik rakyat Jabar. Koreksi ini juga berlaku bagi bupati dan wali kota walaupun dalam prosesnya diusung partai politik. Itu adalah kode etik politik yang berlaku universal. ”Buktikan bahwa warga Jabar bukan ayam pelung, tetapi ayam adu,” tantang Tjetje.

Menanggapi semua itu, Aher menyambut baik, terutama arahan Menteri Dalam Negeri, terkait kebijakan pembangunan yang memperhatikan aspek lingkungan dan keberlanjutan. Hal itu penting agar pembangunan sektor ekonomi tetap mengacu pada keseimbangan alam. Ia berjanji, bersama DPRD, segera menyusun rencana pembangunan jangka menengah daerah yang menjadi acuan kebijakan pembangunan.

Sejumlah pesan, antara lain, agar Jabar mempertahankan sebagai lumbung beras nasional harus menjadi perhatian di samping tetap menjaga kondusivitas investasi. ”Khusus tentang Indeks Pembangunan Manusia, akan terus dipacu agar lebih baik lagi demi mewujudkan masyarakat Jabar yang sejahtera,” lanjut Aher.

**

Jumat, 25 Oktober 2013

Inovasi Warga

Biji Nangka sebagai Bahan Alternatif Pembuatan Tahu

BERAWAL dari keprihatinan terhadap mahalnya harga kedelai, yang berdampak pada keterpurukan nasib perajin tahu, memberikan inspirasi bagi tiga siswi SMA Negeri 1 Tegal di Jawa Tengah untuk menghasilkan bahan baku alternatif bagi industri berbasis kedelai. Mereka memanfaatkan biji nangka atau dalam masyarakat Jawa dikenal dengan istilah ”beton”, sebagai bahan pembuatan tahu.

Dari penemuan itu, ketiga siswi, yaitu Iis Istiqomah, Annida Falahaini, dan Salma Nabila, semuanya siswa kelas III IPA, berhasil meraih juara kedua pada Central Java Science Competition, yang diselenggarakan oleh Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman di Purwokerto, Jateng, beberapa saat lalu.

Dari penelitian ketiga siswa ini, tahu berbahan baku biji nangka bisa dihasilkan dalam proses pengolahan sederhana, dengan memakan waktu keseluruhan sekitar dua jam. Sebelum diolah, biji nangka dikupas dan dipotong-potong terlebih dahulu.

Selanjutnya biji nangka direbus selama sekitar 10 menit. Setelah itu dihaluskan dengan menggunakan blender, dan kemudian dipisahkan antara air sari biji nangka dan ampasnya. Dengan bahan baku 500 gram biji nangka, air yang dicampurkan sekitar 1 liter.

Air sari biji nangka itulah yang digunakan sebagai bahan baku tahu. Sari biji nangka itu kemudian direbus, dengan dicampur tepung maizena dan tepung beras, yang berfungsi sebagai pengental. ”Proses uji coba tepung untuk pengentalan ini dilakukan sampai 17 kali,” tutur Salma Nabila di sekolahnya.

Dalam proses perebusan bisa ditambahkan bumbu sesuai selera agar tahu yang dihasilkan tidak hambar. Setelah mengental, adonan tahu dicetak, dan kemudian dikukus. Tahu yang sudah jadi dipotong-potong dan siap diolah. Jika ingin tahu yang dihasilkan berwarna kuning, seperti kebanyakan tahu yang dijual di pasaran, tahu berbahan biji nangka itu tinggal direndam pada air kunyit yang sudah direbus, selama sekitar 10 menit.

Annida menuturkan, ide pembuatan tahu dari biji nangka berawal dari keprihatinannya bersama teman-temannya, saat melihat banyak perajin tahu yang gulung tikar akibat tingginya harga kedelai. Kebetulan, Annida tinggal di Desa Adiwerna, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal, yang merupakan sentra penghasil tahu.

Dalam kurun waktu yang bersamaan, tidak sengaja dia dan teman-temannya berjalan-jalan ke pasar tradisional. Saat itu, mereka melihat banyak biji nangka yang terbuang percuma. Mereka pun tergerak untuk memanfaatkan biji nangka tersebut sebagai alternatif bahan baku tahu.

”Kami lantas melakukan uji pustaka dan uji laboratorium,” kata Annida. Ternyata, biji nangka juga memiliki kandungan gizi, termasuk protein. Dari hasil uji laboratorium, kandungan protein pada 100 gram tahu berbahan biji nangka sekitar 25,1 persen, sedangkan kandungan protein pada 100 gram tahu berbahan kedelai sekitar 31 persen.

Mereka pun kemudian mengolah biji beton melalui beberapa kali percobaan, hingga akhirnya menghasilkan tahu. Penelitian yang dimulai sekitar bulan Juli tersebut membutuhkan waktu sekitar 1,5 bulan. Dalam proses percobaan pembuatan tahu, mereka juga bertanya kepada perajin tahu mengenai cara pembuatan tahu.

Biaya murah

Penggunaan biji nangka sebagai bahan baku pembuatan tahu jauh lebih murah apabila dibandingkan dengan kedelai. Harga biji nangka hanya sekitar Rp 800 per kilogram, sedangkan harga kedelai mencapai Rp 9.000 per kilogram.

Biaya bahan baku pembuatan tahu dari biji nangka untuk 500 gram atau setengah kilogram hanya sekitar Rp 512, terdiri dari biaya pembelian biji nangka dan tepung maizena, serta tepung beras. Sementara itu untuk volume yang sama, biaya bahan baku tahu berbahan kedelai mencapai Rp 4.500 per kilogram (kg). Dari 500 gram biji nangka dihasilkan 30 potong tahu berukuran sekitar 5 x 5 sentimeter persegi, sedangkan dari 500 gram kedelai dihasilkan 25 potong tahu berukuran sama.

Proses pembuatan tahu berbahan biji nangka juga lebih cepat, hanya sekitar 2 jam. Sementara itu pembuatan tahu berbahan kedelai membutuhkan waktu lama, karena kedelai memerlukan proses perendaman selama satu hari satu malam.

Rasa yang dihasilkan tahu berbahan biji nangka memang tidak segurih tahu berbahan kedelai. Namun, tekstur tahu berbahan biji nangka lebih lembek apabila dibandingkan dengan tahu berbahan kedelai.

Menurut analis laboratorium SMAN 1 Tegal, Tati Tartilah, kadar karbohidrat tahu berbahan biji nangka juga lebih banyak bila dibandingkan dengan tahu berbahan kedelai. Meskipun hasil tahu dari biji nangka tak sama persis dengan tahu berbahan kedelai, penemuan ini bisa menjadi alternatif untuk mengatasi tingginya harga kedelai.

Pembina Karya Ilmiah Remaja (KIR) SMAN 1 Tegal, Djoni Kristianto, mengatakan, selama ini sekolah memang memberikan keleluasaan kepada para siswa untuk bereksperimen. Sekolah juga berupaya memfasilitasi siswa yang menghasilkan karya dan ingin berlomba dalam kompetisi KIR.

”Kami juga berupaya mengembangkan hasil temuan tersebut,” tambahnya. Sebelum penemuan biji beton menjadi tahu, beberapa waktu lalu juga dihasilkan temuan susu berbahan biji beton. Meskipun demikian, dalam pengembangan hasil temuan tersebut sekolah masih terkendala biaya sehingga mereka membutuhkan donatur. (siwi nurbiajanti)

**

Jumat, 25 Oktober 2013

Properti di Jawa Timur

Surga Investasi di Gerbang Indonesia Timur

Seorang perempuan berdiri di belakang loket parkir sebuah pusat perbelanjaan di Kota Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (19/10). Begitu didekati, ia langsung membagikan selembar brosur pembukaan kluster perumahan baru. Selepas dari pusat perbelanjaan itu, bermacam iklan properti masih saja menyambut kami di jalanan dalam bentuk reklame.

Begitulah pengalaman yang bisa dirasakan ketika berada di Surabaya. Berbagai macam bentuk penawaran produk properti yang masif itu menjadi penunjuk bahwa Surabaya adalah salah satu kota yang pertumbuhan di sektor propertinya tergolong tinggi di Indonesia. Banyaknya permintaan mendorong lebih banyak pengembang yang masuk dan ikut menawarkan berbagai tipe rumah idaman.

Saat ini, jika berkeliling di Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia ini, semakin tampak padat. Selain perumahan, kota berpenduduk lebih dari 3 juta orang ini sudah penuh dengan gedung perkantoran dan mal. Setidaknya sampai saat ini ada 22 mal yang tersebar di ”Kota Pahlawan” ini.

Jumlah itu masih akan terus bertambah. Saat ini sedang dibangun beberapa superblok oleh pengembang besar, seperti Ciputra Group, Pakuwon Group, dan PT Assa Land. Superblok menggabungkan properti residensial, seperti apartemen, dan properti komersial seperti hotel, kantor, dan mal dalam satu bangunan atau kompleks bangunan.

Semakin banyaknya bangunan komersial mendorong meningkatnya kebutuhan bangunan residensial karena semakin banyak pendatang yang membutuhkan tempat tinggal. Di sisi lain, ketersediaan lahan di Surabaya kian menipis sehingga harga lahan semakin tinggi.

Wakil Koordinator Regional II Jawa-Kalimantan Dewan Pengurus Pusat Real Estat Indonesia (DPP REI) M Rudiansyah mengatakan, harga lahan di Surabaya bisa meningkat lima kali lipat dalam kurun waktu empat tahun. Misalnya, dari Rp 4 juta per meter persegi (m2) menjadi Rp 20 juta per m2, empat tahun kemudian.

Kenaikan harga lahan di pusat kota juga fantastis. Harga lahan per m2 di kawasan Jalan Mayjen Sungkono tiga tahun lalu, misalnya, sekitar Rp 10 juta. Kini sudah melebihi Rp 30 juta per m2. Di Jalan Darmo, lahan bisa dijual secara suka-suka karena sudah sangat terbatas. Harga jual tergantung pemilik lahan dan bisa menembus Rp 50 juta per m2.

Dalam catatan Bank Indonesia (BI) sepanjang 2013, Kota Surabaya mengalami peningkatan harga properti residensial tertinggi pada triwulan I/2013 dan kedua tertinggi setelah Manado pada triwulan II/2013. Pada triwulan III/2013, Surabaya masih diprediksi mengalami kenaikan harga properti residensial yang tinggi.

Pengamat properti dari Universitas Kristen Petra, Surabaya, Timoticin Kwanda, mengibaratkan Jatim sebagai kawasan bandar bagi daerah Indonesia timur. Surabaya menjadi pusat bandar itu karena memiliki pelabuhan dan bandara sehingga menjadi pintu masuk ke wilayah barat Indonesia.

”Banyak masyarakat dari wilayah Indonesia timur bermigrasi ke Surabaya. Mereka datang dan membutuhkan tempat tinggal,” kata Timoticin. Fenomena ini ada sejak dua tahun lalu.

Rudiansyah menambahkan, banyak masyarakat dari timur Indonesia datang ke Surabaya juga untuk bersekolah. Iklim dunia pendidikan di Surabaya yang lebih aman, amat jarang terjadi tawuran, menjadi daya tariknya.

Kawasan di sekitar Surabaya, seperti Kabupaten Sidoarjo dan Gresik, juga ikut menikmati pertumbuhan sektor properti. Ketika lahan untuk pengembangan properti di Surabaya sudah sangat terbatas, perumahan baru muncul di dua kabupaten itu.

Rumah yang ditawarkan pun langsung cepat habis terjual. Direktur PT Ciputra Surya Tbk Sutoto Yakobus mengatakan, pihaknya mampu menjual rata-rata 300 unit rumah dalam setahun dengan harga antara Rp 800 juta dan Rp 5 miliar per unit.

Rumah sederhana

Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) REI Jatim Erlangga Satriagung berpendapat, ada dampak buruk dari pertumbuhan properti yang pesat di suatu daerah. Jika harga properti terus melambung, masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) akan semakin kesulitan mendapatkan tempat tinggal.

”Padahal, pengembang kesulitan membangun rumah sederhana bersubsidi bagi MBR karena prosesnya rumit dan cenderung rugi,” kata Erlangga. Harga lahan yang tinggi menyebabkan pengembang sulit membuat rumah dengan harga jual Rp 88 juta seperti yang ditetapkan pemerintah.

Pengembang pun lebih senang membangun rumah menengah di atas Rp 150 juta. Apalagi segmen masyarakat kelas menengah semakin gemuk. Semakin tertutup pula kemungkinan MBR dapat memperoleh tempat tinggal layak di Surabaya.

Backlog atau kekurangan persediaan rumah sederhana di Jatim sudah mencapai lebih 500.000 unit pada saat ini. Jumlah pembangunan rumah sederhana terus berkurang setiap tahun. Pada tahun 2011, penyediaan rumah sederhana sebanyak 16.300 unit menurun menjadi 12.800 unit pada 2012. ”Di tahun 2013, akan turun lagi di bawah 12.800 unit,” kata Erlangga.

Padahal, jumlah pengembang di bawah DPD REI Jatim tercatat sebanyak 734 anggota. Tahun 2011, hanya ada sekitar 350 pengembang yang menjadi anggota. Logikanya, dengan banyaknya pengembang, proyek pengadaan rumah sederhana bagi MBR dapat mudah dilakukan.

Menurut Erlangga, pemerintah harus memberi terobosan supaya kelas MBR mampu membeli rumah. Terkait keterbatasan lahan, misalnya, pemerintah sebenarnya memiliki lahan yang menganggur cukup banyak di daerah. ”Aset itu daripada mengganggur sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat,” katanya.

Erlangga mengingatkan pemerintah bahwa rumah bukan hanya kebutuhan untuk tempat tinggal, melainkan sebagai investasi sumber daya manusia. Tempat tinggal yang nyaman dengan lingkungan bersih membuat penghuninya selalu tenang, sehat, dan fokus dalam pekerjaannya. Anak-anak yang dibesarkan di dalam rumah yang sehat juga akan memiliki masa depan yang cerah.

Tanpa terobosan yang berarti dari pemerintah, proyek pengadaan rumah sederhana ini akan selalu terkendala. Erlangga berkelakar bahwa kendala itu, jika tidak kunjung diselesaikan, nantinya akan dikenang di suatu tempat yang dinamakan ”Monumen Backlog Rumah Sederhana”, saking terlalu besarnya jumlah backlog. (Herpin Dewanto)

**

Jumat, 25 Oktober 2013

Tata kota

Bandung yang Tak Senyaman Dulu

Oleh: SAMUEL OKTORA

KOTA  Bandung yang terbentuk pada 25 Mei 1810 dikenal juga sebagai ”Parijs van Java”. Kota yang paling keeropa-eropaan (bercitra Eropa) di masa Hindia Belanda itu amat elok, asri, dan nyaman. Namun, kini, kota ini banyak berubah. Walau tetap mempunyai daya tarik yang tinggi, Bandung sudah tak senyaman tempo doeloe.

Yang begitu terasa saat ini adalah persoalan kemacetan lalu lintas yang banyak terjadi di sejumlah tempat dan kesemrawutan pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan memakan trotoar dan badan jalan. Penataan PKL yang buruk ini berkontribusi pada kekumuhan yang mengganggu keindahan kota dan memperparah kemacetan lalu lintas.

Dari wali kota yang satu telah berganti ke wali kota yang lain, tetapi belum ada yang mampu menuntaskan persoalan ini. Masalah ini tentu saja perlu menjadi perhatian serius, atau boleh dibilang sebagai tantangan, ataupun pekerjaan rumah yang mesti digarap dengan baik oleh Wali Kota Bandung Ridwan Kamil yang baru dilantik 16 September 2013.

Kemacetan lalu lintas parah menjadi pemandangan sehari-hari di Kota Bandung saat ini, terutama di pagi dan petang hari, ketika warga berangkat maupun pulang kerja. Kemacetan umumnya juga terjadi di pusat-pusat kegiatan, seperti di sejumlah kawasan pendidikan (sekolah atau perguruan tinggi), pusat belanja, atau saat akhir pekan.

Pasalnya, pada akhir pekan banyak warga dari Jakarta dan sekitarnya yang berlibur ke Bandung. Sebenarnya kapasitas kota ini hanya untuk 300.000 jiwa, tetapi kini penduduknya sudah mencapai 3 juta jiwa.

Kemacetan panjang akan tampak menonjol, terutama di akhir pekan, di pintu Tol Pasteur, di Jalan Raya Ujung Berung, Jalan Dalem Kaum, dan Jalan Otista.

”Dari indikator volume capacity ratio (V/C Ratio), sejumlah titik di Kota Bandung tingkat kemacetannya tergolong tinggi karena mendekati satu. Jika suatu tempat VCR-nya di atas angka 1, maka setiap hari di tempat itu terjadi kemacetan,” kata ahli perencanaan transportasi dari Institut Teknologi Bandung, Ade Sjafruddin.

Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bandung tahun 2009, seperti di Jalan Raya Cibiru, VCR mencapai 0,90 dengan kecepatan rata-rata 10,16 kilometer per jam. Volume 1.638,45 kendaraan per jam, dan kapasitasnya 1.812,7 kendaraan per jam.

Ade berpendapat, persoalan kemacetan lalu lintas ibarat fenomena gunung es yang mencuat di permukaan, yang muncul karena masalah tata ruang, pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada meningkatnya kebutuhan infrastruktur, maupun pertumbuhan dan mobilitas penduduk yang makin tinggi.

Namun, perkembangan pesat Kota Bandung, ibu kota Provinsi Jawa Barat, tak diimbangi dengan pertumbuhan jaringan jalan dan angkutan massal. Lambannya pertumbuhan angkutan massal mengakibatkan volume kendaraan pribadi, baik sepeda motor maupun mobil, makin tinggi.

Salah satu upaya yang ideal dalam mengatasi kemacetan adalah angkutan massal berbasis rel yang dibangun secara terpadu, yaitu terintegrasi dengan angkutan umum seperti bus dan angkutan kota (angkot).

”Angkutan massal berbasis rel yang dapat dipilih monorel ataupun LRT (light rail train). Walau investasinya sangat besar, dalam jangka panjang manfaatnya sangat besar. Itu sebabnya kota-kota besar di dunia menerapkan angkutan massal berbasis rel ini, sebab untuk delapan gerbong, dalam waktu 2,5 menit saja, seperti monorel dapat mengangkut sekitar 68.000 penumpang per jam per arah. Dan, Pemerintah Kota Bandung harus fokus menuntaskan masalah kemacetan ini,” tutur Ade.

Jalur sepeda dan jalur pedestrian

Upaya lain pentingnya didorong angkutan sepeda untuk jarak dekat dan jalur pedestrian sehingga bagi warga Bandung yang akan bepergian atau menuju tempat kerja dapat berjalan kaki. Namun, dalam hal ini Pemkot Bandung harus menyiapkan jalurnya. Adapun jalur pedestrian yang baru memadai baru terdapat di kawasan Dago, Jalan Juanda, dan kawasan Braga.

Ade memperingatkan, persoalan kemacetan ini jika tak segera ditanggulangi dapat menimbulkan inefisiensi, seperti polusi udara karena asap kendaraan bermotor, biaya transportasi akan naik karena lamanya perjalanan (boros bahan bakar), dan hal itu akan berdampak pada peningkatan harga barang, yang dapat menyebabkan juga daya saing ekonomi bangsa berkurang akibat biaya tinggi. Dampak lainnya, kesehatan masyarakat juga dapat terganggu karena polusi udara ataupun gangguan kebisingan, yang di antaranya dapat menyebabkan stres.

Salah satu upaya dalam mengatasi kemacetan itu, terutama di kawasan Bandung Raya, Pemerintah Provinsi Jabar menggandeng investor asing, yakni dari China National Machinery Import & Export Corporation (CMC), sebuah badan usaha milik negara China yang bekerja sama dengan anak perusahaan Grup Panghegar, PT Sarana Infrastruktur Indonesia, serta BUMD Jabar, yakni PT Jasa Sarana. Bersama investor itu akan dibangun monorel sepanjang 90 kilometer (meliputi lima koridor) dengan biaya sekitar Rp 18 triliun.

Direktur Utama Grup Panghegar Cecep Rukmana Ruhyat mengemukakan, pada tahap awal akan dituntaskan satu koridor, yakni Tanjungsari-Gedebage-Leuwipanjang (11 stasiun) dengan biaya sekitar Rp 5 triliun. Panjang jalur koridor ini 29 kilometer dan direncanakan tuntas tahun 2016.

Proyek monorel tersebut dijadwalkan hingga lima koridor dan tuntas dalam waktu 11 tahun atau sampai 2025, dengan permulaan pembangunan tahun 2014. Lima koridor itu adalah Tanjungsari-Gedebage-Leuwipanjang, Gedebage-Soreang, Gedebage-Bandung Barat, Gedebage-Majalaya, dan Gedebage-Dago.

Sementara itu, ahli tata ruang ITB, Denny Zulkaidi, menyatakan, semrawutnya penataan PKL di Kota Bandung, di antaranya di kawasan Cicadas, karena terjadi pembiaran oleh aparat pemkot setempat.

”Sebenarnya Pemkot Bandung sudah mempunyai regulasi seperti peraturan daerah dan peraturan wali kota untuk mengatur PKL. Akan tetapi, di lapangan terjadi pembiaran oleh aparat, dan mungkin juga adanya pihak ketiga yang melindungi PKL,” kata Denny.

Menurut Denny, bagi Pemkot Bandung memang bukan perkara mudah menata PKL, apalagi secara menyeluruh di kawasan Kota Bandung. Namun, paling tidak hal itu dapat dimulai dengan melakukan proyek percontohan pada satu atau sejumlah titik. “Jika satu titik berhasil, maka hal itu dapat menjadi contoh bagi PKL lainnya. Pemkot Bandung dapat belajar penataan PKL yang berhasil dilakukan di Solo oleh Jokowi, begitu pula di Tanah Abang. Singapura juga menjadi contoh keberhasilan penataan PKL,” ujar Denny.

Denny berpendapat, dalam penertiban PKL, Pemkot Bandung perlu mendata secara menyeluruh jumlah mereka, di mana saja sebarannya, dan yang harus diutamakan adalah yang diberi tempat berdagang adalah PKL yang merupakan warga Kota Bandung. Pemkot juga perlu menyiapkan lahan atau zona khusus bagi PKL.

Apabila PKL yang berdagang di daerah terlarang akan ditertibkan atau direlokasi, maka pemkot perlu menyediakan lahan untuk berjualan. ”Bukan saja tempat, pemkot juga perlu memastikan pasar atau konsumen bagi PKL agar mereka merasa tenang dan nyaman di tempat yang disediakan pemda. Selain itu, kalau PKL akan ditarik retribusi, pemda juga wajib memberikan fasilitas bagi PKL, di antaranya air bersih, penerangan, ataupun tempat pembuangan sampah,” kata Denny.

Selain itu, dalam penyiapan lahan khusus bagi PKL, pemkot juga perlu memikirkan tempat parkir bagi konsumen agar tidak menimbulkan masalah baru seperti kemacetan. Zonasi bagi PKL dapat diberlakukan terkait fasilitasi yang diterima mereka, begitu juga peluang pasar. Jika ditata dengan baik, pemkot akan dapat memperoleh pemasukan untuk pendapatan asli daerah dari retribusi PKL dan retribusi parkir kendaraan.

Ridwan Kamil berkomitmen menata wajah PKL. Selain dengan penertiban, yakni dengan registrasi, pemberlakuan KTP khusus PKL, juga memberikan edukasi, pendirian pasar baru guna menampung PKL, serta memfasilitasi permodalan dari bank.

Harapan masyarakat Kota Bandung tentu begitu besar terhadap kepemimpinan di tangan Ridwan yang berlatar belakang arsitek itu. Apakah Ridwan benar-benar mampu membawa perubahan Bandung ke arah yang lebih baik, atau sama saja dengan wali kota sebelumnya, atau jangan-jangan persoalan kemacetan dan PKL dalam lima tahun ke depan lebih buruk lagi?

**

Jumat, 25 Oktober 2013

Kependudukan

Populasi Warga Jabar Merisaukan

PERSOALAN  yang menghantui Provinsi Jawa Barat saat ini adalah kependudukan. Menjadi sangat krusial karena populasi warga provinsi ini memberi kontribusi paling besar dalam jumlah penduduk Indonesia. Saat ini jumlah penduduk mencapai 237,6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 1,49 per tahun.

Dengan luas wilayah hanya 37.116,54 kilometer persegi (km2), jumlah penduduk Jabar tahun 2012 mencapai 44,5 juta jiwa. Jumlah ini memberikan implikasi logis terhadap kepadatan, yakni terdapat 1.200 jiwa dalam setiap km2, ditambah kelahiran hampir 900.000 bayi per tahun. Kepadatan ini jauh melampaui standar kepadatan penduduk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 97 jiwa per hektar.

Belum lagi banyak ibu hamil yang berisiko karena 4 (empat) terlalu, yaitu terlalu muda saat hamil dan terlalu tua saat hamil; terlalu dekat jarak kehamilan anak pertama dan berikutnya; serta terlalu banyak anak. Ini sangat berisiko pada terjadinya perdarahan pada proses persalinannya yang akan berdampak terhadap tingginya kematian ibu dan anak pada saat kelahiran.

Fakta ini menggambarkan betapa pelik masalah kependudukan dan Keluarga Berencana (KB) di Jabar. Tentu hal itu akan membebani pembangunan yang semakin besar dan multidimensi, mulai dari pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pangan, khususnya beras, permukiman, ketersediaan air bersih, penanggulangan sampah, banjir, kemacetan, lapangan pekerjaan, hingga perdagangan manusia.

Malah, dalam 37 tahun ke depan, jumlah penduduk Jabar akan mencapai 90 juta jiwa atau dua kali lipat dari sekarang. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, laju pertumbuhan penduduk provinsi ini mencapai 1,89 persen, melebihi rata-rata nasional yang 1,49 persen.

”Dengan perkiraan jumlah penduduk 90 juta jiwa ini, jumlah remaja berusia 15-24 tahun dan belum menikah ada 40 persen. Jika tidak segera diatasi, dikhawatirkan akan memicu masalah besar,” ujar Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jabar Siti Fathonah.

Secara nasional, kecemasan senada pernah dilontarkan Ketua Dewan Pertimbangan Presiden Emil Salim yang melihat rendahnya kualitas sumber daya manusia. Bonus demografi yang akan mencapai puncaknya pada 2020-2030 justru bisa menjadi masalah apabila mayoritas manusia, sumber daya manusia (SDM)-nya tidak berkualitas.

”Kita gembira karena jumlah penduduk usia produktif akan jauh lebih banyak daripada mereka yang tak produktif. Namun, saya justru cemas karena penduduk usia produktif itu kurang berkualitas,” ujarnya dalam Seminar Mengoptimalkan Potensi Bonus Demografi, di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Jadi ”kekesed”

Pada dimensi lain, kerisauan itu sudah menjelma. Di bidang politik, misalnya, menurut budayawan Tjetje Hidayat Padmadinata, selama ini Jabar sering dijadikan kekesed (pijakan kaki) untuk mendulang suara oleh partai politik karena memiliki jumlah suara yang besar.

Dalam Pemilu 2009, misalnya, warga Jabar yang pemilihnya mencapai 20 persen dari pemilih nasional dijadikan tempat mendulang suara oleh Partai Demokrat. ”Partai berkuasa ini memperoleh suara 28 persen, padahal di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, partai ini kalah oleh partai lain,” ujar Tjetje.

Namun, sesudah berkuasa, politisi itu cenderung melupakan dan tidak memperhatikan nasib warga sehingga rakyat Jabar tidak mendapatkan apa-apa dari dukungannya itu. Pemanfaatan warga Jabar yang jumlahnya 20 persen dari penduduk Indonesia ini tak hanya dalam pemilu presiden, tetapi juga dalam pemilihan gubernur dan Pemilihan Wali Kota Bandung.

”Malah untuk memenuhi kebutuhan dasarnya saja warga sangat kesulitan. Anggaran pemerintah daerah yang ditentukan secara politis berceceran di mana-mana,” ujar Rusnandi Garsadi, yang dibenarkan Judhistira Jura Danusubrata dari Komunitas Braga Galur Bandung.

Keduanya menuturkan pengalaman mereka saat membantu puluhan ribu warga kawasan Braga, Kota Bandung, yang selama berpuluh tahun menderita karena menggunakan air kotor dan beracun di pinggir Sungai Cikapundung. Di sisi lain, banyak dana bantuan sosial jadi bancakan oknum tertentu yang kemudian menyeret Wali Kota Bandung Dada Rosada dan Sekretaris Kota Bandung Edi Siswadi.

BKKBN Jabar terus menggenjot agenda revitalisasi program Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB). Salah satunya melalui kegiatan Pekan Gerakan Membangun Masyarakat (Gebyar) Jabar Tengah yang berlangsung akhir September lalu.

Ketua Pekan Gebyar Jabar Tengah Rudy Budiman menambahkan, acara ini digelar dengan memanfaatkan momentum Hari Kontrasepsi Dunia (WCD) yang jatuh pada 26 September 2013. Di samping itu, road show merupakan agenda rutin BKKBN Jabar. ”Road show tahun ini menargetkan menambah 10.000 peserta baru KB implan,” ujar Rudy.

Momentum penyadaran

Pembangunan KKB memiliki kontribusi signifikan terhadap upaya peningkatan kualitas penduduk. Seiring dengan hal itu, perlu terus-menerus dilakukan advokasi dan penyebarluasan informasi kepada seluruh masyarakat. Melalui informasi diharapkan tumbuh kesadaran dan menjadi gaya hidup keluarga kecil bahagia sejahtera.

Bagi Jabar, Hari Kontrasepsi Dunia sangat relevan dengan spirit pembangunan KKB. Dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 44,5 juta jiwa dan 12 juta pasangan usia subur (PUS), merupakan momentum penyadaran pentingnya pengendalian penduduk dan program KB. Peringatan WCD juga merupakan momentum akselerasi program KKB untuk menyongsong Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) 2015.

Program lain adalah menjalin kerja sama antara Pemprov Jabar, BKKBN Jabar, dan Kodam III/Siliwangi. Program ini melibatkan Bintara Pembina Desa (Babinsa) TNI agar berperan aktif di bidang kependudukan, sekaligus memerangi tindak pidana perdagangan manusia (human trafficking).

Sasaran operasi perdagangan manusia, terutama usia produktif dan anak belia, salah satu persoalan yang berkaitan langsung dengan masa depan bangsa. Hal ini karena korbannya sebagian besar kaum perempuan yang merupakan ujung tombak pembinaan tunas generasi penerus bangsa.

”Babinsa, kita pahami, penjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di lain pihak, kependudukan dan human trafficking adalah salah satu persoalan bangsa. Babinsa tentu akan berperan aktif,” ujar Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. (Dedi Muhtadi)

**

Jumat, 25 Oktober 2013

Industri Pariwisata

Primadona Ekonomi yang Latah

Oleh: RUNIK SRI ASTUTI

INDUSTRI pariwisata belakangan menjadi primadona baru ekonomi di Jawa Timur. Selain potensi obyek yang luar biasa, industri ini memiliki dampak ganda sebagai pengungkit pembangunan di suatu kawasan. Namun, perkembangannya perlu diwaspadai agar tidak menjadi latah dan tetap berpijak pada karakter yang kuat. 

Deburan ombak memecah keheningan Pantai Soge di Kecamatan Soge, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, Rabu (16/10). Birunya air laut bercampur putihnya buih tampak berkejaran menggapai hamparan pasir di sepanjang tepi pantai. Pesonanya begitu menggoda, seperti undangan yang sulit ditolak.

Tak tahan rasanya kaki ini untuk tak mendekat. Menyentuh halusnya pasir putih bersih yang belum terkotori oleh sampah dan merasakan segarnya air laut yang jernih, yang membasuh hingga di ruas-ruas jari.

Pantai Soge terletak sekitar 30 kilometer arah selatan dari Pacitan. Tak sulit mencapainya sebab hanya perlu mengikuti Jalan Lintas Selatan (JLS) dari Pacitan menuju ke arah Kabupaten Trenggalek. Letaknya yang berada tepat di tepi jalan memudahkan pencarian, bahkan oleh orang yang baru pertama kali berkunjung.

Mulusnya aspal hotmix yang melapisi JLS membuat perjalanan terasa nyaman. Bahkan, kenyamanan itu membuat perjalanan terasa lebih singkat dari jarak tempuh sebenarnya. Apalagi sepanjang jalan tersajikan pemandangan alam yang menawan berupa gugusan tebing terjal.

Obyek wisata Pantai Soge merupakan obyek baru yang dibuka karena terselesaikannya pembangunan jalan. Walaupun baru, Soge diyakini memiliki prospek yang bagus karena selain memiliki pesona yang menawan, lokasinya sangat strategis dan mudah dijangkau.

Kehadiran Pantai Soge melengkapi obyek wisata yang sudah eksis di Jatim. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jatim mencatat provinsi di ujung timur Pulau Jawa dengan wilayah seluas 47.156 kilometer persegi ini memiliki sekitar 763 obyek wisata.

Rinciannya, 264 lokasi wisata alam, 307 obyek wisata budaya, dan 192 obyek wisata buatan. Ditambah lagi empat taman nasional, yakni Bromo Tengger Semeru, Baluran, Meru Betiri, dan Alas Purwo, yang berpotensi dikembangkan untuk wisata berwawasan lingkungan (ecotourism).

Tak hanya itu. Tahun ini pemerintah mengusulkan dua obyek wisata di Jatim menjadi destinasi bertaraf internasional. Tempat itu adalah Goa Gong dan Pantai Klayar di Kabupaten Pacitan yang diusulkan ke UNESCO sebagai taman bumi (geopark) dunia.

Kekayaan obyek wisata itulah yang mendorong jutaan wisatawan berkunjung ke Jatim setiap tahun. Bahkan, jumlah pengunjung semakin lama semakin meningkat seiring dibukanya akses menuju obyek, tersedianya sarana transportasi, dan diperbaikinya kondisi obyek itu sendiri.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jatim Jarianto mengatakan, pihaknya menargetkan kunjungan wisata tahun 2013 mencapai 264.000 wisatawan mancanegara dan 3,3 juta wisatawan nusantara. Jumlah wisatawan itu naik 10 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

”Untuk obyek wisata andalan di Jatim yang paling banyak diminati wisatawan adalah wisata alam, budaya, dan minat khusus seperti golf,” katanya.

Pengungkit ekonomi

Pemerintah Provinsi Jatim sengaja menaruh perhatian besar terhadap industri pariwisata sebab memiliki kelebihan dibandingkan dengan industri manufaktur. Salah satunya, nilai investasi tidak besar, bahkan bisa dikumpulkan dari swadaya masyarakat.

Di sisi lain, dampak industri pariwisata ini sangat luar biasa bagi terciptanya industri kreatif yang melahirkan lapangan kerja baru bagi masyarakat. Contohnya, industri kerajinan, pengolahan makanan, jasa transportasi, akomodasi, penginapan, bahkan persewaan kendaraan ataupun perlengkapan wisata.

Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Pacitan Eny Setyowati mengatakan, obyek wisata Goa Gong, misalnya, mampu membuka jaringan pasar bagi perajin batu akik di Kecamatan Punung dan sekitarnya. Bahkan, bisa diklaim, penjualan kerajinan batu akik asal Pacitan hampir sepenuhnya mengandalkan pasar wisata itu.

”Kelebihan lain, pariwisata juga berkontribusi positif terhadap pendapatan asli daerah melalui retribusi yang dikenakan terhadap pengunjung. Di Pacitan, misalnya, pendapatan dari sektor pariwisata tembus Rp 2 miliar per tahun,” ujarnya.

Manisnya rezeki dari industri pariwisata itulah yang mendorong sejumlah pemerintah daerah di Jatim berlomba menggarap sektor ini. Namun, sayang, mereka melakukannya sendiri-sendiri tanpa terkoordinasi sehingga yang tampak menonjol adalah ego sektoral dan sebuah kelatahan.

Pandangan itu setidaknya disampaikan Ketua Dewan Pariwisata Jatim Yusak Anshori. Dia mengatakan, di tengah situasi ekonomi dunia yang tak menentu, sektor pariwisata tetap tumbuh positif. Hal ini menunjukkan, pariwisata mampu menjadi pilar ekonomi masyarakat.

Pertumbuhan itu setidaknya didorong oleh meningkatnya kalangan kelas menengah di kawasan Asia dan di Tanah Air sendiri. Faktor lain, semakin mudahnya akses transportasi seiring banyaknya penerbangan langsung menuju dan dari Surabaya ke sejumlah daerah, bahkan ke sejumlah negara.

Yusak optimistis, industri pariwisata tahun 2014 tetap prospektif sebab ekonomi Asia semakin terbuka. Persoalannya, tinggal Jatim mampu mengambil peluang pasar itu atau sebaliknya, terjebak menjadi konsumen.

Peluang pasar akan diraup apabila seluruh pelaku pariwisata, termasuk pemerintah daerah, menghilangkan pemikiran sektoral, bertindak cepat membenahi infrastruktur menuju obyek wisata, dan bersama menggiatkan promosi dengan menggali ceruk pasar potensial, seperti China, Korea, dan negara di Asia lainnya.

Namun, yang tidak kalah penting, pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus memahami politik pariwisata, terutama di kawasan regional Asia, yang bergerak dinamis. Yusak yakin, industri pariwisata tetap menjadi primadona ekonomi pada tahun-tahun mendatang.

Yang perlu dilakukan, bagaimana pemerintah daerah mengoptimalkan potensi obyek wisata yang ada di wilayahnya masing-masing sehingga memiliki karakter yang kuat. Tidak seperti sekarang ini di mana banyak obyek wisata yang dibuka karena pemangku kebijakannya latah sehingga hanya bisa meniru atau mengekor obyek yang sudah eksis.

**

Jumat, 25 Oktober 2013

Ekonomi Tahun 2014 Diprediksi Lebih Baik

Target Belanja Rp 1.842 Triliun

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan DPR menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun 2014 sebesar 6 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan sejumlah lembaga ekonomi, yakni di bawah 6 persen.

Pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen pada tahun 2014 itu merupakan salah satu asumsi dasar Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2014 yang akan disahkan pada Rapat Paripurna DPR, Jumat (25/10).

Asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen tersebut menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR melihat perekonomian tahun 2014 akan lebih baik dibandingkan tahun 2013. Pertumbuhan ekonomi tahun ini, seperti diperkirakan Badan Kebijakan Fiskal, berkisar 5,8 persen sampai 6 persen.

Bank Pembangunan Asia (ADB) juga memprediksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2014 sekitar 6 persen. Pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan hanya 5,7 persen.

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun 2014 adalah 5,8 persen-6,2 persen. Angka ini lebih tinggi daripada proyeksi tahun 2013 ini sebesar 5,5 persen-5,9 persen.

Sebaliknya, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun depan melambat. Dari perkiraan tahun ini sebesar 5,6 persen, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun depan sebesar 5,3 persen.

Panitia Kerja (Panja) Asumsi Dasar RAPBN Tahun 2014, yang terdiri dari unsur pemerintah dan DPR, menyampaikan sejumlah pertimbangan atas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2014 sebesar 6 persen.

Pemilu dan demografi

Menurut laporan panja, meski masih menghadapi risiko, perekonomian tahun depan lebih baik daripada tahun ini. Risiko yang dimaksud antara lain masih ada gejolak likuiditas global dan gejolak harga komoditas di pasar internasional.

Namun, panja menegaskan bahwa konsumsi rumah tangga masih menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi 2014. Ini terutama disebabkan ada bonus demografi serta ada pemilihan umum anggota legislatif dan presiden.

Neraca perdagangan yang mulai membaik juga menjadi faktor pendorong pertumbuhan. Ini karena kinerja ekspor berangsur- angsur pulih seiring perbaikan permintaan pasar global. Faktor lain adalah peningkatan investasi, terutama oleh sumber-sumber domestik, dan inflasi yang kembali ke level normal.

Dari sisi sektoral, pertumbuhan ekonomi terutama akan disumbang oleh sektor industri pengolahan sebesar 1,6 persen, sektor perdagangan-hotel-restoran 1,3 persen, serta sektor transportasi dan komunikasi 1,1 persen. Sementara sektor pertanian menyumbang 0,4 persen.

Ekonom Faisal Basri di Jakarta, Kamis (24/10), menyatakan, asumsi pertumbuhan sebesar 6 persen tahun 2014 masuk akal. Angka tersebut bahkan cenderung konservatif.

Menurut Faisal, semua tekanan terhadap perekonomian Indonesia sudah mencapai puncak pada tahun 2013. Hal itu di antaranya tekanan pada kurs rupiah, inflasi, suku bunga, serta neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Itu berarti perekonomian Indonesia tahun 2014 cenderung lebih baik.

Inflasi yang pada tahun ini diperkirakan BI 9 persen-9,8 persen akan turun ke 5,5 persen tahun 2014 sebagaimana asumsi pemerintah dan DPR. Bahkan, Faisal optimistis, realisasi inflasi akan di bawah asumsi itu. Sementara suku bunga BI, menurut Faisal, diturunkan pada kisaran 6 persen.

Sebaliknya, dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Atma Jaya, Jakarta, Agustinus Prasetyantoko, berpendapat, asumsi pertumbuhan ekonomi 6 persen terlalu optimistis. Alasannya, semua sumber pertumbuhan ekonomi diperkirakan melambat tahun depan.

”Pemerintah punya kepentingan memberikan optimisme meski realitasnya berat. Namun, mestinya memang harus realistis. Saat ini perusahaan-perusahaan sedang menyusun rencana bisnis ke depan. Jadi memang harus hati-hati dalam menentukan asumsi,” kata Prasetyantoko.

Investasi sebagai sumber pertumbuhan terbesar setelah konsumsi rumah tangga, menurut Prasetyantoko, akan turun pada tahun 2014. Ini menjadi konsekuensi kebijakan pengetatan likuiditas saat transaksi perdagangan defisit.

Kebijakan BI mematok suku bunga menjadi 7,25 persen akan menurunkan pertumbuhan kredit. Dampaknya baru akan terasa mulai triwulan IV-2013 sampai tahun 2014.

Hal ini tecermin pada proyeksi BI tentang pertumbuhan kredit pada tahun 2014 sebesar 15,3 persen-16,6 persen. Ini lebih rendah dibandingkan pertumbuhan kredit tahun ini, yang diproyeksikan sekitar 20 persen.

Sementara pertumbuhan konsumsi rumah tangga, Prasetyantoko memperkirakan akan stagnan. Sumbangan kegiatan pemilihan umum bagi konsumsi rumah tangga tidak akan besar. Adapun ekspor diduga belum akan pulih. ”Maka dugaan saya, pertumbuhan tahun 2014 berkisar 5,5 persen-5,8 persen,” katanya.

Inflasi terjaga

Gubernur BI Agus DW Martowardojo mengatakan, inflasi yang terjaga bisa menjadi daya tarik investasi. Inflasi yang terkendali membuat daya beli masyarakat meningkat. ”Kondisi ini mendorong perekonomian domestik,” ujar Agus.

Pertumbuhan ekonomi tahun 2014, kata Agus, masih ditopang kinerja ekspor menyusul membaiknya kondisi ekonomi global. Selain itu, daya beli masyarakat meningkat dan inflasi yang terjaga juga mendorong ekonomi.

Belajar dari kondisi pasar keuangan yang tertekan pada kurun Mei-Agustus 2013, Indonesia mesti menyiapkan diri menghadapi tahun 2014. Sampai saat ini, Indonesia belum optimal menguatkan pasar ekonomi sehingga nantinya siap menghadapi pembalikan arus modal.

Pembalikan arus modal ini bisa terjadi saat lanskap perekonomian global berubah. Kondisi ekonomi negara-negara maju akan membaik sehingga potensi arus modal meninggalkan negara emerging market bisa terjadi.

Selain pertumbuhan ekonomi, RAPBN Tahun 2014 yang disahkan menjadi APBN Tahun 2014 pada Rapat Paripurna DPR hari ini juga menyangkut asumsi makro lainnya. Inflasi diasumsikan 5,5 persen. Kurs rupiah terhadap dollar AS adalah Rp 10.500. Tingkat suku bunga SPN 3 bulan adalah 5,5 persen.

Harga jual minyak Indonesia diasumsikan 105 dollar AS per barrel. Produksi minyak siap jual ditargetkan 870.000 barrel per hari. Produksi siap jual gas bumi ditargetkan 1,24 juta barrel setara minyak per hari.

Sementara penerimaan negara ditargetkan Rp 1.667 triliun. Belanja negara ditargetkan Rp 1.842 triliun. Dengan demikian, defisitnya adalah Rp 175 triliun atau 1,69 persen dari produk domestik bruto. (LAS/IDR)

Posted in: EKONOMI, Media, Politik