KONSOLIDASI DEMOKRASI MALUKU – KOMPAS

Posted on June 1, 2012

0


tujuh tulisan
 

Harapan Demokrasi yang Sehat

Oleh Umi Kulsum

Harapan tumbuhnya demokratisasi yang menyejahterakan masih terus diperjuangkan di tengah pengalaman publik atas konflik masa lalu. Namun, praktik transaksional acap kali menghambat pertumbuhan demokrasi dan terbentuknya kepemimpinan daerah yang berkualitas.

Haji Hambri (50-an) berbincang-bincang santai dengan warga di sebuah balai tempat kegiatan nelayan. Siang hari di tepi Pantai Waihaong, Ambon, yang terik jadi teduh di dalam bangunan balai yang tampak masih baru itu. ”Ini dibangun dari sumbangan salah seorang kandidat wali kota Ambon,” kata Haji Hambri yang saat pemilu kepala daerah (pilkada) memilih calon wali kota yang membantunya membangun balai nelayan itu.

Sikap Haji Hambri yang menjadi juragan nelayan di desanya dan tindakan calon wali kota yang memberikan bantuan dana menjadi salah satu contoh praktik politik transaksional yang marak terjadi di akar rumput Maluku. Mekanisme demokrasi diterjemahkan pada tingkat yang paling pragmatis, memilih calon politisi atau kepala daerah yang paling konkret memberikan ”manfaat”. Dalam kasus di atas, pembangunan balai nelayan dinilai sangat berguna untuk kegiatan persiapan melaut nelayan di Waihaong.

Politik transaksional yang banyak terjadi menjelang pilkada berdampak tidak sehat bagi masyarakat dan partai politik. Kebanyakan calon yang tidak memiliki modal besar kalah dalam pemungutan suara. Semestinya partai pun kehilangan kesempatan menempatkan kader terbaik mereka dalam posisi tertentu, seperti anggota DPRD atau dalam pilkada.

Sebuah tesis tentang partisipasi politik masyarakat Maluku yang dilakukan tahun 2010 juga menemukan berbagai indikasi praktik politik transaksional yang makin luas dan terang-terangan dilakukan para kandidat. Bentuk bantuan yang diberikan atau dijanjikan para kandidat bisa bermacam-macam, antara lain barang-barang modal pertanian, material perbaikan jalan desa, dan rencana pemberian lahan untuk peternakan.

Zeth Shauburua, mantan Ketua DPRD Maluku dan tokoh Partai Golongan Karya, mengakui, kondisi demikian menyebabkan terkendalanya pencarian kepemimpinan yang memiliki kapabilitas baik di Maluku. ”Kami berharap calon yang terpilih di Maluku adalah yang punya intelektualitas tinggi, tapi mereka tidak punya modal logistik cukup besar (sehingga kalah),” kata Zeth.

Seorang ketua DPRD kabupaten/kota memberikan contoh lebih jelas. Dia mengeluhkan kesulitan berkomunikasi dengan anggota DPRD yang tidak memiliki cukup latar belakang pendidikan. Anggota tersebut kesulitan memahami dinamika politik. Tanpa bermaksud mengecilkan anggota DPRD tersebut, sang ketua DPRD menduga modal pengenalan publik dan kampanye menyebabkan calon yang kurang cakap terpilih sebagai anggota DPRD.

Memang politik rente bukan gambaran umum keseluruhan perilaku politik masyarakat Maluku. Boleh jadi saat ini ideologisasi tetap hidup dalam cara pandang politik warga Maluku, terutama jika melihat akar berbagai konflik sosial yang pernah terjadi. Namun, dalam perkembangannya, tak terelakkan ada kecenderungan pemilu dijadikan sebagai ajang mendapatkan ”hadiah” bagi konstituen.

Menurut pengamat politik Indria Samego, fenomena di Maluku tak terlepas dari situasi nasional di mana partai hanya menjadikan masyarakat sebagai alat meraup pemilu. Akibatnya, kandidat hanya mendekati konstituen menjelang pemilihan.

Di sisi lain, politisi hanya menjadikan parpol sebagai batu loncatan untuk diri sendiri. ”Jadi, wajar jika masyarakat melihat partai hanya menggunakan mereka waktu pemilu saja. Akibatnya, mereka menuntut ’uang lelah’ politik,” tutur Indria.

Trauma dan politik

Kekerasan dan konflik horizontal yang pernah mendera beberapa wilayah di Maluku pada tahun 1999-2003 juga menjadi faktor yang tak bisa dilepaskan dari sosiologi publik Maluku. Pengalaman itu menyisakan trauma mendalam bagi sebagian besar masyarakat. Meski belum sepenuhnya mampu menghapus trauma masa lalu, tampak benar usaha masyarakat untuk memandang masa depan yang lebih damai.

Salah satu indikator yang tampak seakan menjadi antitesis demokrasi, yakni menguatnya sikap apolitik di tataran permukaan. Hal itu sebagaimana diungkapkan Mira (35), pemilik toko di Ambon. Mira tak mau bicara politik, apalagi yang terkait konflik. Meski tidak tahu persis penyebab konflik berdarah tersebut, dia mengambinghitamkan politik.

”Sekarang politik kami taruh di belakang, orang-orang sudah capek berkonflik. Kami harus kerja cari uang, sudah nggak peduli soal konflik itu,” kata Mira.

Sejumlah warga yang ditemui Kompas, termasuk para intelektual, juga memilih bicara tentang mengisi pembangunan dan bersama-sama bangkit membangun Maluku daripada membahas pertikaian yang pernah dialami. Muncul semacam pandangan bahwa masyarakat hanya ”korban” pertikaian elite luar wilayah yang dibawa ke Maluku.

Meskipun demikian, potensi konflik di Maluku sebenarnya tetap harus diwaspadai karena bibit konflik terbukti masih muncul sesekali. Perbedaan pandangan dalam masyarakat dapat memicu konflik, seperti yang pernah terjadi di Pelau, Maluku Tengah. Tak hanya dari kelompok yang berbeda, bahkan dari kelompok (agama) yang sama, perbedaan pandangan antargenerasi soal batas tanah bisa memicu konflik. Konflik Desa Porto dan Haria di Saparua, Maluku Tengah, adalah contohnya.

Kesadaran akan kebersamaan tampak perlu terus ditumbuhkan di wilayah seribu pulau dengan karakteristik individu yang terbuka sekaligus cenderung keras itu. Seperti ungkapan Zeth Shauburua tentang orang Maluku, ”Kita boleh beda, tapi kita tidak perlu berkelahi.”

Pilihan partai

Terlepas dari berbagai kendala yang menghalangi terlaksananya demokrasi yang sehat, sebagian besar pilkada di Maluku selama empat tahun terakhir berjalan lancar. Di sembilan dari 11 kabupaten/kota tempat penyelenggaraan pilkada, angka partisipasi pemilih antara 75 persen dan 80 persen. Kontestasi pilkada juga terbukti berjalan tanpa ada gejolak keamanan yang besar. Hal ini menunjukkan, masyarakat memiliki kesadaran cukup kuat dalam partisipasi memberikan hak suara mereka.

Dari sejumlah pilkada itu juga tecermin kembali bergesernya pilihan politik warga Maluku kepada para calon kepala daerah yang didukung partai-partai nasionalis. Dalam pilkada periode 2004-2007 di Maluku, kekuatan partai tersebar baik pada partai besar, seperti Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, maupun partai kecil. Kini, konstelasi itu bergeser. Calon kepala daerah yang didukung Partai Golkar dan koalisinya menguasai sebagian besar penyelenggaraan pilkada. Partai Golkar memenangkan kepala daerah di enam kabupaten dan dua kota. PDI-P berada di posisi kedua, yaitu menang di dua kabupaten.

(litbang Kompas)

***

Pendidikan Politik Belum Menyentuh Akar Rumput

Oleh Umi Kulsum dan Elok Dyah Messwati

Masyarakat tidak paham dunia politik, tidak paham tujuan partai politik, dan merasa tidak ada manfaatnya berpolitik. Karena itu, tak heran jika mereka kemudian menjadi apatis dan tidak peduli pada politik. Ini adalah secuil kenyataan betapa pendidikan politik belum menyentuh akar rumput.

Jika demikian adanya, maka sebenarnya konsolidasi demokrasi belum berjalan. Ini adalah fenomena yang terjadi di semua provinsi di Indonesia. Termasuk di Maluku. Para nelayan memilih sibuk berlayar menyusur Teluk Ambon dan menebar jaring untuk mendapatkan ikan. Pengemudi becak di Ambon pun sibuk mengayuh pedal becaknya. Para pengojek motor menantang jalanan Ambon yang naik turun berbukit-bukit. Pedagang tumpah ruah tak hanya menyesaki pasar, tetapi juga jalanan hingga menghambat laju angkutan umum. Mereka bekerja keras demi rupiah dan demi menghidupi keluarga.

Apatisme dan pragmatisme masyarakat Maluku terhadap dunia politik bukannya tak beralasan. Mereka capai bentrokan, apalagi trauma pertikaian 1999-2000 masih teringat. Diduga bentrokan 12 tahun silam karena ada provokasi dari luar Maluku, maka kini mereka tak gampang diprovokasi. Bentrokan membuat mereka hidup susah, tak leluasa bekerja. Parpol pun dinilai hanya sibuk mengejar kursi dan kekuasaan. Tak banyak yang bisa mereka harapkan, maka masyarakat memilih untuk realistis.

Penelitian yang dilakukan Joverd Fendli Frans, lulusan Pascasarjana Program Studi Sosiologi Universitas Pattimura, Ambon, menyebutkan, masyarakat tak paham politik karena banyak kader parpol tidak tahu apa ideologi, visi dan misi parpolnya.

Pendidikan politik dimaksudkan agar masyarakat tak lagi jadi obyek yang didominasi untuk keperluan sesaat parpol. Lebih dari itu, pendidikan politik kepada masyarakat diharapkan bisa mengubah cara berpikir yang lama menuju pemikiran masyarakat yang baru. Dengan demikian, masyarakat sadar akan hak, kewajiban, serta tanggung jawab mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penelitian Joverd di Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, menyatakan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik ternyata tidak dipahami dengan baik oleh anggota legislatif, juga pengurus parpol. Tak heran jika pendidikan politik kepada masyarakat tidak berjalan. Pengetahuan tentang pendidikan politik yang dimengerti pengurus parpol dan kader parpol yang menjadi anggota legislatif hanya berdasarkan interpretasi diri mereka, bukan berdasar UU No 2/2008.

”Masyarakat menentukan pilihan terhadap suatu parpol bukan berdasarkan kecerdasan, pengetahuan, dan pemahaman yang sebenarnya tentang sebuah perpolitikan,” kata Joverd.

Namun, masyarakat memilih suatu parpol lebih didasarkan dominasi-dominasi kekuasaan faktor-faktor yang lain. Faktor-faktor itu seperti hati nurani yang dilandaskan atas balas budi dan ketidakpuasan atau kekecewaan. Ada juga faktor kesejahteraan sosial atau materi/uang, faktor keluarga atau kekerabatan, juga sosok atau figur.

Tugas parpol

Sosiolog dari Universitas Pattimura, Ambon, Dr Tontji Soumokil, mengatakan, tugas parpol memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Sayangnya, hal tersebut tidak dilakukan parpol. Parpol masih melihat masyarakat hanya sebagai pendukung dalam pemilu atau pemilihan kepala daerah untuk menuju tampuk kekuasaan.

”Rakyat diberi uang dan diminta mencontreng. Ini menciptakan ketergantungan dan tidak mendidik masyarakat menjadi kritis. Bagi kandidat legislatif ataupun kepala daerah yang penting dapat suara, itu adalah cara yang keliru,” katanya.

Anggota DPR seharusnya juga tahu UU Parpol, UU Pemilu. Kenyataannya, banyak anggota DPR yang tidak tahu. ”Jadi, kalau demikian bagaimana mereka memberikan pendidikan politik kepada masyarakat?” kata Tontji.

Ketua DPD Partai Golkar Maluku Zeth Zahuburua mengatakan, di Golkar secara berjenjang ada pendidikan politik dan ada program setiap desa ada 100 kader Golkar. Ada juga organisasi sayap yang juga mempunyai program terkait pembinaan generasi muda. Mereka bergerak ke akar rumput karena mereka lebih dekat dengan massa riil.

”Masyarakat kadang-kadang tidak sadar untuk menggunakan hak pilihnya. Saat pilkada banyak yang tidak menggunakan hak suaranya. Itu pertanda bahwa parpol belum memberi pendidikan politik kepada masyarakat sehingga masyarakat bersikap apatis. Seharusnya masyarakat tidak boleh apatis. Kalau semua orang seperti ini, bagaimana bangsa ini?” kata Zeth Zahuburua.

Ketua DPD Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Maluku yang juga Gubernur Maluku Karel Ralahalu menyatakan, PDI-P melakukan temu kader/temu wicara dan program-program pembinaan secara berjenjang.

Wakil Ketua DPD PDI-P Maluku Bidang Organisasi, Keanggotaan, Kaderisasi, dan Rekrutmen Lucky Wattimury mengatakan, PDI-P dan partai besar lainnya tahu bagaimana melaksanakan pendidikan politik untuk akar rumput. Apalagi, PDI-P menjadikan kaum pinggiran, wong cilik, sebagai simbol dalam perjuangan politik.

Betapapun masyarakat yang membuat pilihan didasari rasionalitas adalah sebuah harapan. Dan, parpol memiliki tanggung jawab untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, tidak sekadar melihat masyarakat sebagai sebuah obyek semata….

Besok: Kemiskinan Masih Mendera

***

 

 

KONSOLIDASI DEMOKRASI MALUKU (3)

OLEH UMI KULSUM dan ELOK DYAH MESSWATI

 

 

 

 

Bocah-bocah kecil berlarian di sepanjang gang, warung-warung marak memenuhi pinggir jalan, rumah-rumah berukuran sempit berjejalan, dan warga duduk-duduk bercakap santai adalah gambar-an khas wilayah kumuh Waihaong, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, Provinsi Maluku.

Warga yang berasal dari sejumlah lokasi di Indonesia tersebut hidup bersama dalam kesederhanaan. Ada yang memang asli Maluku, ada yang dari Jawa dan Sulawesi. Mereka mencari nafkah melalui beraneka ragam profesi, seperti nelayan, pedagang kecil/asongan, tukang becak, buruh angkut, juga kuli pelabuhan. Mereka umumnya hidup miskin.

La Hengki (50), lelaki asal Buton yang sejak kanak-kanak hidup di Kampung Waihaong, bekerja sebagai penjual ikan di pasar ikan Arumbai. ”Untuk ongkos dan makan saja sudah Rp 30.000 sehari. Belum lagi kalau ikan sedang banyak, harganya pasti jatuh murah,” katanya.

La Kasim (76) ketika masih muda berjualan barang kelontong di pasar. Kini, dia memilih berdagang di depan rumah di kawasan Waihaong. Apa pun dia lakukan untuk menyambung hidup, meskipun teramat sulit untuk keluar dari jerat kemiskinan.

Ia berharap, pembangunan di kampungnya bakal memperbaiki pula nasib warganya. Medio April 2012, kampung ini mulai dibenahi dan dibersihkan. Sebuah masjid besar, yang pembangunannya hampir rampung, berdiri megah di ujung kampung di atas lahan bekas lokasi penampungan pengungsi kerusuhan beberapa tahun silam. Masjid itu diharapkan siap digunakan untuk pelaksanaan Musabaqah Tilawatil Quran XXIV di Ambon pada 8 Juni 2012.

Bangkit

Maluku memang sedang berbenah untuk bangkit dari deraan kemiskinan. Menurut Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu, Pemerintah Provinsi Maluku berupaya menanggulangi kemiskinan dengan membuat berbagai program yang prorakyat.

”APBD Maluku sekitar 70 persennya untuk belanja pembangunan. Program penanggulangan kemiskinan berupa memajukan dunia pendidikan, kesehatan, air bersih, dan keamanan juga tetap penting. Angka kemiskinan Maluku pun empat tahun terakhir turun signifikan,” kata Karel.

Angka kemiskinan Maluku menempatkan Maluku sebagai provinsi termiskin nomor tiga di Indonesia. Hal ini yang membuat Pemprov Maluku terlecut untuk mengurangi tingkat kemiskinan di Maluku.

Menurut Ketua Program Studi Sosiologi Pascasarjana Universitas Pattimura, Ambon, Prof Dr Tonny Pariella, MSi, ada banyak variabel penyebab kemiskinan di Maluku, antara lain wilayah geografis kepulauan menyebabkan banyak tempat susah dijangkau, transportasi pun sulit, bahkan harga bensin di sejumlah wilayah di Maluku mencapai Rp 15.000 per liter. Hal ini mengakibatkan harga bahan keperluan hidup melambung tinggi di wilayah Maluku.

”Wilayah Waihaong itu wilayah permukiman pendatang dan umumnya mereka beraktivitas di pasar. Mereka datang ke kota sebagai migran, tak mempunyai keterampilan, dan bekerja di sektor informal,” kata Tonny.

Duplikasi program

Banyak upaya yang sudah dilakukan untuk menanggulangi kemiskinan baik di pedesaan maupun perkotaan. Sayangnya, jika dievaluasi, ada duplikasi program. Banyak satuan kerja perangkat desa (SKPD) yang mengerjakan program yang relatif sama, selain juga mengerjakan program di luar tugas pokok dan fungsinya.

Hal itu implikasi dari pola pembiayaan pembangunan pusat-daerah. Ada dana dari pusat langsung ke pemprov. Akan tetapi, ada juga dana dari kementerian kepada dinas dan SKPD. Jika demikian, mereka bisa membuat berbagai program sehingga antarlembaga bisa bekerja ”semaunya”. Hal ini tak jarang terjadi duplikasi program dan lokasi.

Oleh karena itu, peranan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) harus dioptimalkan untuk menyinergikan SKPD. Dengan demikian, suatu lembaga/instansi melakukan kegiatan apa dan di mana bisa sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing. Seharusnya semua pihak berkoordinasi dengan Bappedasehingga pembangunan tidak tumpang tindih.

Hal ini sebenarnya mekanisme standar, tetapi sayangnya di mana-mana terjadi duplikasi program pembangunan. Duplikasi itu, antara lain, pada program pemberdayaan ekonomi: bantuan pelatihan dan peralatan produksi.Bappeda cukup mengerti peta kemiskinan di Maluku, apa problemnya. Seharusnya ada koordinasi jika memang Maluku ingin lepas dari kemiskinan yang masih mendera.

Dilihat dari data, kemiskinan di Maluku memang menurun. Kepala Badan Pusat Statistik Maluku Edison Aritonga dalam laporannya menyatakan, jumlah dan persentase penduduk miskin di Maluku pada periode 2007-2011 menurun dari 404.700 orang menjadi 360.320 orang. Pada 2011 terjadi penurunan penduduk miskin dari 360.320 pada Maret menjadi 356.400 pada September.

Secara relatif juga terjadi penurunan persentase penduduk miskin dari 31,14 persen pada 2007 menjadi 23 persen pada 2011. Selama 2011, persentase penduduk miskin berkurang jadi 22,45 persen pada September dibandingkan dengan Maret sebesar 23 persen.

Selama periode Maret 2011-September 2011, penduduk miskin di daerah pedesaan berkurang 800 orang, sementara di daerah perkotaan berkurang 3.110 orang. Persentase penduduk miskin di daerah pedesaan masih cukup tinggi, yaitu mencapai 30,03 persen dibandingkan dengan daerah perkotaan sebesar 9,59 persen.

Namun, kenyataannya warga miskin masih banyak dan tampak nyata di sejumlah wilayah, seperti di Kampung Waihaong.

Hal lain yang mengganggu penanganan kemiskinan adalah banyaknya politik transaksional yang diterapkan calon anggota legislatif/bupati/wali kota di berbagai wilayah. Para kandidat tersebut memanfaatkan kemiskinan masyarakat untuk ”jual-beli” suara.

”Ada calon anggota DPRD Kota Ambon dari sebuah partai yang membangun jalan setapak di daerah Kebun Cengkeh. Ternyata dia tak dapat suara, dan dia merusak kembali jalan yang dibangunnya. Ada juga yang membangun halte di daerah Passo, ternyata kemudian kalah. Calon itu lalu membongkar halte itu. Ada juga calon yang meminjamkan tanahnya untuk peternakan. Begitu kalah, penduduk yang beternak dia usir dari tanah miliknya,” kata Joverd Fendli Frans, lulusan Pascasarjana Program Studi Sosiologi Universitas Pattimura, Ambon.

Jika terus begini, kapan rakyat Maluku bisa maju dan lepas dari kemiskinan? Sudah saatnya masyarakat hidup layak, keluar dari jerat kemiskinan, menjadi cerdas dalam berpolitik sehingga konsolidasi demokrasi berjalan dengan sewajarnya.

***

 

 

 

Rakyat Belum Siap Pilkada Langsung

OLEH UMI KULSUM dan ELOK DYAH MESSWATI

Sudah saatnya pemilihan umum kepala daerah secara langsung dikaji ulang karena sering memunculkan banyak polemik. Dalam masyarakat yang belum dewasa, pilkada langsung selain memicu pertikaian antar-pendukung juga memakan biaya besar.

Pilkada langsung dapat berjalan tertib dan efisien jika masyarakat telah dewasa. Apabila masyarakat belum dewasa, tak heran jika terjadi perusakan kantor Komisi Pemilihan Umum daerah, pembakaran kantor bupati/wali kota atau DPRD, dan segala macam tindakan anarki lainnya. Hal-hal seperti itu sering kali mewarnai pilkada langsung.

Di Provinsi Maluku, dalam pemilihan bupati Maluku Tengah di Masohi, kelompok pendukung satu kandidat bupati membakar ban sebagai wujud kekecewaan mereka. Juga ditemukan bom rakitan di depan kantor KPU Kabupaten Maluku Tengah.

Pilkada di Maluku Tengah pada 4 April 2012 tersebut diikuti 281.291 pemilih. Hasil pilkada menempatkan pasangan Abua Tuasikal-Marlatu Leleury di urutan pertama dengan perolehan 56.162 suara (26,28 persen). Pasangan ini diusung Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Kebangkitan Bangsa.

Urutan kedua, pasangan Jusuf Latuconsina-Liliana Aitonam yang mendapat 47.355 suara (23,85 persen). Pasangan ini diusung Partai Demokrat, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan.

Urutan ketiga, pasangan Hamzah Sangadji-Melkias Mozes Lohy yang mendapat 36.827 suara (18,55 persen). Pasangan ini diusung Partai Golkar, Partai Bulan Bintang, Partai Karya Peduli Bangsa, dan Partai Karya Perjuangan.

Urutan keempat, pasangan Makmur Tamani-Philip Hallatu yang memperoleh 29.568 suara (14,89 persen). Pasangan ini didukung koalisi parpol yang tak mendapat kursi di DPRD.

Urutan kelima, pasangan Lutfy Sanaky-Nancy Purmiasa yang mendapat 23.065 suara (11,61 persen). Pasangan ini diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Bintang Reformasi.

Urutan terakhir, calon independen Ana Latuconsina-Christian Leihitu. Pasangan ini mendapat 5.597 suara (2,82 persen).

Karena tidak ada pasangan yang memperoleh 30 persen suara, maka 30 Mei 2012 akan digelar pilkada putaran kedua. Pilkada ini akan diikuti pasangan Abua Tuasikal-Marlatu Leleury dan Jusuf Latuconsina-Liliana Aitonam.

Karena kecewa atas hasil pilkada putaran pertama, pasangan Lutfy Sanaky-Nancy Purmiasa akan menggugat KPU Maluku Tengah. Alasannya, ada temuan daftar pemilih tetap (DPT) di 650 tempat pemungutan suara (TPS) yang tak ditandatangani ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) beserta anggotanya.

Muncul juga protes karena terdapat ribuan pemilih di Kecamatan Seram Utara yang tak diberi undangan mencoblos. Berdasarkan DPT, jumlah pemilih seharusnya 3.789 orang, tetapi hanya 2.303 yang mendapat undangan.

Menanggapi hal itu, Ketua KPU Maluku Tengah La Alwi mengatakan, undangan yang tak sampai kepada pemilih perlu dilihat faktor-faktor di balik itu. Bisa juga petugas Panitia Pemungutan Suara (PPS)/KPPS kesulitan menemukan alamat pemilih terdaftar atau alamat tidak jelas.

”Jangan sampai ada permainan petugas PPS/KPPS yang sengaja tidak menyampaikan undangan. Untuk ini belum bisa kami pastikan karena tidak ada laporan Panwas mengenai hal ini,” kata La Alwi.

Terkait tuduhan ada 650 DPT tidak ditandatangani, menurut La Alwi, yang diserahkan pada 650 TPS itu adalah salinan DPT. ”DPT aslinya sudah ditandatangani oleh semua PPS tingkat desa yang membawahkan TPS-TPS. Jadi, salinan DPT memang tidak ditandatangani. Akan tetapi, jumlah ataupun nama-nama dalam DPT itu sesuai dengan DPT asli,” katanya.

Tentang aksi bakar ban, menurut La Alwi, hal itu dilakukan oleh pendukung kandidat Makmur Tamani-Philip Hallatu. ”Itu terjadi karena ketidakpuasan dari pendukung kandidat nomor tiga karena di kota Masohi mereka menang, tetapi pendukung kurang paham. Maluku Tengah itu bukan hanya kecamatan Masohi, melainkan masih ada 15 kecamatan lain yang datanya harus digabung,” ujarnya.

Emosional

Di masyarakat yang rasional seperti di Amerika Serikat, menurut sosiolog dari Universitas Pattimura, Ambon, Dr Tontji Soumokil, masyarakat akan memilih kandidat pemimpin berdasar kapasitas kandidat, bukan kedekatan hubungan kekerabatan atau emosional. Selain itu, persoalan pilkada langsung pun sangat kompleks dan rumit. Banyak hal yang perlu dibenahi.

”Lembaga KPUD harus independen dan tidak boleh melenceng. Pegawai negeri sipil (PNS) pun tidak boleh didorong kiri kanan untuk mendukung salah satu calon bupati karena aturan PNS harus netral,” kata Tontji.

Dia mengatakan, pilkada langsung juga merupakan pemborosan. Sekali pilkada bisa menelan biaya Rp 15 miliar. Padahal, kalau proses pemilihan bupati di DPRD barangkali hanya keluar dana Rp 1 miliar sehingga sisa uang bisa digunakan untuk memberdayakan masyarakat miskin.

Menurut Tontji, cara pemilihan bupati/wali kota ataupun gubernur di DPRD yang merupakan representasi rakyat akan lebih baik. Alasannya, anggota DPRD lebih bijak menilai kapasitas seseorang.

”Kalau masyarakat di bawah yang tidak punya pengetahuan politik disuruh memilih maka akan berbeda. Kalau dipilih langsung oleh masyarakat, sebenarnya itu kebablasan. Selain masyarakat tidak punya kapasitas cukup untuk menilai calon bupati/wali kota/gubernur, juga bisa terjadi konflik,” kata Tontji.

Ia mencontohkan konflik di Pilkada Maluku Tengah. Di sebuah desa ada dualisme karena warganya terpecah memilih kandidat yang berbeda.

”Selesai pilkada, masyarakat yang belum mempunyai cara pikir yang maju ini ditinggalkan begitu saja. Padahal, yang ditinggal adalah benih konflik. Bagi calon bupati, yang penting dia dapat suara dan urusan selesai, tetapi benih konflik yang ditinggalkan bisa meledak suatu saat nanti,” kata Tontji.

Ketua Program Studi Sosiologi Pascasarjana Universitas Pattimura, Ambon, Prof Dr Tonny Pariella mengatakan, ”Sebenarnya kita melewati proses demokratisasi tanpa persiapan yang memadai dan kesannya tiba-tiba mendapat ’kebebasan’.”

Ia menambahkan, ”Kita mencoba melihat masa transisi demokrasi sebagai pematangan dan masyarakat bisa belajar dalam proses. Kalau saya cermati, diskursus tema-tema politik dan demokrasi selalu di seputar elite, dan masyarakat di pinggir hanya sebagai penonton. Cara berpikir ini memarjinalkan rakyat.”

Perselingkuhan eksekutif dan legislatif pun mengkhawatirkan. Dalam konteks itu, kata Tonny, demokrasi tidak bisa matang. Selama 14 tahun reformasi politik, seharusnya proses konsolidasi demokrasi ada hasilnya. Namun, ternyata tidak ada kesadaran partisipasi politik masyarakat, yang ada masih mobilisasi. Pola politik uang pun susah diidentifikasi.

Jika masih di sini level masyarakat kita, seharusnya pelaksanaan pilkada langsung perlu dikaji ulang.

***

bersambung 5-7