RI at middle-income crossroad

Posted on December 13, 2013

0


Satria Sambijantoro, The Jakarta Post, Nusa Dua, Bali | Headlines | Fri, December 13 2013, 10:55 AM

Indonesia is now racing against the clock to boost its manufacturing sector and strengthen its supply-side economy as the nation is on the brink of falling into the middle-income trap, a state that has afflicted other emerging market economies.

Government officials have acknowledged that Indonesia now needed bold policy measures to prevent the country from falling into the middle-income trap.

“Is there a risk that Indonesia will get trapped in the middle-income group? Unfortunately, the answer is yes. Indonesia has grown to become a lower middle-income country since the 1990s, and we are still there now,” Finance Minister Chatib Basri said Thursday in his keynote speech delivered during an international seminar held in Nusa Dua, Bali.

With its gross domestic product (GDP) per capita of US$4,790, Indonesia is now classified as a lower middle-income country and — just like its peers at this level — is aspiring to become a high-income country, classified as the one with GDP per capita of more than $11,750.

However, some countries never get there, and instead see stagnation in GDP growth due to rising labor costs and decreasing productivity, leaving their citizens’ income “trapped” in the middle level.

A study from the World Bank showed that out of 101 middle-income countries in 1960, only 13 graduated to become high-income countries by 2008.

Countries that were seen as case studies for falling into the middle-income trap were South Africa and Brazil. Both countries used to post strong economic growth, yet recently have seen a significant drop in GDP growth. In the third quarter, South Africa expanded by only 0.7 percent while Brazil contracted by 0.5 percent.

“Brazil and South Africa stayed at the middle-income level because they, just like us, continued to depend on natural resources and cheap labor,” Chatib said. “If Indonesia wants to climb up the ladder, then we have to give more support to innovation and technology.”

Signs that Indonesia might be falling into a middle-income trap have been apparent, with the economy already having slowed for five consecutive quarters to touch 5.6 percent in the third quarter, its slowest growth rate in nearly four years.

The slowdown has been attributed to Indonesia’s weak supply-side economy, which is beleaguered with insufficient infrastructure and an underdeveloped manufacturing sector that cannot cope with increased demand from the growing middle class.

To fill the gap between supply and demand in the domestic economy, Indonesia has been forced to depend on imports, causing a large deficit in the current account that has created economic instability and prevented the country from posting higher GDP growth.

To deal with the issue, Chatib said that he had prepared a slate of possible tax breaks for companies that produced intermediate goods, seen as the missing link in Indonesia’s industry, as well as for firms allocating funds to research and development, which could generate more skilled labor in the domestic economy.

Indonesia is also preparing to ban raw mineral exports starting next year, a move that is aimed at developing the local manufacturing sector, which would be expected to produce more value-added goods and fewer raw resources.

Deputy Finance Minister Bambang Brodjonegoro highlighted the need for Indonesia to push down burdensome energy subsidies, which have prevented the government from allocating more spending for productive use.

“To avoid the middle-income trap, we need to have enough fiscal space — if we have enough fiscal space in the budget, we can do everything from expanding infrastructure to improving productivity,” Bambang said in the seminar.

“The dependence on subsidies, which are more a political tool rather than fiscal tool, has become a big burden,” he added.

***

Indonesia dan Jebakan Negara Berpenghasilan Menengah
Indonesia tercatat masuk sebagai negara kelas menengah tahun 1990 an

Jum’at, 13 Desember 2013, 00:19 Dwifantya Aquina

VIVAnews – Menteri Keuangan Chatib Basri menyatakan, saat ini Indonesia belum tergolong dalam jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap). Indonesia, saat ini berada dalam status sebagai negara kelas menengah dengan pendapatan per kapita sekitar US$5.170.

Meski begitu, guna mendorong Indonesia lepas dari jebakan tersebut dan beralih menjadi negara maju berpendapatan tinggi, Chatib menilai sumber daya manusia (SDM) berbasis inovasi teknologi harus dikuatkan.

“Kita harus menekankan peran inovasi dan teknologi, untuk melahirkan keunggulan komparatif yang baik,” kata Chatib dalam Seminar Internasional mengenai Middle Income Trap di Nusa Dua, Bali, Kamis 12 Desember 2013.

Chatib menjelaskan, Indonesia yang tercatat masuk sebagai negara kelas menengah pada awal 1990-an, tidak akan menjadi negara maju apabila bergantung dari produksi SDA dan upah buruh rendah. Untuk itu, satu solusi dari pemerintah adalah dengan mendorong produktivitas melalui peningkatan inovasi pada teknologi. Hal ini juga dilakukan Korea Selatan untuk menjadi negara maju dalam kurun waktu 15 tahun.

Ia pun menyadari bahwa memang tidak mudah untuk melakukan lompatan dari kelompok kelas menengah kepada kelompok berpenghasilan tinggi. Sebab, Studi Bank Dunia bahkan menunjukkan bahwa negara yang terperangkap ke dalam jebakan kelas menengah jauh lebih banyak dibandingkan negara yang mampu naik kelas menjadi negara berpenghasilan tinggi.

“Kita belajar dari Afrika Selatan, Brazil dan Korea Selatan yang masuk dalam middle income pertengahan tahun 1980-an. Tapi kalau dilihat dari tiga negara itu hanya Korsel yang masuk new industrialisasi country. Kenapa Korsel bisa naik kelas? Karena mereka naikkan isu teknologi. Sedangkan dua negara lain masih stay pada isu buruh upah murah,” jelasnya.

“Kita harus meningkatkan peran kapasitas agar tercipta SDM yang bagus untuk mendorong produktivitas. Upaya transformasi ini harus dilakukan agar kita tidak tergantung pada raw material dan upah buruh murah,” tambahnya.

Keyakinan Chatib bahwa Indonesia mampu naik ke kelas negara berpendapatan tinggi didasarkan pada beberapa faktor. Antara lain seperti, Indonesia mempunyai potensi ekonomi yang sangat besar, baik berupa kekayaan alam maupun jumlah penduduk yang mencapai 250 juta orang.

“Bahkan, secara demograsi struktur penduduk di Indonesia didominasi oleh kelompok produktif yang sangat menguntungkan bagi perekonomian nasional dan
fenomena ini dikenal sebagai bonus demografi. Selain itu, kinerja ekonomi makro kita cukup baik,” katanya.

Menurut Chatib, beberapa strategi yang perlu dilakukan untuk naik kelas ke kelompok negara berpendapatan tinggi antaranya, pertumbuhan ekonomi haruslah berkelanjutan sekaligus inklusif.

Pertumbuhan yang berkelanjutan haruslah didukung dengan meningkatnya produktivitas yang ditunjang oleh peningkatan kualitas SDM, pengelolaan SDA yang baik untuk penciptaan nilai tambah tinggi di dalam negeri, pengembangan teknologi dan inovasi serta tentunya dengan tetap menjaga stabilitas ekonomi.

“Ada proses transformasi industrialisasi secara gradual ke arah industri berbasis nilai tambah tinggi. Sementara itu, pertumbuhan yang inklusif diarahkan agar kemajuan ekonomi haruslah juga dinikmati oleh kelompok masyarakat berpendapatan rendah sehingga mampu mengatasi persoalan ketimpangan pendapatan,” katanya.

Insentif untuk perusahaan

Selain itu, untuk mendukung proses transformasi industrialisasi secara gradual ke arah industri berbasis nilai tambah tinggi, maka pemerintah akan menyiapkan insentif bagi perusahaan yang menyiapkan penelitian dan pengembangan SDM.

“Ide dan desain memadai dibutuhkan agar tercipta barang kompetitif, namun itu dapat tercapai kalau kualitas SDM-nya memadai. Tapi perusahaan tidak memiliki
dana untuk inovasi, makanya pemerintah memberikan tax allowance untuk R&D,” katanya.

Ia pun mengatakan, agar kualitas hidup SDM tetap terjaga, pemerintah telah menyiapkan sistem jaminan sosial nasional sebagai asuransi kesehatan bagi masyarakat, khususnya warga kurang mampu, mulai tahun depan.

“Kalau mau kualitas sumber daya manusia yang baik, maka mereka harus sehat, untuk itu BPJS akan diluncurkan bulan depan. Namun, sistem pendanaan kesejahteraan ini harus dirancang secara baik agar tidak mengganggu anggaran negara,” jelasnya.

Potensi ekonomi Indonesia yang besar, kata Chatib, merupakan modal menuju negara maju karena memiliki bonus demografi. Selain jumlah penduduk banyak, kelompok muda produktif juga menguntungkan bagi perekonomian nasional di masa mendatang.

Namun, dia melanjutkan, apabila potensi itu tidak dimanfaatkan secara maksimal, dan proses industrialisasi tidak berjalan baik, maka Indonesia sulit lolos dari jebakan negara berpenghasilan menengah itu, meskipun telah mencapai pertumbuhan tinggi dalam beberapa tahun terakhir.

“Ekspektasi kelas menengah dapat menjadi persoalan sosial, kalau kita memiliki tenaga kerja produktif tapi tidak bisa dimanfaatkan dan produktivitas rendah maka akan terjadi malapetaka demografis dan potensi ekonomi akan mengalami penurunan,” ujarnya.

Jebakan negara berpenghasilan menengah merupakan kondisi mengenai perkembangan ekonomi saat suatu negara yang sudah berhasil masuk ke kelompok negara berpendapatan menengah, mengalami masa stagnasi dan tidak berhasil naik dalam kelompok negara berpendapatan tinggi.

Merujuk pada standar internasional, maka durasi waktu suatu negara dapat dikatakan terperangkap dalam jebakan kelas menengah adalah sekitar 42 tahun dan Indonesia saat ini masih tergolong sebagai negara berpenghasilan rendah.

Jakarta dan gejala MIT

Guna mencegah Indonesia masuk ke dalam jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap), kebijakan aglomerasi atau pemusatan dalam lokasi atau kawasan tertentu harus tepat. Sebab, apabila tidak tepat, maka jumlah penduduk yang akan tinggal di wilayah perkotaan dapat semakin meningkat, dan akan lebih banyak dibanding pedesaan.

Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengaku khawatir Indonesia dapat masuk perangkap kelas menengah. Kecemasannya bukan tak beralasan, sebab ia melihat konsentrasi ekonomi Indonesia di Jakarta kini sudah terlalu besar dan terpusat.

“Jakarta sebagai metropolitan area itu makin lama makin besar, tapi nanti hanya sendirian menjadi pusat perekonomian Indonesia,” kata Bambang di Nusa Dua, Bali.

Menurut Bambang, yang mengganggu dalam middle income trap adalah disparitas, baik pendapatan antar kelompok masyarakat maupun disparitas antar daerah. Itu artinya jika hanya Jakarta yang menjadi pusat beban perekonomian, maka disparitas pendapatan antar kelompok semakin besar, dan disparitas antar daerahnya juga bisa makin besar lagi.

“Nanti akan ada penumpukan ke pulau Jawa, lama-lama ekonomi Indonesia ada di Jakarta dan bukan (jadi) Jakarta. Itu saya rasa tak sehat dan daya dukung Jakarta juga terbatas,” terangnya.

Bambang berharap Indonesia kelak tidak berkembang menjadi seperti China. Meski pusat kotanya tumbuh terpisah, pertumbuhan Kota Beijing di China dinilai Bambang terlalu cepat sehingga daya dukung kotanya tak memadai lagi. Polusi luar biasa di beberapa kota besar di China pun tak dapat dihindari.

“Itu yang kita tak inginkan terjadi di Indonesia. Kita biarkan Jakarta tumbuh, daya dukung dan infrastruktur diperbaiki, kota kedua, ketiga dan seterusnya itu harus diperkuat. Jangan juga sampai Bandung jadi greater Jakarta metropolitan. Bandung biar jadi pusat sendiri yang mengembangkan sekitar, bukan jadi bagian Jakarta. Itu harus dicegah,” ujarnya.

Ia berharap, Surabaya sebagai kota terbesar kedua setelah Jakarta dapat mengimbangi pesatnya perkembangan Ibukota. Untuk itu infratruktur di Surabya harus dikebut agar jarak antara Jakarta dan Surabaya, serta Surabaya dan daerah sekitarnya, menjadi lebih mudah dan cepat dijangkau.

“Sepertinya dampak jarak Surabaya dengan sekitarnya juga masih terbatas. Sehingga saya khawatir makin terjadi ketidakseimbangan antara pusat yang paling besar dengan pusat yang kedua. Yang kita inginkan tidak muluk, artinya Jakarta semakin membesar tapi Surabaya perlu tumbuh lebih cepat lagi untuk menjadi penyeimbang, sehingga tidak semua sumber daya itu diserap Jakarta. Lebih bagus lagi kalau penyebaran itu juga terjadi di pulau-pulau lain,” kata Bambang.

Posted in: EKONOMI